Opini

Kekerasan Seksual Butuh Penanganan Maksimal

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Bunda Dee

wacana-edukasi.com– Kembali publik dikejutkan dengan pemberitaan yang mengiris hati. Lagi dan lagi kekerasan seksual terhadap anak terjadi. Banyak motif yang melatarbelakangi kasus pelecehan tersebut. Sampai saat ini belum terolusikan, bahkan jumlahnya terus bertambah. Seperti yang baru-baru ini terkuak, yaitu kasus predator anak yang terjadi di Kabupaten Bandung.

Dilansir dari Tribunjabar.id pada Rabu 1 Desember 2021, telah terjadi kasus predator anak oleh pria berusia 38 tahun terhadap anak usia 7 tahun. Hal ini dibenarkan oleh Komisaris Besar Polisi Hendra Kurniawan. Dari informasi yang didapat pelaku merupakan penjual mainan warga Rancaekek Kabupaten Bandung. Kasusnya tengah ditangani jajaran Polresta Bandung. Sebelumnya terdapat kasus kekerasan lain yang korbannya harus berakhir dengan kematian setelah dilecehkan.

Merespon hal di atas, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah memperjuangkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2022.

Sebagaimana diungkap dalam Literasi News, Kamis 9 Desember 2021, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bandung Nurlela Qodariyah mengapresiasi pengesahan RUU TPKS. Hal tersebut dianggap mendesak mengingat maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini. Bahkan menurutnya Indonesia sedang mengalami darurat Kekerasan seksual. Ia pun berharap adanya payung hukum tersebut akan menekan kasus sekaligus menjadi momentum penting bagi penanganan masalah kekerasan seksual secara utuh. Ini merupakan bentuk perhatian negara dalam memberi perlindungan kepada korban dan menghapus stigma buruk dalam pergaulan sosialnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyatakan kekerasan seksual merupakan jenis kejahatan yang paling banyak menimpa anak-anak. Kekerasan seksual akan menimbulkan trauma hingga dewasa. Bahkan akan semakin membekas dan berjangka panjang ketika diketahui pelakunya adalah orang terdekat. Karena faktanya 90% pelaku adalah orang yang mereka kenal dan punya hubungan dekat.

Namun jika tujuannya menangani kekerasan seksual secara utuh, seharusnya bukan hanya melindungi korban, tetapi ditelusuri apa yang menjadi pemicu seseorang nekad menjadi predator. Sehingga penanganannya bukan hanya setelah terjadi kasus, tapi bagaimana caranya agar kasus tidak terjadi. Bukan hal yang sulit untuk diketahui, bahkan media seringkali memberitakan, bahwa pemicu seseorang melakukan kekerasan seksual seperti perkosaan adalah karena seringnya nonton video porno atau karena dalam keadaan mabuk. Tapi sayangnya kedua pemicu tersebut luput dari pembahasan.

Sedangkan aturan yang dibuat pun diduga kuat tidak akan mampu menjadi solusi, seperti yang tampak pada pasal 9 RUU-PKS. Di dalamnya dinyatakan pelaku kekerasan seksual akan menjalani rehabilitasi bukan hukuman berat. Mana mungkin dengan aturan seperti ini akan memberikan efek jera bagi pelaku khususnya dan tidak diikuti oleh pelaku lainnya.

Lebih miris lagi apa yang ditudingkan oleh kaum feminis, bahwa penyebab terjadinya kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak, karena adanya superioritas laki-laki terhadap perempuan sebagaimana ada dalam aturan Islam. Maka solusi yang mereka serukan adalah kesetaran gender. Salah mengidentifikasi masalah, malah agama yang dipersoalkan.

Tapi inilah kenyataan yang harus kita saksikan ketika sistem kapitalisme demokrasi masih diemban. Sistem yang mengedepankan materi dan kesenangan jasadi. Sistem yang mengagungkan kebebasan; kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan bertingkah laku, dan kebebasan kepemilikan. Akhirnya menjerumuskan manusia kepada jurang kerusakan moral.

Atas nama kebebasan, bisnis pornografi maupun miras semakin subur. Pergaulan pria wanita semakin jauh dari tuntunan agama. Ketika menyelesaikan masalah tidak mengacu lagi kepada sandaran agama, tapi semata-mata berdasarkan pemikiran manusia yang sifatnya terbatas. Padahal agama diturunkan oleh Allah Swt. sebagai petunjuk kehidupan, sebagai solusi bagi seluruh persoalan.

Betapa menyedihkan, mayoritas muslim tapi aturan agama dipinggirkan.
Andaikan kita memahami, betapa Islam adalah sistem kehidupan yang paripurna. Islam menetapkan bahwa terjaganya kehormatan perempuan dan anak bukan hanya tanggung jawab keluarga juga masyarakat terutama negara.

Maka untuk mewujudkannya harus ditopang oleh tiga pilar yaitu, pertama ketakwaan individu sebagai bekal seseorang untuk selalu terikat aturan Islam. Aturan yang akan membentengi diri dari kemaksiatan.
Pilar kedua adalah adanya kontrol dari masyarakat. Fungsinya untuk memperkuat ketakwaan yang sudah diupayakan oleh individu. Selalu ber amar makruf nahi munkar agar aktivitas yang berkaitan dengan kejahatan ini bisa diminimalisir bahkan dihilangkan.
Pilar ketiga termasuk yang paling penting adalah adanya peran negara. Negara akan memberlakukan aturan berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah, bukan demokrasi liberal. Mewajibkan menutup aurat, membatasi pergaulan pria wanita sesuai koridor Islam. Negara pun tidak akan membiarkan bisnis haram pemicu kekerasan seksual. Media akan dibersihkan dari konten yang merusak.

Kalaupun terjadi kasus, maka negara akan menjatuhkan sanksi sesuai syariat, yang tentunya akan memberikan efek jera sekaligus penebus dosa khususnya bagi seorang muslim, sehingga peluang terjadinya kekerasan seksual akan tertekan seminimal mungkin. Bahkan berbagai bentuk

penyimpangan seksual, seperti homoseksual, perzinaan, pelacuran akan dibersihkan secara maksimal. Karena Islam sangat memperhatikan terciptanya generasi unggul, kuat dan taat syariat.
Kebaikan sebuah bangsa terletak pada aturan dan pemimpin yang bertanggungjawab. Rasulullah saw. bersabda yang artinya:
“Imam adalah pengurus, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Demikianlah penanganan maksimal hanya terwujud dalam sistem Islam. Dimulai dari menghilangkan pemicunya, membina masyarakat, serta menjatuhkan sanksi. Semuanya didasarkan pada akidah Islam semata bukan yang lain.

Wallahu a’lam bishawab️

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here