Oleh: Imroatus Sholeha (Freelance Writer)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Belakangan ini, publik dihebohkan dengan kelangkaan gas LPG 3 kg atau yang dikenal sebagai gas melon. Kondisi ini merupakan dampak dari upaya perbaikan sistem distribusi agar harga di pasaran tidak melambung tinggi seperti yang terjadi sebelumnya.
Menurut laporan CNBC Indonesia, Kementerian ESDM berencana menata distribusi LPG 3 kg bersubsidi agar lebih tepat sasaran dengan mendorong pengecer menjadi pangkalan resmi Pertamina. Pengecer hanya perlu mendaftarkan usahanya untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui OSS, sehingga rantai distribusi menjadi lebih efisien dan harga LPG tetap sesuai ketetapan pemerintah.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa harga LPG 3 kg yang dibayar masyarakat jauh lebih rendah dari harga aslinya karena adanya subsidi dari pemerintah. Saat ini, LPG 3 kg dijual seharga Rp12.750 per tabung, padahal harga sebenarnya mencapai Rp42.750 per tabung. Pemerintah mengalokasikan subsidi sebesar Rp30.000 per tabung, dengan total anggaran Rp80,2 triliun pada 2024 untuk 40,3 juta pelanggan. Subsidi ini tidak hanya membantu masyarakat rentan tetapi juga kelompok kelas menengah. (1/1/2025).
Namun, kebijakan baru ini justru memicu kepanikan di masyarakat. Warga rela antre berjam-jam demi mendapatkan LPG 3 kg. Bahkan, kejadian tragis terjadi di Tangerang Selatan, di mana seorang ibu penjual nasi uduk meninggal dunia setelah antre selama dua jam di bawah terik matahari. Akibat protes masyarakat, DPR dan pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengaktifkan kembali pengecer LPG 3 kg mulai Selasa, 4 Februari 2025.
Akar Masalah Tata Kelola Sumber Daya Alam
Perubahan sistem distribusi LPG 3 kg yang mengharuskan pengecer menjadi pangkalan resmi adalah konsekuensi dari sistem kapitalisme. Nyatanya, permasalahan utama kelangkaan LPG 3 kg di pasaran bukan sekadar soal distribusi, melainkan tata kelola sumber daya alam yang keliru.
Sistem ekonomi liberal-kapitalis memungkinkan pemilik modal mengeksploitasi bahkan menguasai sumber daya alam negeri ini. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dari Sabang hingga Merauke. Seharusnya, kebutuhan pokok dan energi seperti listrik, BBM, gas, dan minyak goreng dapat terpenuhi dengan baik jika dikelola secara optimal. Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, kekayaan alam lebih banyak dikuasai oleh pihak swasta, bahkan asing. Negara hanya berperan sebagai regulator, bukan fasilitator.
Sistem ini juga meniscayakan Liberalisasi di sektor migas dimana memberi jalan bagi korporasi untuk menguasai sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat. Akibatnya, kebijakan apa pun yang diterapkan tidak serta-merta membuat rakyat lebih mudah mendapatkan LPG.
Regulasi baru terkait distribusi LPG pun menuai polemik. Pasalnya, kebijakan ini berpotensi menyulitkan masyarakat karena pasokan hanya tersedia di pangkalan resmi yang jumlahnya terbatas. Selain itu, aturan ini dapat menutup peluang usaha kecil, sementara di sisi lain justru memberi keuntungan lebih besar bagi pemilik modal besar. Sebab, untuk menjadi agen resmi, dibutuhkan modal yang tidak sedikit.
Sistem Islam Solusi Tata Kelola Sumber Daya Alam
Inilah konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalis-sekuler yang diterapkan di negeri ini. Kebijakan yang dihasilkan sering kali bersifat tambal sulam dan justru semakin menyulitkan rakyat. Sistem ini lebih menguntungkan korporasi karena berorientasi pada materi.
Dalam sistem kapitalisme, meskipun negara memiliki kekayaan alam berlimpah, rakyat tetap kesulitan mendapatkan migas dengan harga murah, bahkan gratis. Sebab, negara melegalkan pengelolaannya sebagai bisnis, bukan sebagai pelayanan rakyat. Mirisnya, kepemimpinan sekuler saat ini membuat negara berlepas tangan dalam menjamin kebutuhan rakyat. Padahal, pemimpin seharusnya berperan sebagai pengurus umat (Ra’in).
Berbeda dengan kapitalisme, Islam secara kaffah mengatur bahwa migas adalah harta milik umum atau rakyat. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah ﷺ:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hadis ini, perserikatan berarti semua rakyat berhak memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Semua harta yang termasuk dalam tiga hal tersebut haram diserahkan pengelolaannya kepada swasta atau asing.
Migas, sebagai sumber energi, termasuk dalam kategori “api” yang dibutuhkan semua orang. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada individu atau korporasi asing, sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalis saat ini. Islam mewajibkan negara sebagai wakil umat untuk mengelola migas dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaan serta distribusinya demi kesejahteraan rakyat. Negara juga tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam sebagai wujud kepengurusan rakyat.
Dalam Islam, negara berfungsi sebagai pengurus rakyat (Ri’ayah Syu’unil Ummah), di mana semua kebijakan yang diterapkan harus memudahkan rakyat dalam mengakses kebutuhan mereka, termasuk migas. Siapa pun pemimpin (khalifah) yang menjabat, hukum Inilah yang diterapkan, bukan sistem lain.
Dalam pendistribusiannya, khalifah berhak membagikan gas kepada seluruh rakyat secara gratis jika diperlukan. Bisa juga dengan menjualnya dengan harga murah, tanpa melarang pengecer untuk ikut mendistribusikannya, justru sebaliknya, negara terbantu dalam menjamin distribusi gas hingga ke pelosok.
Sungguh, hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah (Khilafah), seluruh rakyat akan lebih mudah mengakses migas dan sumber daya alam lainnya.
Selama sistem ekonomi kapitalis masih diterapkan, rakyat akan terus kesulitan mendapatkan akses terhadap sumber daya alam. Sudah saatnya umat sadar dan kembali kepada sistem Islam yang berasal dari Allah SWT sistem yang terbukti lebih adil dan berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 3
Comment here