Oleh Ummu Haneem
(Aktivis Muslimah Peduli Negeri)
Kesejahteraan kehidupan masyarakat yang mencapai puncaknya dapat disaksikan sepanjang era peradaban Islam yang berlangsung selama 13 abad dan meliputi hampir dua per tiga dunia.
Wacana-edukasi.com — World o Meter merilis bahwa posisi Indonesia saat ini adalah menempati rangking ke-4 dengan kasus Covid-19 terbanyak di Asia setelah India, Turki, dan Iran (Liputan6.com, 06/07/2021). Oleh karena itu, dalam rangka menekan laju penyebaran Covid-19, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat mulai tanggal 3 hingga 20 Juli 2021 mendatang.
Namun anehnya, saat kebijakan PPKM Darurat itu dilakukan, justru di sisi lain pemerintah membiarkan Tenaga Kerja Asing (TKA) Tiongkok memasuki wilayah Indonesia. Diketahui bahwa saat ini ada 46 pekerja asing yang akan bekerja di PT Huadi Nikel untuk membangun smelter di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Hal ini dibenarkan oleh Stakeholders Relations Manager Angkasa Pura I, Iwan Risdianto (antaranews.com, 05/07/2021).
Sungguh Ironis! Saat warga asli Indonesia banyak yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi, justru pemerintah memberikan karpet merah kepada TKA. Sudah di-PHK, beberapa di antaranya tidak mendapatkan pesangon pula. Padahal, kebutuhan hidup semakin mahal. Bagaimana mereka bisa mendapatkan penghidupan yang layak?
Jika ditelisik lebih mendalam, masuknya TKA ke Indonesia menunjukkan bahwa semua ini sudah masuk dalam proyek disahkannya UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan. Sungguh menyakitkan! Tenaga Kerja Indonesia bak anak tiri di negeri sendiri. Warga negaranya sendiri menjadi kaum pengangguran, warga negara asing diberikan jalan lapang. Kehidupan menjadi semakin sulit. Apalagi, sistem tak berpihak pada “wong alit”. Alih-alih bisa memenuhi kebutuhan, justru nyawa banyak yang melayang.
Sungguh masyarakat telah merasakan derita berkepanjangan. Pergantian rezim demi rezim tak nyata menghasilkan perubahan hakiki. Kebijakan demi kebijakan yang ada tetap pro kapitalis-sekuler. Normalnya, ada negara dan pemerintah adalah supaya seluruh urusan masyarakat dapat teriayah dengan baik. Namun, harapan itu bagaikan isapan jempol semata. Hasilnya nihil.
Berdasarkan fenomena di atas, maka dapat digarisbawahi bahwa kebijakan sesuai selera penguasa. Kebijakan hanya condong kepada para pemilik modal (kapitalis). Di mana ada uang, maka di situlah yang bakal menang. Sistem kapitalisme bertopang pada asas manfaat, jadi wajar jika kebijakan yang dilahirkan selalu sarat dengan kepentingan, dalam hal ini adalah kepentingan asing.
Bagaimana dengan Islam?
Islam adalah sebuah sistem shohih dari Zat Pemberi Kehidupan. Dalam sebuah negeri yang menerapkan syariah Islam kaffah, maka Islam mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan masyarakat secara tuntas. Untuk masalah kesejahteraan warga, negara akan memenuhi hajat asasiyah seluruh warganya. Lebih dari itu, kebutuhan kamaliyah pun turut diperhatikan. Sehingga, warga negara yang hidup di negeri ini akan mendapatkan rasa nyaman dan kebahagiaan.
Sebagai contoh pengaturan dalam Islam, bagi warga laki-laki yang sudah baligh dan mampu, maka Islam mendorong mereka untuk bekerja. Negara akan memberikan lapangan pekerjaan dan gaji yang memadai supaya mereka dapat menghidupi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Jika orang tersebut sudah tidak mampu bekerja, maka Islam mewajibkan kepada anak-anaknya serta ahli warisnya untuk bekerja. Jika yang wajib menanggung nafaqoh-nya tidak ada, maka negara akan mengambil harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan warganya.
Kemudian, merujuk pada af’al Rasulullah. Pada saat terjadi wabah tho’un, maka Rasulullah melarang warga yang mengalami wabah keluar dari areanya. Sebaliknya, bagi warga dari luar area pandemi, maka tidak diizinkan masuk ke area tersebut. Selain menerapkan kebijakan tersebut secara tegas, Rasulullah juga tetap fokus mencukupi kebutuhan warga masyarakat. Sehingga, pandemi cepat berlalu. Tidak banyak nyawa yang menjadi korban. Ditambah lagi, kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi dengan baik.
Islam bertumpu pada asas akidah Islam, sehingga setiap kebijakan yang dilahirkan dapat memberikan keadilan bagi siapapun. Entah kaya atau miskin. Entah muslim maupun nonmuslim. Terlebih lagi, dalam pandangan Islam kekuasaan merupakan amanah yang berkorelasi pada akhirat. Siapapun yang menjadi pejabat, maka kecil kemungkinan untuk berani berkhianat. Pemerintahan bersifat independen, tidak tunduk pada tekanan pihak manapun. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa akhirnya mampu menjadi magnet bagi warga masyarakat untuk menaruh kepercayaan kepadanya.
Kesejahteraan kehidupan masyarakat yang mencapai puncaknya dapat disaksikan sepanjang era peradaban Islam yang berlangsung selama 13 abad dan meliputi hampir dua per tiga dunia. Lihat saja, pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab! Beliau bersegera memenuhi kebutuhan pangan keluarga miskin dengan stok dari Baitul Mal secara memadai. Sebuah pernyataan beliau yang nge-trend hingga saat ini, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak merasakan jalan untuknya?’.
Rasulullah SAW bersabda, “… Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (H.R. Bukhari) dan “Imam adalah junnah (perisai) orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya” (H.R. Muslim). Kiranya kedua hadits tersebut dapat menjadi pengingat bahwa kepala negara adalah raa’in sekaligus junnah, sehingga mereka tidak akan berani menyelewengkan amanah, apalagi melahirkan kebijakan yang salah kaprah. No way!
Wallahu’alam bi ash showab.
Views: 6
Comment here