Opini

Kekayaan Pejabat Menganga, Rakyat Miskin Kian Merana

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Novriyani, M.Pd. (Praktisi Pendidikan)

“Bahagia di atas penderitaan rakyat”

wacana-edukasi.com — Ungkapan ini mungkin tepat dengan apa yang dialami masyarakat saat ini. Disaat masyarakat harus berjuang hidup di tengah-tengah pandemi yang semakin meningkat, justru para pejabat masih merasa nyaman dan bersenang-senang dengan hartanya yang semakin bertambah.

Seperti yang diwartakan merdeka.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti hasil laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang diterima. Hasilnya, tercatat sebanyak 70 persen penyelenggara negara memiliki harta yang kian berlimpah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 70,3 persen penyelenggara negara mengalami kenaikan harta kekayaan selama pandemi Covid-19 (9/9/2021)

Selain itu, kenaikan paling banyak terlihat pada harta kekayaan pejabat di instansi kementerian dan DPR yang angkanya mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sedangkan, di tingkat legislatif dan eksekutif daerah, penambahannya masih di bawah Rp1 miliar (CNNIndonesia, 7/9/2022)

Fenomena kekayaan pejabat yang semakin meroket selama pandemi seperti ini menjadi tanda tanya bagi masyarakat? Disaat masyarakat sulit mencukupi kebutuhan hidupnya selama ini, justru kekayaan pejabat mampu mencapai miliaran rupiah. Angka yang cukup fantastis bagi masyarakat, namun hal yang biasa bagi para pejabat. Bahkan mereka menganggap masih berada dalam hal yang wajar.

Para pejabat menganggap memperkaya diri menjadi hal yang biasa dan wajar, karena untuk memperoleh kursi kekuasaan tidaklah mudah. Mereka juga harus mengeluarkan dana dalam jumlah besar selama berkampanye. Inilah yang dilakukan para pejabat saat ini, mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dengan cara memperkaya diri. Cara inilah yang akhirnya mengharuskan para pejabat melakukan korupsi.

Sistem politik demokrasi yang diadopsi saat ini memberikan peluang kepada para pejabat untuk melakukan apapun sesuai keinginannya. Dengan dalih kebebasan, mereka dengan mudahnya memperkaya diri dengan cara korupsi dan menjual aset kepemilikan negara. Kebijakan yang ada pun dapat diubah sesuai kebutuhan dan kadar manfaatnya. Jika mampu memberikan keuntungan dan kekayaan diri, maka kebijakan tersebut diambil dan dijalankan. Begitupun sebaliknya, jika tidak memberikan manfaat maka kebijakan yang ada dihilangkan.

Saat ini, menjabat menjadi seorang pemimpin tidak lagi dipandang sebagai amanah untuk melayani rakyat. Banyak pejabat yang tergelincir lantaran harta yang didapat sangat menggiurkan saat berada di puncak kekuasaan. Sehingga jabatan yang diperoleh pun hanya dijadikan perebutan kekuasaan dan alat untuk memperkaya diri. Padahal mereka digaji dari hasil pajak rakyat, tetapi bukan kepada rakyat mereka berpihak.

Rakyat pun mulai sadar bahwa sistem demokrasi yang diadopsi negeri ini tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada mereka. Rakyat selalu dijadikan korban para pejabat untuk memperkaya diri mereka. Kampanye kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang terus digaungkan hanya sebatas jargon yang tidak bermakna.

Hal ini sangat berbeda jika sistem politik yang diadopsi adalah sistem politik Islam. Islam tidak hanya sebuah agama yang mengatur aspek ibadah dan aktivitas ruhiyah saja. Tetapi, Islam juga sebuah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, salah satunya aspek politik. Selama berabad-abad, sistem politik Islam mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran untuk seluruh umat.

Dalam sistem pengaturan ekonominya pun, Islam mampu mengatur dan mengontrol jumlah kekayaan yang dimiliki para pejabat pemerintahan. Ada beberapa hal yang dilakukan negara untuk mengontrol kekayaan pejabatnya agar tidak gila harta.

Pertama, negara akan melakukan pengauditan harta kekayaan pejabat secara berkala. Negara akan senantiasa mengawasi dan mengontrol harta pejabat agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri.

Hal ini seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin khattab ra. Beliau selalu mengaudit harta kekayaan sebelum dan sesudah menjabat. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada penambahan harta kekayaan yang diperoleh selama menjabat yang berasal dari harta haram ataupun korupsi. Jika terdapat peningkatan harta yang tidak wajar, maka harus dibuktikan bahwa harta yang diperoleh halal. Bahkan, beliau juga membuat kebijakan dengan mencopot jabatan dan menyita harta bawahannya jika diketahui harta yang diperoleh dari hasil korupsi.

Kedua, memberikan pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada pejabat. Para pejabat dibina dan dipahamkan bahwa harta yang diperoleh harus bersumber dari harta yang halal. Mereka harus menyadari bahwa harta adalah titipan Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban bagaimana memperolehnya.

Ketiga, adanya pengawasan dan pengontrolan masyarakat yang berjalan dengan efektif. Akan ada Majelis Umat yang bertugas melakukan koreksi dan memberi masukan kepada khalifah dan struktur di bawahnya. Majelis Umat dipercaya umat untuk menyampaikan pendapat, keluhan, kritik, dan saran kepada penguasa.

Semua itu akan berjalan jika suatu negara menerapkan sistem pemerintahan Islam yang mengurusi urusan rakyat. Dengan menerapkan sistem pemerintahan Islam secara kaffah, maka tidak akan ada pejabat yang gila harta dan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri. Karena mereka paham bahwa pada hakikatnya jabatan dan kekuasaan hanyalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak dan yang nantinya akan membawa mereka ke surga atau neraka.

Wallahu’alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here