Annisa Viranita (Kuburaya, Kalbar)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Kekerasan di sekolah lahir dari penerapan system kehidupan sekuler saat ini yang menghasilkan generasi sekuler yang jauh dari tuntunan agama. Kurikulum sekuler mendidik anak-anak tanpa memperhatikan agama mereka, menghasilkan perilaku semaunya tanpa panduan agama.
Kepala Dinas Pendidikan Kalbar, Rita Hastarita, mengeluarkan surat edaran untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah dengan tujuan menciptakan lingkungan sekolah yang ramah anak dan mencegah kekerasan.Tim ini mempermudah penanganan dengan menjaga kerahasiaan pelapor dan terlapor, memberikan sanksi yang mendidik jika terbukti, dan memulihkan nama baik jika tidak terbukti. Tindakan ini sesuai dengan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 dan merupakan prioritas Dinas Pendidikan Kalbar. Kepalas ekolah yang tidak mematuhi peraturan ini akan dievaluasi (https://www.kalbaronline.com/2023/11/06/rita-bakal-evaluasi-kepsek-terkait-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-di-sekolah/).
Negara juga belum memberi regulasi yang mampu mencegah kekerasan ataupun menerapkan system sanksi yang mampu menjerakan. Bahkan pembentukan TPPK sekalipun tidaklah efektif untuk mencegah kekerasan sekolah karena akar masalahnya tidak diputus. Oleh karena itu diperlukan perubahan system dari sekuler kapitalisme menjadi sistem Islam, yang berlandaskan pada akidah Islam.
Sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam dengan kurikulum yang bersum berdari Islam. Mampu membentuk generasi yang berkepribadian (syahsiah) Islam, yaitu pola pikir (akliah) dan pola sikapnya (nafsiah) Islam. Generasi hasil didikan Islam adalah generasi yang bertakwa. Mereka tidak akan berbuat zalim kepada temannya, misalnya dengan melakukan kekerasan, perundungan, menghina, dan sebagainya. Hal ini karena mereka meniru akhlak Rasulullah saw., juga mereka raja’ (berharap) meraih surga dan khauf (takut) akan murka Allah Taala.
Sistem Islam juga akan mengembalikan fungsi keluarga sebagai tempat tarbiyah (pendidikan dan pembinaan) bagi anak. Saat ini fungsi tersebut mandul karena kedua orang tua dituntut oleh system untuk semuanya bekerja keluar rumah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, Khalifah sebagai pemimpin negara akan menjaga anak-anak agar tidak terkena pengaruh negative dari media. Khalifah akan mengatur media massa dan media sosial agar tidak menayangkan konten yang tidak Islami. Bahkan, gim daring mungkin akan dijauhkan dari kehidupan umat karena terkategori permainan yang melalaikan. Negara menetapkanregulasi yang efektif untuk mencegah kekerasan dan menerapkan system sanksi yang menjerakan. Sanksi harus berfungsi untuk mencegah (zawajir) bagi masyarakat agar tidak melakukan kekerasan, juga berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) atau membuat jera bagi pelakunya. Dalam Islam, anak sudah tidak dianggap sebagai anak-anak ketika sudah balig.
Terkait sanksi pembunuhan, bagi anak yang sudah balig, sanksinya sama dengan orang dewasa. Adapun bagi anak mumayiz, menurut Prof. Huzaimah dalam karyanya, Fiqih Anak, beliau menyebutkan bahwa anak mumayiz, keimanan dan kekufurannya sudah dianggap. Jika anak mumayiz membunuh, ia tetap mendapat hukuman ta’dib (untukmendidik).*
Views: 23
Comment here