Oleh: Wati Ummu Nadia (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com — Kebiri kimia kembali menjadi perbincangan publik. Tak lain karena Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 pada 7 Desember 2020 lalu. PP tersebut berisi tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. PP ini diharapkan bisa menjadi panduan pelaksanaan kebiri untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual terhadap anak.
Kebiri kimia adalah proses pengebirian dengan menggunakan suntikan bahan kimia. Cara kerjanya, bahan kimia tersebut akan mengeblok sinyal dari otak yang memerintahkan produksi testosteron. Sehingga produksi hormon testosteron menurun dan hasrat seksual bisa diredam. Efek ini bersifat sementara, berkisar 3 bulan sampai 2 tahun, tergantung jenis obat yang disuntikkan.
Sejak awal, kebiri kimia menuai kontroversi. Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK) IDI, Pudjo Hartono mengungkapkan,
berdasar keilmuan dan bukti-bukti ilmiah yang ada, kebiri kimia tidak menjamin hasrat dan potensi perilaku kekerasan seksual akan berkurang atau hilang (tirto.id, 27/8/2019).
Erasmus Napitupulu selaku Direktur Eksekutif Institute for Criminal juga menilai langkah pemerintah menetapkan kebiri kimia saat ini bersifat populis, berfokus untuk menghukum pelaku kekerasan seksual, namun perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas (tempo.co, 4/1/2021).
Tak heran jika kebiri kimia akhirnya menjadi polemik. Sudah menjadi ciri khas penanganan masalah dalam sistem demokrasi, penyelesaian yang diambil tidak tuntas mengatasi persoalan. Seringkali solusi yang diberikan hanya setengah hati, yakni berfokus pada aspek kuratif (pemberlakuan sanksi) tetapi minim aksi diranah preventif (pencegahan). Tak jarang pula, demokrasi tampil untuk menyelesaikan masalah namun dengan memunculkan permasalahan baru.
Padahal, kekerasan seksual terhadap anak seharusnya bisa dicegah dari awal. Selama aspek preventif mendapat perhatian besar. Namun yang terjadi, sistem sekuler justru memantik gejolak birahi. Bagaimana tidak, tayangan mengumbar aurat muncul sepanjang hari, konten porno mudah diakses oleh anak negeri, kehidupan serba bebas bisa ditemui setiap hari. Sementara itu, pintu pernikahan makin sulit digapai. Imbasnya, anak-anak menjadi sasaran penyaluran hasrat para pelaku kekerasan seksual nan keji.
Inilah potret asli kehidupan sekuler dalam bingkai demokrasi. Sejak kemunculannya, sekularisme membawa semangat menjauhkan agama dari kehidupan. Agama dipinggirkan, tak boleh ikut campur mengatur urusan publik manusia. Kehidupan yang berjalan tanpa agama, bisa dipastikan akan berujung pada kehancuran. Ditambah lagi, demokrasi membuka lebar pintu-pintu kebebasan atas nama hak asasi manusia. Lengkap sudah kerusakannya.
Hal ini berbeda dengan Islam. Islam adalah satu-satunya agama ruhiyah dan siyasiyah (politik). Islam menjadikan ketaatan seorang hamba tidak terbatas pada aspek ibadah semata, namun ketaatan itu harus meliputi setiap sisi kehidupannya. Karenanya, Islam memiliki aturan komprehensif untuk mengatur seluruh aspek kehidupan.
Islam juga agama yang sangat manusiawi. Islam memberlakukan tindakan preventif secara menyeluruh sebelum mengambil tindakan kuratif.
Dalam hal pencegahan kekerasan seksual, Islam mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menjadikan akidah Islam sebagai dasar kehidupan agar terbentuk ketakwaan individu dan masyarakat.
b. Penerapan sistem pergaulan Islam, mulai dari aturan mahram, kewajiban menutup aurat, kewajiban menundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempuan, larangan khalwat (berdua-duaan dengan yang bukan mahram) dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan), aturan safar bagi wanita, kemudahan untuk menikah, dan sebagainya.
c. Melarang tayangan-tayangan yang merusak dan segala hal yang membangkitkan birahi, menutup akses konten porno, baik melalui televisi, internet, media sosial, dan sebagainya.
d. Islam memerintahkan adanya amar ma’ruf nahy munkar di tengah masyarakat, agar kehidupan terus berjalan sesuai dengan tuntunan Islam.
Jika semua ini berjalan dengan baik, niscaya kekerasan seksual bisa dihilangkan.
Namun, jika masih terjadi kekerasan seksual akibat kelalaian individu, maka Islam memerintahkan pemberlakuan sanksi yang tegas bagi pelaku. Jika sampai pada tindakan zina, maka pelakunya dihukum cambuk (bila pelaku belum menikah) dan dirajam sampai mati (bila pelaku sudah pernah menikah). Jika kekerasan seksual tidak sampai pada zina, maka ada sanksi ta’zir bagi pelaku, yang hukumannya tergantung pada beratnya kesalahan. Jika sampai membunuh atau menyebabkan kematian korban, maka pelaku dijatuhi hukuman mati.
Adapun bagi korban kekerasan seksual, maka negara harus memberikan pendampingan psikologis agar sembuh dari trauma. Korban harus diyakinkan bahwa semua yang terjadi sudah menjadi qadha (ketetapan) Allah. Atas musibah itu, ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban di yaumil akhir, namun harus diiringi dengan kesabaran menerima qadha.
Itulah pandangan Islam dalam mengatasi problem kekerasan seksual terhadap anak. Namun solusi itu mustahil dijalankan dalam sistem demokrasi. Sebab demokrasi lahir dari akidah sekularisme yang membenci peran agama. Solusi Islam itu hanya bisa diwujudkan dalam institusi Khilafah, satu-satunya institusi yang akan menerapkan syariah secara kaffah.
Wallahu a’lamu bish showab.
Views: 1
Comment here