Oleh : Teti Ummu Alif
(Pemerhati Kebijakan Publik)
wacana-edukasi.com– Kabar mengejutkan datang dari tanah Mutiara Hitam Papua. Pasalnya, wilayah distrik Kuyawage Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua dilaporkan mengalami kekeringan ekstrim sejak awal Juni lalu. Akibatnya, ratusan warga mengalami kelaparan. Bahkan, 4 orang warga dinyatakan meninggal dunia (Kompas TV 2/8/2022).
Tak ayal, banyak pihak menuding hal tersebut terjadi karena pemerintah daerah kurang memperhatikan warganya. Salah satunya, eks Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai. Ia menilai krisis pangan yang berujung kelaparan disebabkan pemerintah sibuk mengurusi otonomi khusus dan pemekaran daerah baru (DOB). Namun, pihak pemerintah langsung membantah tudingan itu. Juru bicara Pemrov Papua, Muhammad Rifai mengatakan bahwa peristiwa kekeringan di Lany jaya terjadi karena cuaca ekstrim. Ia mengklaim pihaknya dan pemerintah setempat sedang mendampingi warga.
Sebagai informasi, bencana kelaparan yang menimpa daerah pegunungan di Papua sudah sering berulang. Berdasarkan data pada Agustus 1982 korban jiwa akibat kelaparan di Jaya Wijaya pada saat itu mencapai 112 orang, 367 orang mendapatkan perawatan dan 3000 orang lainnya menderita kekurangan gizi. Mirisnya, kejadian serupa terus berlanjut ditahun berikutnya yakni tahun 1984, 1986, Oktober 1997, April 1998, Maret 2000, Mei 2003, Desember 2005 – Februari 2006, Februari 2007, Maret 2011, April 2013, Juli 2015, September 2017 – Januari 2018, dan Januari – Juni 2019. Kasus kematian akibat kelaparan di Lanny Jaya kian menambah rentetan kasus diatas.
Ya, bencana kelaparan termasuk kategori Slow on set disaster dalam manajemen bencana. Artinya, bencana ini terjadi secara perlahan sebab, orang yang kekurangan asupan makanan perlu waktu panjang sampai akhirnya meninggal dunia. Manusia tidak akan mati jika tidak makan sehari. Akan tetapi, jika kondisi itu terus berlangsung mereka bisa kekurangan gizi dan mengidap busung lapar. Akhirnya merasa lemah karena energinya kurang dan meninggal. Seperti yang terjadi di Lanny Jaya dan sekitarnya, dimana mereka bergantung hidup pada hasil alam. Cuaca ekstrim, kekeringan dan embun beku memang kerap terjadi di daerah tersebut. Sejak Juni 2022 daerah Kuyuwage dilanda kekeringan. Puncaknya terjadi embun beku ekstrim pada 5 dan 6 Juli. Kondisi ini membuat warga tidak memiliki sumber pangan.
Peneliti agroklimat Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat, Aset Rouw menilai krisis pangan yang berulang di Papua bukan semata-mata karena faktor cuaca dan iklim. Namun, luasan dan sebaran perkebunan warga bisa mempengaruhi intensitas kelaparan. Semenjak beras miskin alias raskin masuk, warga banyak bergantung pada konsumsi raskin. Sehingga, luas lahan tanam ubi dan keladi cenderung berkurang. Selain itu, food estate bukan menjadi solusi. Sebab, masalah aksesibilitas dan keamanan membuat warga pegunungan tidak bisa menggantungkan ketahanan pangan dari luar. Jadi, seharusnya wilayah ini diperkuat ketahanan pangannya dari dalam.
Realita ini menunjukkan kepada kita, bagaimana kegagalan sistem kapitalisme dalam mengatur ketahanan pangan. Sistem ini menciptakan kepemimpinan yang hanya berorientasi pada capaian materi. Tanpa memastikan tiap-tiap individu mendapatkan kesejahteraan. Alhasil, penguasa dalam sistem ini hanya mencukupkan kebutuhan pokok warga berdasarkan angka-angka produksi beras secara nasional. Kasus kekurangan gizi hingga busung lapar yang berujung kematian hanya akan mendapatkan perhatian jika kasusnya sudah mencuat ke publik. Sungguh ironis, sekalipun tanah Papua kaya dengan tambang emas namun, infrastruktur disana sangat minim. Kondisi inilah yang ikut andil memperparah krisis pangan. Semua itu disebabkan oleh sistem kapitalisme yang melegalkan SDA dikuasai asing. Sehingga, pembangunan di bumi Cenderawasih tidak merata.
Yakinlah. Kondisi demikian tidak akan terjadi jika umat manusia diatur dalam sistem kepemimpinan Islam bernama Khilafah. Rasulullah bersabda : “penduduk kampung manapun, ketika pagi diantara mereka satu orang kelaparan, maka benar-benar telah lepas dari perlindungan Allah Yang Maha Suci Lagi Maha Tinggi”. (HR. Ahmad dari Ibnu Umar).
Hadis ini merupakan ikhbar yang berisi tuntutan dengan disertai celaan yang menunjukkan hukum fardhu bagi kaum muslim. Maka, Khilafah sebagai penerap hukum syariat akan memastikan setiap individu per individu di wilayah kekuasaan Khilafah terpenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraannya.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan, Khilafah akan sangat memperhatikan sektor pertanian. Khilafah akan menghitung kebutuhan pangan nasional dan memetakan daerah yang potensial untuk wilayah pertanian. Kemudian Khilafah akan menunjang kebutuhan pertanian dengan mengoptimalkan industri terkait. Seperti industri pupuk, alat-lat pertanian dan sejenisnya. Setelah itu Khilafah akan mendistribusikan hasil pangan sesuai kebutuhan perwilayah. Daerah Lanny Jaya misalnya, Khilafah akan memberikan insentif ke daerah tersebut.
Sehingga, wilayah pengunungan mampu berdaulat atas pangan mereka. Khilafah akan membangun infrastruktur yang memudahkan akses mereka keluar masuk ke wilayah lain. Di samping itu, Khilafah akan mengarahkan ketahanan pangannya pada 3 target.
Pertama, ketahanan pangan untuk konsumsi harian.
Kedua, ketahanan pangan untuk krisis, wabah dan bencana.
Ketiga, ketahanan pangan untuk jihad. Demikianlah jaminan Islam dalam Swasembada pangan agar semua wilayah bebas dari bencana kelaparan. Luar biasa bukan?
Wallahu a’lam bisshawwab.
Views: 30
Comment here