Oleh Susan Efrina (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI– Harga pangan di sejumlah daerah terpantau mengalami kenaikan, mulai dari beras, hingga cabai rawit merah. Ternyata, beberapa warga pun mengeluh akibat kenaikan harga pangan ini. Salah satunya diungkap oleh Waluyo, seorang warga di kawasan Petukangan, Jakarta Selatan. Dia mengaku cukup terbebani dengan kenaikan harga pangan, utamanya yang sering dikonsumsi.
Dia mengaku, untuk keperluan belanja bulanan biasanya bisa terpenuhi dengan biaya Rp1 juta. Namun, karena adanya kenaikan jadi perlu mengambil dari alokasi dana lainnya. “Iya, sekarang sembako pada naik semua. Beras naik, cabai naik, gula naik, bikin berat. Soalnya kan yang biasanya uang 1 juta bisa cukup buat beli sembako sebulan jadi kurang dan harus mengeluarkan uang dari cost lainnya.” Dia khawatir kenaikan harga bisa berlanjut hingga momen pergantian tahun. Pasalnya, pada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) biasanya harga pangan ikut naik imbas meningkat permintaan. “Takutnya belum sampai Desember saja harga sudah gila apa lagi nanti pas Nataru” tegasnya (liputan6.com, 26/11/2023).
Akibat kebijakan kapitalistik, hampir semua barang mengalami kenaikan harga. Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, ada sembilan komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga lebih dari 10 % dari harga acuan atau eceran yang ditetapkan pemerintah. Sementara itu, Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan, sejumlah harga bahan pangan pokok bahkan sudah mengalami kenaikan 90 % lebih. Harga pangan yang naik adalah beras premium, bawang merah, bawang putih, cabai rawit merah, daging sapi murni, telur ayam, dan gula konsumsi (bisnistempo.co.id, 26/11/2023).
Jelas, penyebab utama kenaikan harga-harga itu adalah kebijakan pemerintah yang sangat kapitalistik. Mahalnya harga pangan menunjukkan negara gagal menjamin kebutuhan pangan murah. Akibatnya rakyat yang semakin tercekik dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Dalam sistem kapitalisme negara tidak boleh mengelola langsung kekayaan alam. Pengelolaan kekayaan alam diserahkan kepada pihak swasta. Sehingga negara kehilangan sumber pendapatan yang besar dalam mengurusi rakyatnya.
Kenaikan harga pangan lebih banyak dipengaruhi oleh sistem kapitalisme liberal. Selama sistem ini masih diterapkan, maka kenaikan harga-harga akan terus terjadi. Dalam sistem kapitalisme ini mengharuskan rakyat membiayai semua kebutuhannya sendiri. Negara seharusnya melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi kenaikan harga karena berbagai persoalan. Namun, hari ini mustahil terwujud ketika negara hanya menjadi regulator.
Negara seharusnya mampu mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan dengan berbagai cara sehingga masyarakat selalu terpenuhi kebutuhan akan bahan pangan dengan mudah. Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasi kestabilan harga pangan. Dengan menghilangkan distorsi mekanisme pasar syariah yang sehat seperti penimbunan, intervensi harga, dan menjaga keseimbangan suplai dan demand.
Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Jika pedagang, importir atau siapa pun yang menimbun, maka ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkan ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya bisa dijatuhi sanksi takzir, dengan begitu suplai barang akan normal kembali.
Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (h.r. Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
Jika ada asosiasi importir, pedagang yang sudah menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang. Jika terjadi tidak seimbangnya suplai dan demand, negara melalui lembaga pengendali segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang, baik dari daerah lain atau dengan impor. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor (kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara).
Islam menjadikan penguasa sebagai ra’in yang wajib mengurus rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Kebijakan negara Islam untuk mengendalikan stabilitas harga dilakukan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Negara harus melakukan segenap cara untuk mewujudkan hal itu, di antaranya: Pertama, menjaga suplai dan demand di pasar agar tetap seimbang. Bukan dengan mematok harga barang dan jasa.
Kedua, jika suplai barang dan jasa berkurang, maka yang mengakibatkan harga dan upah naik, maka ketersediaan barang dan jasa bisa diseimbangkan oleh negara dengan menyuplai barang dan jasa dari wilayah lain. Ketiga, jika berkurangnya suplai barang karena penimbunan, maka negara bisa menjatuhi sanksi takzir. Keempat, jika kenaikan harga terjadi karena penipuan, maka negara bisa menjatuhi sanksi takzir. Kelima, jika kenaikan harga karena inflasi, maka negara berkewajiban untuk menjaga mata uang, dengan standar emas dan perak.
Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjaga kestabilan harga pangan di tengah umat. Namun, kestabilan harga tidak boleh dikontrol oleh pemerintah dengan jalan dipatok. Karena pematokan harga juga haram dilakukan pemerintah. Semua ini dapat berjalan dengan efektif ketika syariah Islam diterapkan secara total oleh negara Islam. Kestabilan harga pangan dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Wallahualam bissawab.
Views: 9
Comment here