Oleh: RAI Adiatmadja (Founder Komunitas Menulis Buku)
Wacana-edukasi.com — Tenaga medis yang seyogianya menjadi garda terdepan dalam memberikan layanan dengan seluruh pengorbanan, menangani pandemi tanpa jeda, melindungi para korban corona sepenuh jiwa. Bukan sekadar waktu dan tenaga yang dikorbankan, tetapi nyawa pun melayang tanpa pelayanan dan perlindungan yang sepadan.
Ini salah siapa? Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul dan mengerucut pada kebijakan yang dinilai tidak maksimal dan cenderung sarat dengan pengabaian. Karut marut sistem sudah semakin akut dan kronis.
Kematian tenaga medis Indonesia tercatat sebagai kasus tertinggi se-Asia. Ini bisa ditelusuri dengan jelas. Sebab akhir tahun 2020 menjadi catatan penting kematian yang naik secara signifikan. Semua disebabkan karena adanya peningkatan kegiatan dan mobilitas yang terakumulasi dan melahirkan klaster baru. Seperti halnya pilkada dan masa liburan.
Adib Khumaidi sebagai Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki catatan kematian tenaga medis dan kesehatan tertinggi di Asia. Bahkan masuk dalam lima besar dunia. Dia pun mengatakan bahwa sejak Maret hingga Desember 2020 petugas medis dan kesehatan yang meninggal karena terinfeksi virus Covid-19 total 504, terdiri dari 237 dokter, 171 perawat, 64 bidan, 15 dokter gigi, 10 tenaga laboratorium medis, dan 7 apoteker.
Menurutnya, Jawa Timur masih menjadi provinsi dengan jumlah kematian tenaga medis dan kesehatan tertinggi dengan data rinci, 46 dokter, 52 perawat, 2 dokter gigi, dan 1 tenaga laboratorium medis. Di urutan berikutnya ada DKI Jakarta dengan 37 dokter, 24 perawat, 5 dokter gigi, 1 tenaga laboratorium medis, dan 1 apoteker. Jawa Tengah ada 31 dokter, 24 perawat dan 1 tenaga laboratorium medis. Dari Desember 2020 tercatat di PB IDI tenaga medis dokter ada 52 orang yang wafat karena Covid-19, dan ini lima kali lipat mengalami kenaikan terhitung dari awal pandemi. (Kompas.com, 2/1/2021).
Semua akumulasi dan kondisi yang terjadi ini bukan serta merta karena hal yang harus dihadapi dengan lapang dada semata. Namun, ada yang perlu kita gali dan kaji, megapa semua terjadi bahkan menjadikan Indonesia berada di peringkat lima besar dunia dalam kematian tenaga medis ini?
Selain ada banyak individu yang mengabaikan protokol kesehatan, kemudian membentuk perkumpulan orang-orang yang tidak memedulikan aturan, semakin membuka klaster-klaster baru karena ketidakdisiplinan tersebut. Ditunjang dengan aturan negara yang tidak paripurna, bahkan memaksakan pesta pilkada di antara riuh corona.
Angka kematian ini sesungguhnya bisa ditekan, seharusnya semua elemen bahu membahu untuk menciptakan penurunan kasus. Selain itu tenaga medis harusnya diberikan amunisi yang maksimal, seperti APD yang cukup, suplemen gizi, vaksinasi, serta jaminan ekonomi selama pandemi. Alat pacu yang bisa mengaplikasikan penekanan ini adalah kebijakan negara.
Disinilah fungsi negara yang bisa menjamin rakyatnya. Bahkan ketika ada kasus kelalaian individu maka diberikan sanksi yang tegas, masyarakat akan teredukasi dan mendapatkan efek jera sehingga kedisiplinan akan aturan pun mampu mereka jalankan. Faktanya perlindungan yang menyeluruh seperti itu tidak ada dari penguasa. Para tenaga medis dan kesehatan setiap harinya bergumul dengan beban, bahkan tekanan yang menjalar ke mental. Saat satu per satu berguguran dengan pasti, pasien semakin banyak dan tak terbendung. Mereka yang masih tersisa akan bekerja lebih ekstra dan tentunya kelelahan akan terus mendera. Imunitas menurun, perlengkapan perlindungan dari wabah sangat minim, jalan untuk virus leluasa masuk ke dalam tubuh mereka. Ini dinamakan burnout artinya kelelahan bekerja.
Sistem demokrasi memanglah hanya melukiskan kesejahteraan yang sekadar ilusi. Bahkan begitu banyak cacat saat menghadapi pandemi. Seharusnya negara memprioritaskan kesehatan rakyat di atas kepentingan lain yang bisa ditunda. Bukan tetap memilih euforia pilkada di atas derita korban corona.
Bagaimana sistem Islam yang pernah berjaya dalam menjaga tenaga medis dan kesehatan agar tidak menjadi korban yang seakan-akan ditumbalkan seperti hari ini?
Di fase kejayaan Islam, peradaban yang begitu maju ditunjang dengan kualitas SDM yang mumpuni, serta pendidikan yang berkualitas. Termasuk di bidang kedokteran. Tempat pendidikan para dokter itu pun berada di rumah sakit, tidak sekadar menangani dan merawat pasien semata. Fungsi rumah sakit begitu kompleks, bukan hanya tempat pengobatan, tetapi sebagai ruang belajar para dokter dan tenaga kesehatan. Sehingga ilmu-ilmu baru mudah diburu karena pengembangan yang masif dan SDM yang aktif.
Ilmu kedokteran di masa Islam berjaya begitu luar biasa memberi kontribusi kepada dunia. Selain pemimpin yang memfasilitasi rumah sakit demi rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotek, sekolah kedokteran yang melahikrna banyak dokter yang bermutu, serta hal-hal lainnya yang sangat menunjang.
Sebagai bukti keunggulan sistem Islam dalam bidang kedokteran di antaranya: Khalifah Harun al-Rasyid (abad (IX M) mendirikan fakultas khusus kedokteran di berbagai perguruan tinggi lengkap dengan rumah sakitnya di Baghdad, Ibn Bayhthar al-Dimasyqi (1197-1258 M), peletak dasar ilmu farmasi, menyusun buku Al Adawiyah al Mufradah yang berisi kumpulan berbagai resep obat-obatan, dan banyak lagi momen serta sejarah lainnya yang begitu penting. Hal ini membuktikan Islam begitu memperhatikan dengan maksimal untuk setiap bidang kepentingan dan kesejahteraan umat.
Islam memiliki tiga unsur penting dalam kesehatan yakni; peraturan syariat Islam, kebijakan, teknis administratif. Kemudian sarana dan prasarana termasuk gedung rumah sakit dan alat medis, pun yang lainnya. Bagian penting lain adalah SDM yang tentunya menjadi pelaksana kegiatan medis.
Negara pun wajib membuat pabrik untuk pengolahan obat-obatan. Semua harus disediakan oleh negara. Islam benar-benar memperhatikan semua dengan cermat dan akurat. Tenaga medis harus seimbang jumlahnya dengan warga negara. Sehingga tidak ada berlebih kapasitas dalam pelayanan. Negara mutlak sebagai penjamin utama untuk keberlangsungan kondisi di masa pandemi. Pembiayaan pun ditanggung oleh kas negara, warga negara tidak dibebani lagi dengan biaya pengobatan.
Bisa dipastikan, jika semua terkendali dan kondusif, pandemi bisa dihadapi dengan sikap dewasa tanpa perlu mengorbankan warga dan tenaga medis. Begitulah Islam kafah menuntaskan masalah tidak berlarut-larut dalam kondisi ironis.
Perilaku sehat pun tidak akan sulit dijalankan karena warga negara satu suara dalam menaati negara. Kejahatan kapitalisme hari ini sudah gagal menangani pandemi, masihkah kita akan terus meyakini kepalsuan dan buai jani-janji?
Wallahu a’lam bishshawwab.
Views: 0
Comment here