Wacana-edukasi.com — Pandemi covid-19 yang telah berjalan lebih dari setahun belum nampak akan berakhir. Hadirnya virus kasat mata ini berefek luar biasa disemua sektor. Daya beli masyarakat menurun, PHK marak, banyaknya usaha yang terpaksa gulung tikar, dan pembatasan aktivitas masyarakat yang mempengaruhi roda ekonomi rakyat. Ditambah lagi dengan angka kasus kriminalitas yang juga meningkat. Maka tak heran kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat baik di level nasional maupun daerah.
Secara nasional berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terdapat 5.436 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan paling banyak terjadi pada anak usia pendidikan SMA atau sederajat dan terjadi di lingkup rumah tangga (kompas.co, 23/7/2021).
Sedangkan kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Provinsi Sulawesi Tenggara juga tergolong tinggi. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3APPK) mencatat 117 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak per periode Januari hingga Juni 2021 yang terjadi di 14 dari 17 kabupaten/kota se-Sultra. Padahal kasus di sepanjang 2020 tercatat hanya 240 kasus. Tingginya angka kasus ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya kondisi ekonomi.
Menurut Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB Universty Yulina Eva Riany mengatakan bahwa hasil penelitian menyebutkan mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi ekonomi yang rendah, tekanan sosial ekonomi seperti terlilit utang dan kemampuan ekonomi yang rendah menjadi penyebab stres pada orang tua (antaranews.com, 9/10/2020). Aturan yang ada saat ini belum mampu menghilangkan atau setidaknya mengurangi angka kasus kekerasan tersebut. Maka tak heran angka kasusnya meningkat seiring pandemi yang tak kunjung usai.
Anak sebagai generasi penerus bangsa sudah semestinya dibina, dibimbing dan dilindungi bukan dijadikan sebagai korban ledakan emosi orang tua. Aktivitas anak yang saat ini lebih difokuskan di rumah harusnya dimanfaatkan oleh orang tua untuk membangun kedekatan secara psikologis dan emosional serta membimbing mereka agar kelak menjadi anak yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. Yang tak kalah penting adalah orang tua harus menanamkan pemahaman agama terhadap anak dan tidak mencukupkannya pada nilai materi semata. Sehingga, dengan begitu gerusan sistem sekulerisme dan materialisme yang saat ini berlaku mampu diminimalisir.
Selain itu, negara memiliki peran besar sebagai pengayom, pelindung, dan benteng bagi keselamatan seluruh rakyatnya, demikian juga anak. Negara dalam pandangan islam adalah benteng sesungguhnya yang akan melindungi anak-anak dari berbagai kejahatan.
Mekanisme perlindungannya dilakukan secara sistemis dan melalui penerapan berbagai aturan. Penerapan aturan ini menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, sandang, pangan dan papan, penyediaan lapangan kerja yang layak sehingga orang tua dapat menafkahi keluarganya. Selain itu, sistem pendidikan dalam kurikulum berbasis akidah Islam akan mampu melahirkan individu bertakwa. Individu yang mampu melaksanakan seluruh kewajiban yang diberikan Allah dan terjaga dari berbagai bentuk kemaksiatan.
Negara dalam pandangan Islam juga wajib menerapkan sistem sosial yang akan menjamin interaksi antara laki-laki dan perempuan berlangsung sesuai ketentuan syariat. Negara juga wajib melakukan pengaturan media massa. Berita dan informasi yang disampaikan hanyalah konten yang membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan.
Tak kalah penting adalah adanya sistem sanksi yang tegas terhadap orang-orang yang melakukan kekerasan dan penganiayaan anak. Hukuman yang tegas akan membuat jera orang yang telanjur terjerumus pada kejahatan dan akan mencegah orang lain melakukan kemaksiatan tersebut.
Dengan pengaturan tersebut maka segala bentuk kejahatan terhadap perempuan anak mampu dihalau dan dihilangkan. Wallahu A’lam.
Zuharmi. H, S. Si. (Pemerhati Sosial)
Views: 7
Comment here