Oleh: Susi Damayanti, S.Pd.
Wacana-edukasi.com — Beberapa bulan silam Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ekonomi syariah berpeluang besar menjadi sumber baru bagi perekonomian nasional. Sekaligus dinilai mampu menjawab berbagai tantangan dinamika perekonomian nasional di masa ini (Liputan6.com/ 24/10/2020).
Hampir senada wakil presiden, Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa wakaf bisa menjadi sumber pembiayaan proyek sosial dengan jumlah besar dan menggerakkan ekonomi nasional sehingga perlu dipikirkan kebijakan-kebijakan yang bisa memperluas ragam wakaf dan menarik minat wakaf masyarakat, salah satunya melalui Gerakan Nasional Wakaf Tunai (GNWT) (Cnn.id, 25/10/20).
Hal ini menunjukkan ada kecenderungan pemerintah dalam melirik model ekonomi syariah sebagai salah satu alternatif jalan keluar bagi carut marutnya perekonomian negara. Dari satu sisi, di tengah maraknya kriminalisasi terhadap syariah dan Islamofobia, hal ini tentu harus diapresiasi.
Sebagai sebuah ideologi, Islam memang memiliki seperangkat aturan terbaik bagi manusia yang telah terbukti kemampuannya dalam mengatasi berbagai problem hidup tak terkecuali dalam masalah ekonomi sepanjang 1300 tahun lamanya. Jadi, sudah selayaknya jika pemerintah mulai melirik syariah.
Namun di sisi lain, jika melihat sepak terjang pemerintah terhadap ide Islam dan para pengembannya, fenomena tersebut tak bisa begitu saja disyukuri dan dianggap sebagai angin segar bagi dakwah syariah. Apalagi mengingat semakin sengitnya perserteruan rezim dengan para pejuang syariah, sikap pemerintah ini harus lebih dicermati.
Dalam hal ini sikap pemerintah jelas membuktikan bahwa mereka hanya menginginkan keuntungan materi dari sistem ekonomi Islam tanpa ada keinginan sedikit pun untuk melirik atau mempertimbangkan penerapan syariat secara kaffah. Bahkan genderang perang terhadap segala macam upaya penerapan syariah tetap dengan nyaring ditabuh. Lagi-lagi ini menjadi bukti keserakahan dan standar ganda yang dipakai oleh pemerintah. Dana haji, zakat dan wakaf dibidik, ide khilafah diinjak, padahal keduanya sama-sama bersumber dari syariah. Inilah dia watak demokrasi yang sebenarnya, bermuka dua dan baru akan bergerak jika ada sejumlah uang. Inilah kebijakan pincang ala mazhab prasmanan, ambil yang disuka dan buang yang tidak disuka..
Padahal Islam sendiri telah menjelaskan bahwa cabang-cabang syariah Islam seperti halnya sistem pemerintahan, pendidikan dan ekonomi merupakan bagian yang saling terhubung secara sistemik, saling melengkapi dan tak bisa dipisahkan agar memiliki kemampuan terbaik dalam menyelesaikan aneka persoalan kehidupan dan sekaligus memberikan rahmat bagi semesta alam. Syariah Islam tak boleh dipilih sesuka hati dan hanya mengambil sebagai sesuatu yang menguntungkan dan mendatangkan materi seraya membuang sisanya.
Jika demikian, sebanyak apapun model ekonomi syariah yang diadopsi oleh negara, sengkarut perekonomian Indonesia akan tetap ada dan eksis. Maka sudah saatnya pemerintah mulai membuka mata bagi pelaksanaan Islam kaffah, bukan sekadar terbatas pada ekonomi syariah agar Indonesia yang besar dan sejahtera benar-benar bisa diwujudkan.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 1
Comment here