Opini

Kebijakan Tidak Normal, Penyebab Konflik Horizontal

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nurmilati

Tidak dimungkiri, pandemi Covid-19 telah berdampak secara sistematik dan multidimensional terhadap seluruh aspek kehidupan

Wacana-edukasi.com — Belakangan ini beragam cerita pilu terjadi selama pandemi virus Covid-19 yang mewarnai laman media online maupun televisi, bukan hanya terkait tingginya angka korban kematian, namun kisah menyedihkan tersebut juga menimpa pasien positif Coronavirus yang sedang menjalani isolasi mandiri di rumah, tenaga kesehatan dan petugas pemakaman jenazah Covid-19.

Laman merdeka.com (24/7/2021) mewartakan seorang pria berusia 45 tahun di Kabupaten Toba, Sumatera Utara yang dinyatakan positif Covid-19 mengalami tindakan tidak manusiawi dari beberapa warga yakni dianiaya dan dipukuli kayu panjang serta tangan terikat. Meski video kekerasan itu viral di media sosial, namun belum ada tindakan tegas dari pihak berwenang terhadap para pelaku, sebab pihaknya harus mengumpulkan data terlebih dahulu untuk memastikan kebenaran kejadian tersebut.

Selain itu, tindakan kekerasan kerap dilakukan keluarga pasien terhadap tenaga kesehatan. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPPNI) Harif Fadhilah mengungkapkan di tengah lonjakan kasus Covid-19 banyak tenaga kesehatan terinfeksi virus Corona, akibatnya jumlah nakes di lapangan berkurang dan minimnya fasilitas kesehatan yang tidak memadai membuat mereka mengalami kelelahan fisik dan beban mental.

“Tekanan yang dialami nakes makin bervariasi bukan sekadar dimarahi tapi ditekan, dikasari bahkan dipukuli oleh keluarga pasien.” Kata Harif melalui konferensi pers Lapor Covid-19 (9/7/2021).

Kasus penganiayaan juga dialami oleh petugas pemakaman pasien Covid-19 yang dilakukan keluarga korban, hal ini terjadi lantaran selain jenazah salah satu orang tua pelaku tertukar dengan yan lain, juga ada keterlambatan prosesi pemakaman. Keluarga korban tidak terima atas kejadian ini, mereka beranggapan kasus ini tersebab kelalaian pihak rumah sakit (Suarajatim 29/1/2021).

Melihat fakta tersebut, bukan tidak mungkin bermacam konflik horizontal makin banyak terjadi antar anggota masyarakat dan antara masyarakat-nakes serta yang terlibat dalam pelaksana program terkait Covid-19. Namun, beritanya tidak mencuat kepermukaan.

Konflik Sosial di Masa pandemi

Tidak dimungkiri, pandemi Covid-19 telah berdampak secara sistematik dan multidimensional terhadap seluruh aspek kehidupan. Pada sektor ekonomi, wabah mengakibatkan kolapsnya dunia usaha, kemiskinan, PHK massal bahkan kelaparan. Sementara dari sisi sosial, pandemi telah menimbulkan gejolak di tengah masyarakat misalnya konflik keagamaan, tempat ibadah, bahkan konflik akibat kebijakan negara yang dinilai kurang tepat dan konflik tersebut bisa muncul dari mana saja, baik dari masyarakat, kelompok, interaksi sosial, ketimpangan ekonomi dan karakteristik individu. Hal ini rentan memicu seseorang melakukan tindakan kekerasan.

Sementara itu, meski pemerintah memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak pandemi, bukan tidak mungkin program ini akan memicu kecemburuan sosial antar warga, sebab hanya masyarakat yang memenuhi persyaratan tertentu yang mendapatkan bantuan sosial, sedangkan yang tidak memenuhi kemungkinan tidak akan ikut menikmati bantuan tersebut. Selain itu, program ini memberi celah pada pemangku kebijakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana pernah dilakukan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliani Batubara, dalam perkara ini ia diduga menerima fee pengadaan paket bansos Covid-19 wilayah Jabodetabek tahun 2020 sebesar 32, 48 Miliar yang diterima dari berbagai perusahaan vendor penyedia paaket bansos (Kompas.com, 28/7/2021).

Alih-alih pemerintah berniat baik, justru malah program ini menimbulkan problem lainnya. Tidak adanya sinkronisasi skema pemberian bansos antara pemerintah pusat dan daerah, lantaran kadangkala data penerima bantuan berubah, baik terkait domisili, profesi maupun yang lainnya. Oleh sebab itu, sinkronisasi skema pemberian bansos diperlukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, misalkan bantuan tidak tepat sasaran, tidak merata atau adanya pungli yang harus dibayar warga.

Berdasarkan hal itu, beragam konflik sosial terjadi di tengah-tengah masyarakat, berujung pada ketidakpercayaan publik akan kebijakan pemerintah, sebab negara tidak cukup mengedukasi rakyat, lemah dan lambannya penanganan korban, sehingga warga mencari dan mengambil caranya sendiri, padahal tindakan tersebut tak jarang justru berujung konflik antar anggota masyarakat.

Penguasa Abai di Sistem Kapitalisme

Fenomena konflik horizontal di tengah pandemi, tak lepas dari peran sistem liberalisme yang dipahamkan kepada rakyat, sehingga lambatlaun paham tersebut menggerus ketakwaan dan menjauhkan keimanan dari aktivitasnya. Paham kebebasan yang menjadi pandangannya membuat seseorang bisa bertindak sesuka hati menyelesaikan problem yang dihadapinya. Maka dari sistem inilah yang menjadi akar masalah munculnya berbagai perilaku negatif, pasalnya sekulerisme liberalisme sejak awal menolak campur tangan agama, sehingga dalam pemecahan berbagai permasalahan diukur sesuai hawa nafsu manusia bukan berdasarkan agama, yakni Islam.

Demikian pula dengan tabiat para penguasanya, sistem ini telah membentuk karakter para pemimpin negara bersikap kurang peka bahkan dinilai abai dalam merespon permasalahan yang sedang dihadapi rakyat. Adapun kebijakan yang dibuat, sejatinya hanya aturan yang menguntungkan pemangku kebijakan, hal ini terbukti dari setiap aturan malah membuat rakyat makin terkungkung dalam pusaran persoalan tersebut. Misal aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level empat yang baru saja berjalan dan sebelumnya lockdown, PSBB dan PPKM Darurat, alih-alih untuk menekan lajunya tingkat penyebaran dan kematian akibat Coronavirus, justru menuai polemik di berbagai kalangan, sebab kebijakan tersebut tidak selaras dengan aturan lainnya, bahkan bertolak belakang. Misalnya, PPKM harus ditaati oleh seluruh warga negara, namun pemerintah masih memberikan kelonggaran kepada Tenaga Kerja Asing (TKA) berdatangan ke Tanah air dengan dalih sudah mengikuti protokol kesehatan yang ketat, padahal mereka tidak melakukan karantina sebagaimana seharusnya, maka siapa yang bisa mejamin jika mereka tidak membawa virus dari negara asalnya, terlebih TKA tersebut dari Cina yang notabene negara asal munculnya virus Covid-19.

Selain itu, dalam hal pembiayaan dalam menyelesaikan pandemi, pemerintah terkesan setengah hati dalam mengeluarkannya, lantaran anggaran untuk penanganan wabah dan persoalan lain yang mengikutinya jauh lebih kecil dibanding dengan anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur yang seharusnya tidak dijalankan dahulu, sebab saat ini negara dituntut untuk berfokus pada penuntasan pandemi, bukan pembangunan. Sementara pengembangan fasilitas publik tersebut bukan untuk rakyat, tetapi demi korporat. Perlu diketahui, pemerintah menyuntik dana beberapa BUMN sebesar 33,9 triliun dengan dalih untuk penanganan pandemi, padahal BUMN tersebut tidak bergerak di bidang farmasi. Sedangkan anggaran untuk penanganan wabah hanya 6,1 triliun. Sungguh tidak adil.

Demikianlah watak para penguasa yang berada di sistem demokrasi kapitalisme liberalisme, sangat jauh keberpihakannya terhadap rakyat, namun berbaik hati pada korporat dengan dalih kedaulatan rakyat. Hal ini karena penguasa dan pengusaha mempunyai hubungan simbiosis mutualisme, yaitu saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Negara butuh dana dari para pemilik modal sedangkan pengusaha butuh kebijakan penguasa supaya aturan yang dikeluarkan berpihak kepadanya.

Maka dari itu, selama negeri ini dalam dekapan sistem demokrasi kapitalisme liberalisme, dipastikan permasalahan yang membelit negeri ini tidak akan bisa terselesaikan, sebab sistem ini sangat merusak sendi kehidupan. Darinya lahir Undang-undang buatan manusia, tentu di dalamnya tercantum aturan sesuai hawa nafsunya yang identik dengan orientasi duniawi.

Pemimpin Bertanggungjawab hanya Ada dalam Islam

Lantas haruskah Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, diatur dengan peraturan agamanya? Supaya sistem yang diberlakukan pun sesuai dengan akidah Islam, sehingga bisa terlepas dari kungkungan sistem rusak tersebut? Jawabannya tentu wajib, sebagai Muslim tentunya ingin hidup dalam aturan yang ditetapkan Allah Swt melalui Al-Qur’an dan hadits sebagai tuntunannya. Ketika pijakan hidup standarnya Islam niscaya seluruh perilakunya akan disandarkan pada halal haram dan tolak ukurnya dosa dan pahala.

Akan tetapi, tidak mungkin bisa hidup dalam aturan Islam sedangkan sistemnya bukan Islam, melainkan yang lain. Maka dari itu, harus mengganti sistem yang diterapkan saat ini dengan aturan Islam melalui institusi daulah khilafah Islamiyah, dalam sistem ini pemimpinnya yaitu seorang Khalifah akan senantiasa meriayah umatnya dengan pandangan keimanan, sehingga peraturan yang diberlakukan terhadapnya sesuai perintah Allah Swt yang menjamin kemaslahatan seluruh manusia.

Wallohualam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 27

Comment here