Penulis: Waode Rachmawati, S.Pd.,M.Pd (Aktivis Dakwah Muslimah Kota Kendari)
Wacana-edukasi.com — Di tengah pandemi yang masih menggerogoti negeri ini, fenomena Kekerasan Seksual terhadap Anak (KSA) pun kembali meningkat. Kali ini diberitakan dari wilayah Konawe Selatan (Konsel) Provinsi Sulawesi Tenggara, angka kekerasan seksual terhadap anak meningkat.
Dilansir dari zonasultra.com, menurut keterangan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Konsel, tercatat ada lima belas kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dimana terdapat sembilan kasus pelecehan seksual terhadap anak dan enam kasus terhadapa perempuan. Angka ini meningkat dari kasus yang terjadi di tahun 2019 yakni tercatat delapan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (25/8/2020).
Tingkat KSA di Indonesia sampai saat ini memang belum mampu ditekan. Diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (PPA) I Gusti Ayu Bintang Darmavati dalam acara anugerah KPAI 2020 yang disiarkan secara virtual, Rabu (22/7/2020), sejak januari sampai juni 2020 terdapat 3.928 kasus kekerasan anak, dan hamper 55% diantaranya adalah kekerasan seksual (news.detik.com/, 22/7/2020).
Akar Masalah KSA
Banyak faktor yang dapat memicu maraknya KSA saat ini. Diantaranya akibat terpapar tontonan pornografi dan pornoaksi melalu internet. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kondisi pandemi saat ini, semakin memberi peluang besar terhadap anak maupun orang dewasa untuk membuka situs-situs porno melalui gawai mereka. Dikarenakan waktu mereka lebih banyak dihabiskan bersama gawai ketimbang aktivitas yang lain. Maka peluang mengakses konten-konten pornografi di internet semakin besar. Apatah lagi, berbagai situs pornografi banyak dijajakan di internet, sehingga sangat mudah mengaksesnya.
Berdasarkan telaah yang dilakukan Kementerian PPPA dan mitra, salah satu muara tindak kekerasan seksual terhadap anak adalah penyebarluasan muatan-muatan pornografi di internet. Bahkan, melalui program internet masuk desa, pornografi juga sudah disebarluaskan hingga ke perdesaan-perdesaan (republika.co.id, 3/9/2019).
Ditambah lagi dengan regulasi hukuman terhadap pelaku KSA yang dianggap kurang menggigit, sehingga belum sampai menimbulkan efek jerah terhadap pelaku dan belum cukup memberi rasa takut kepada orang lain untuk melakukan perbuatan serupa. Dalam UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perbuatan cabul termasuk terhadap anak di bawah umur diatur dalam Pasal 290 KUHP yang menyatakan Pelaku pencabulan termasuk terhadap anak diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Harusnya ini menjadi warning bagi orang tua dan keluarga untuk dapat mengontrol dan mengawaisi anak-anak kita dalam menggunakan gawai mereka. Melihat saat ini semakin mudahnya konten pornografi diakses dan masih lemahnya penanganan hukum terhadap para pelaku. Maka fenomena kekerasan seksual akan terus merebak bahkan menyasar anak-anak. Ibarat gunung es, yang tampak hanya dipuncaknya saja, sedangkan bagian bawahnya sulit dideteksi.
Namun demikian, tentu yang paling bertanggung jawab akan fenomena KSA di negeri ini adalah pemerintah itu sendiri. Karena apalah daya orang tua mengawasi anak menggunakan gawainya 24 jam, jika situs-situs jorok tersebut dibiarkan oleh Pemerintah bertengger di internet.
Sejatinya akar dari permasalahan KSA ini tidak lain adalah penerapan sistem sekulerisme liberalisme. Menjadikan tatanan kehidupan baik keluarga, masyarakat maupun Negara amat lemah dalam mencegah dan memberantas permasalahan ini.
Pertama, lingkungan keluarga yang sekuler (memisahkan aturan agama dari kehidupan) tidak ditanamkannya nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Anak dibiarkan berbuat bebas, bebas berpakian membuka aurat di luar rumah, bebas bergaul dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Tidak adanya ketaqwaan yang baik dan kebebsan tersebut, menjadikan anak maupun anggota keluarga lain tidak merasa takut untuk berbuat maksiat seperti menonton video porno sampai melakukan berbuatan keji sperti KSA ini.
Kedua, lingkungan masyarak pun yang hedonis dan individualis, menghilangkan peran masyarakat sebagai pengontrol atas tindakan-tindakan kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang lain. Masyarakat dewasa ini hanya sibuk dengan urusan pribadi, bagaimana memenuhi kebutuhan materinya. Acuh atau tidak peduli dengan kondisi di sekitarnya. Maka peluang KSA ini bertambah lebar untuk terjadi.
Kemudian yang ketiga peran pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurusi kehidupan rakyatnya dengan baik, nyatanya masih jauh dari harapan. Lemahnya regulasi hukum yang diterapkan, pembiaran situs-situs porno merajalela di internet merupakan faktor utama terjadinya KSA.
Kenyataan pahit yang harus kita rasakan sampai hari ini adalah negeri ini masih diatur dengan sistem sekulerisme kapitalisme liberal. Memisahkan aturan kehidupan dari atauran agama, nilai-nilai materialistic masih dikedepankan, asas hidup bebas masih dipegang teguh. Maka sampai kapan pun KSA tidak akan dapat dihapus dari negeri ini secara tuntas, selama sumber masalahnya yakni sistem sekuler dan turunannya tidak dihilangkan.
Solusi Islam
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT yang memiliki aturan yang paripurna untuk diterapkan dalam kehidupan. Aturan yang memberikan solusi dari setiap problematika kehidupan, termasuk permasalahan KSA. Syariat Islam mampu mencegah dan memberantas KSA. Syariat islam melarang segala bentuk aktivitas maupun perbuatan yang dapat memicu terjadinya KSA, seperti pornografi, baik dalam membuat, menyebarkan atau menikmatinya. Syariat Islam juga mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan dan mengatur hubungan kekerabatan dalam keluarga.
Kemudian, syariat Islam mengharuskan negara untuk senantiasa menanamkan akidah Islam dan membangun ketakwaan pada diri rakyat. Negara berkewajiban menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat.
Dengan demikian, rakyat memiliki kontrol pengendali dari tindakan kriminal termasuk KSA. Dengan itu pula, rakyat bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak.
Penanaman keimanan dan ketakwaan akan membuat masyarakat tidak didominasi oleh sikap hedonis dan individualis, mengutamakan kepuasan materi dan jasmani.
Kemudian, jika masih ada yang melakukan KSA, maka sistem ‘uqubat Islam akan diteberlakukan bagi para pelaku. Hal ini dilakukan agar memberi efek jerah bagi pelaku dan mencegah orang laini untuk melakukan kejahatan yang serupa. Misalnya, bagi pelaku pedofilia dalam bentuk sodomi akan dijatuhi hukuman mati. Begitupun pelaku homoseksual. Sehingga perilaku itu tidak akan menyebar di masyarakat.
Hukuman mati itu didasarkan kepada sabda Rasul saw:
“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Diantara para sahabat berbeda pendapat tentang cara hukuman mati. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhshan). Jika kekerasan seksual itu bukan dalam bentuk sodomi (homoseksual) tetapi dalam bentuk perkosaan, maka pelakunya jika muhshan (sudah memiliki pasangan sah) akan dirajam hingga mati, sedangkan jika ghayr muhshan (belum memiliki pasangan sah)akan dijilid seratus kali. Jika pelecehan seksual tidak sampai tingkat itu, maka pelakunya akan dijatuhi sanksi ta’zir. Bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah dan qadhi.
Dengan penerapan syariat islam yang sempurna, maka kekerasan seksual terhadap anak dapat dicegah dan diberantas dengan tuntas.
Wallahu a’lam bishowab.
Views: 4
Comment here