Oleh : Umma Aqila Safhira
wacana-edukasi.com, Sabtu (22/8) api barkobar dahsyat, gedung Kejagung terbakar dan baru bisa dipadamkan pada Ahad pagi. Publik menduga adanya sabotase. Maklum, di gedung itu tersimpan berkas-berkas kasus korupsi. Terbakar atau dibakar, bisa membahayakan kelangsungan penyelesaian kasus-kasus korupsi, untuk kasus korupsi berat.
Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi langsung mengomentari terkait spekulasi penyebab kebakaran gedung Jaksa Agung pada Sabtu (22/8) malam. Aboe meminta, Kejaksaan Agung (Kejakgung) untuk melakukan investigasi mendalam untuk mencari tahu penyebab kebakaran gedung Kejakgung, Jakarta.
“Kejaksaan perlu juga melakukan investigasi mendalam, untuk mengetahui penyebab kebakaran. Apa memang saat itu tidak ada petugas piket yang bisa memadamkan api dan mencegah membesarnya api. Atau memang gedung Kejaksaan Agung tidak memiliki alat pemadam kebakaran, sehingga api tidak tertangani,” kata Aboe dalam keterangan tertulisnya.Republika Ahad (23/8/2020)
Kobaran api tersebut terus memunculkan pertanyaan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung juga diharapkan menjelaskan kepada publik terkait peristiwa tersebut. Mengingat, Kejaksaan Agung saat ini, tengah menangani perkara yang mendapatkan atensi publik, seperti kasus Djoko Tjandra dan Jiwasraya.
Tak terkecuali dari Indonesian Corruption Watch (ICW) turut meminta KPK ikut turun tangan mencari tahu penyebab kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung). ICW curiga ada oknum yang sengaja menghilangkan barang bukti terkait kasus yang sedang ditangani Kejagung saat ini, salah satunya kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Tanggapan pun bermunculan dari peristiwa ini,Pengajar Teknik Sipil Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Pelita Harapan (UPH) Manlian Ronald A Simanjuntak mengatakan kebakaran yang terjadi di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) menunjukkan kegagalan sistem keselamatan yang sangat fatal.Pengajar Teknik Sipil UPH ini menyatakan sistem keselamatan gedung setidaknya memiliki dua faktor utama yaitu sistem administrasi dan sistem keselamatan secara teknis. Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002, Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008 dan Nomor 7 Tahun 2010.
Terlepas dari peristiwa ini kepada siapa publik harus percaya? Adakah kaitan antara peristiwa terbakar atau dibakarnya gedung Kejagung dengan upaya penghilangan berkas kasus-kasus korupsi? Sikap abai dan lambannya Pemerintah dalam menangani kejadian ini tentu disesalkan, karena bila dilihat gedung yang seharusnya tempat menyelesaikan masalah dengan kasus berat harus musnah terbakar, disebabkan sistem pencegahan kebakaran yang tidak berfungsi, arsitektur bangunan yang sudah tua hingga gagal beroperasi juga tidak memadai, semakin menambah faktor kebakaran tersebut.Dan jika dihubungkan dengan respon masyarakat tersebut bukan sesuatu yang berlebihan mengingat Gedung Kejaksaan Agung adalah gedung milik pemerintah yang sangat penting. Karena menyimpan banyak dokumen penting bagi keadilan yang di dambakan rakyatnya. Apalagi kebakaran tersebut terjadi di tengah penanganan kasus besar seperti hak tagih Bank Bali. Sampai korupsi perusahaan asuransi plat merah Jiwasraya.Terlepas terbakar atau tidaknya berkas yang ada,apabila peristiwa ini tidak mampu diselesaikan secara tuntas dan terbuka,maka akan menghilangkan kepercayaan rakyat pada pemerintah dengan berbagai asumsi. Apalagi sampai hari ini kasus tersebut belum menemui titik terang. Tak bisa dipungkiri dibawah kendali sistem kapitalis-sekuler setiap persoalan meninggalkan banyak tanya maupun kejanggalan karena tidak transparan nya dalam menyelesaikan setiap peristiwa.
Dan bagaimana pandangan Islam dalam hal ini dilihat kepercayaan rakyat pada pemerintah pada saat itu, dalam memutuskan kasus menyangkut kepentingan rakyat terlihat dari kriteria pemimpin dalam Islam. Karena penting dan strategisnya pemimpin dalam Islam, sehingga seorang kandidat pemimpin haruslah dipilih dengan syarat-syarat tertentu, antara lain pemimpin harus jujur (shiddiq, integritas), pemimpin harus terpercaya (amanah, kredibelitas), pemimpin harus cerdas (fathanah, kapabilitas) dan pemimpin harus terbuka (tabligh, transfaransi).
Moralitas dan karakteristik tersebut merupakan sesuatu yang melekat, bukan instan dan spontanitas apalagi dibuat-buat. Karena itu syarat-syarat tersebut kelihatan sangat ketat dan berat, di samping memang bersifat tabiat, tetapi juga kriteria tersebut harus diterapkan secara holistik dan tuntas.
Dalam Islam, pemimpin yang berbuat sejalan dengan perkataannya itulah yang disebut pemimpin jujur. Sebaliknya pemimpin yang berbuat tidak sejalan dengan ucapannya disebut dengan pembohong atau khianat. Dalam kaitan ini, pemimpin sama sekali tidak dibenarkan oleh Islam selalu menebar pencitraan, seolah-olah selalu bertekad berbuat yang terbaik untuk rakyat, tetapi tidak terbukti.
Pemimpin yang terpercaya berkaitan erat dengan sifat jujur, segala sepak terjangnya tidak membuat rakyat resah dan was-was, sebab pemimpin tersebut sungguh dapat dipercaya, ia dapat menjadi tempat menyandarkan harapan dan terbukti kepercayaan itu tidak sia-sia. Rakyat merasa aman sebab terlanjur sudah memiliki tingkat kepercayaan tinggi kepada sang pemimpin.
Pemimpin yang hanya cerdas secara intelektual sering menggunakan kekuasaannya dengan tindakan yang mengecewakan rakyat. Tidak memiliki pertimbangan emosional apalagi spiritual dalam memperlakukan rakyat atau bawahannya, sehingga terkesan toriter dan tidak bersahabat.
Pemimpin yang transfaran adalah yang menyampaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak rakyat untuk diketahui, sebaliknya tidak menyembunyikan informasi-informasi yang sepatutnya diketahui oleh rakyat.Dan ini hanya bisa dibuktikan jika sistem Islam yang diterapkan.
Wallahu A’lam Bisshawab.
Views: 1
Comment here