Surat Pembaca

Keluarga Flexing Pejabat Dinonaktifkan, Solusikah?

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Banyaknya rakyat Indonesia yang hidup di dalam garis kemiskinan dan jauh dari kesejahteraan, nyatanya belum juga dapat menyadarkan para pejabat dalam gaya hidup dan tingkah laku mereka keseharian. Tidak sedikit para pejabat dan keluarganya yang berlenggak-lenggok menjinjing kekayaan di ranah umum. Sontak hal itu mengundang kritik dan tanda tanya dari rakyat.

Salah satunya terlihat dari pejabat pembuat komitmen Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub), yaitu Muhammad Rizky Alamsyah, yang menjadi sorotan di media sosial. Hal tersebut lantaran istri Rizky yang seringkali memamerkan kehidupan mewah (flexing) di media sosialnya. Sebagaimana diunggah oleh akun Twitter @partaisosmed, terdapat foto-foto istri Rizky sedang menggunakan barang-barang branded, mengendarai mobil mewah, hingga bepergian ke luar negeri (kumparanNEWS, 26/03/2023).

Padahal, sudah ada pesan dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, agar para karyawan Kemenhub tidak bermewah-mewah, yaitu dengan menjaga integritas berperilaku hidup sederhana, dan tidak memamerkan gaya hidup mewah di media sosial.

Selain istri Muhammad Rizky Alamsyah (Kemenhub), ada juga istri pejabat Sekretariat Negara (Setneg), Esha Rahmanshah Abrar. Tak tanggung-tanggung, gaya hidup mewah terlihat dari aksi memperlihatkan pembelian mobil, berfoto dengan sejumlah mobil mulai dari Mercedez Benz hingga Fortuner. Ia juga memperlihatkan perhiasan, pembelian logam mulia, hingga buket uang (bangkapos.com, 22/03/2023).

Hal tersebut berbuntut dengan menonaktifkan Esha sementara dari jabatan kasubag administrasi kendaraan biro umum Kemensetneg. Selanjutnya juga dibentuk tim verifikasi internal untuk menyelidiki harta kekayaan Esha, dan juga para aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Sekretariat Negara.

Melihat fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan kasus ini masih lemah dan belum solutif. Penonaktifan jabatan merupakan solusi yang aneh, karena sehingga di butuhkan dengan aktivitas yang sebetulnya harus dilakukan ini terlebih dahulu diperiksa sumber kekayaannya, baru selanjutnya diputuskan secara tegas apakah dipecat atau tidak.

Itulah segelintir fakta dari banyaknya budaya flexing pejabat yang ada di negeri ini. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Ada sesuatu yang menjadi landasan para pejabat dan keluarganya dalam berfikir dan bersikap. Sebab, seseorang akan melakukan sesuatu, sesuai dengan sandaran kehidupannya. Yang menjadi sandaran orang-orang kebanyakan pada hari ini adalah sistem kapitalisme, yang melahirkan hedonisme. Yaitu, menggunakan cara apapun guna mendapatkan keuntungan/pemuasan sebesar-besarnya, sekalipun dengan kecurangan. Ketika materi sudah diraih, rasa ingin dipandang pun melonjak. Aktivitas flexing pun terjadi.

Budaya flexing juga menunjukkan ketidakpedulian pejabat pada rakyatnya yang hidup dalam garis kemiskinan. Padahal, tugas pejabat adalah mengurusi kepentingan rakyat, bukan malah disibukkan dengan aktivitas flexing.

Maka, diperlukan solusi nyata untuk menghilangkan budaya flexing. Solusi nyata yang dapat membangun budaya baru, yaitu budaya amanah, peduli, bertanggung jawab, dan rendah hati di kalangan pejabat. Semua itu tentu tidak akan pernah didapat dari sistem kapitalisme yang berfokus menyuburkan keduniawian semata.

Maraknya kasus flexing di kalangan pejabat, disebabkan hal-hal berikut.
Pertama, kurangnya hubungan diri mereka kepada Allah SWT, lemahnya empati terhadap keadaan sekitar, dan terbuai dengan keindahan semu duniawi. Karenanya, perlu ditumbuhkan rasa iman yang kuat pada diri pejabat dan keluarganya, agar pola pikir dan sikap sejalan dengan standar Sang Pencipta.

Kedua, karena pejabat, keluarga, bahkan rakyat tumbuh di sistem kapitalisme, yang membuat prioritas hidup berfokus hanya pada materi kekayaan duniawi, dan lupa akan persoalan yang lebih penting dan hakiki. Misal, lupa dengan kondisi rakyat, dan malah sibuk berlomba-lomba dalam menarik perhatian atas kelimpahan kekayaan. Hal itu semakin menunjukkan bahwa tujuan hidup mereka bukanlah meraih keridhaan Allah SWT, tetapi hanya seputar kebahagiaan materi dan keduniawian.

Ketiga, dipisahkannya aturan Islam dalam urusan kehidupan. Akibatnya, penyimpangan kian merajalela tanpa bisa dibendung. Kebebasan menjadi standar aktivitas, sementara ketaatan masuk ke barisan nomor sekian. Kondisi tersebut mencerminkan keadaan sosial masyarakat yang sakit parah.

Hanya dengan Islam lah semua akan teratasi. Dimulai dari mengkondisikan pejabat dan rakyat untuk hidup dalam ketaatan dan menjunjung keimanan. Dengan dijunjungnya keimanan, akan lahir pejabat yang amanah dan bijak terhadap aktivitas mengurusi rakyat. Dengan memprioritaskan rakyat, maka akan mengantarkan pula pada ekosistem sosial masyarakat yang baik dan sejahtera.

Bahkan, tidak akan ada yang namanya korupsi. Karena, baik pejabat dan rakyat telah dicukupi dengan kesejahteraan yang layak, dengan standar syariat, dan tercipta suasana iman yang menyelimuti. Semua itu terwujud seiring tumbuhnya hubungan keterikatan dengan Allah SWT akan peran dan jabatannya di tengah rakyat yang suatu saat akan dipertanggungjawabkan.

Wallahu A’lam biash-shawwab

Carminih, S.E.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here