Oleh: Ummu Balqis (Ibu Pembelajar)
wacana-edukasi.com, OPINI– Tak dapat dipungkiri, kemiskinan masih melanda seluruh daerah. Banyak rakyat yang belum mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan kebutuhan primer pun masih sulit untuk dipenuhi. Data kemiskinan terus saja meningkat di berbagai daerah.
Aceh salah satu provinsi termiskin di Sumatera. Sebagaimana dilansir dari detiknews, (02/02/2022), “Badan Pusat Statistik (BPS) merilis penduduk miskin di Aceh naik menjadi 15,53 persen. Kenaikan ini membuat Tanah Rencong bertahan sebagai daerah termiskin di Sumatera dan masuk lima provinsi miskin di Indonesia”.
Pemerintah Aceh mengakui bahwa kemiskinan di Aceh meningkat dari Maret sampai September 2022. Angka kemiskinan Aceh mengalami peningkatan sebesar 0,11 persen dari 14,64 persen atau 806,82 jiwa menjadi 14,75 persen atau 818,47 jiwa. (www.ajnn.net, 19/01/2023).
Adapun 10 wilayah dengan prosentase kemiskinan terbesar adalah: Papua 26,56 persen, Papua Barat 21,33 persen, Nusa Tenggara Timur 20,05 persen, Maluku 15,97 persen, Gorontalo 15,42 persen, Aceh 14,64 persen, Bengkulu 14,62 persen, Nusa Tenggara Barat 13,68 persen, Sulawesi Tengah 12,33 persen, Sumatera Selatan 11,90 persen. (Liputan6.com, 15/06/2022).
Aneh tapi nyata, Indonesia dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) sangat besar, akan tetapi banyak daerah yang mengalami kemiskinan. Ibarat kata pepatah “tikus mati di dalam lumbung padi”. Untuk keluar dari belunggu kemiskinan sangat sulit. Hal ini tak lain buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang tidak mampu menjadikan seluruh rakyat sejahtera.
Aceh sebagai daerah yang kaya dengan potensi SDA baik itu hutan, tambang di daratan, ikan di laut dan terumbu karang serta aneka biota alam lain di wilayah pesisir, kini telah dikuasai oleh investor dalam negeri dan investor asing. Keberadaan para investor/perusahaan swasta inilah yang menyebabkan kesejahteraan tidak dapat dirasakan oleh rakyat. Meskipun daerahnya memiliki kekayaan berlimpah, rakyat hanya bisa gigit jari.
Tidak hanya di Aceh, seluruh daerah di Indonesia dengan kekayaan alam berlimpah, juga bernasib sama. hasil pengelolaan SDA hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Rakyat hanya dijadikan pasar untuk memperjualbelikan hasil pengelolaan SDA oleh para investor (pemilik perusahaan). Sehingga keuntungan yang diperoleh dari hasil pengelolaan SDA hanya akan dinikmati oleh pemilik perusahaan.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, kebebasan berkepemilikan merupakan sesuatu yang dijamin. Bahkan menguasai SDA yang merupakan hajat hidup orang banyak pun diizinkan untuk dikapitalisasi. Padahal dengan adanya izin menguasai SDA oleh segelintir orang, justru menjadikan kesengsaraan bagi mayoritas masyarakat. Sistem kapitalis hanya menjadikan harta berputar pada orang yang sama. Kacaunya mekanisme pendistribusian harta merupakan pangkal utama problem kemiskinan.
Hal ini sungguh berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam memberikan batasan kepemilikan sesuai dengan hukum syarak. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga macam: pertama: Kepemilikan individu (Milkiyah Fardhiah), kedua: Kepemilikan umum (Milkiyah ‘Ammah), ketiga: Kepemilikan negara (Milkiya Daulah).
Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah) adalah izin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan (asbab al-tamalluk) individu yaitu 1) Bekerja (al-’amal), 2) Warisan (al-irts), 3) Keperluan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara (i’thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, 5) Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah.
Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah) adalah izin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dan lain-lain), hasil hutan, barang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dan sebagainya, dan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah) adalah idzin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam kategori ini adalah harta ghanimah (pampasan perang), fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr, harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahlli waris dan tanah hak milik negara.
Seluruh jenis SDA merupakan kepemilikan umum, sehingga haram dikelola oleh individu apalagi diserahkan kepada asing. SDA wajib dikelola oleh negara, keuntungan pengelolaannya diberikan untuk kemaslahatan rakyat. Keuntungan ini bisa diperoleh dari aktivitas ekspor impor. Negara tidak boleh menjual kepada rakyat dengan harga yang sangat tinggi. Bahkan negara akan memberikan hasil pengelolaan SDA secara gratis. Dalam hal ini, negara harus melepaskan diri dari cengkraman asing.
Selain itu, Islam melarang menimbun harta. Harta harus beredar ditengah-tengah masyarakat. dalam Islam ada kewajiban zakat yang wajib dibayarkan jika sudah sampai nisab dan haul, baik zakat mal, emas dan perak, pertanian, peternakan, dan perdagangan. Harta dilarang berputar pada orang kaya saja. Firman Allah Swt:
كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ
…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS. Al-Hasyr:7).
Penerapan sistem ekonomi Islam mampu menyelesaikan kemiskinan. Sejarah Islam telah membuktikannya. Bukan hanya rakyat yang tinggal di daerah dengan SDA melimpah saja yang sejahtera, melainkan daerah tandus pun akan ikut merasakan kesejahteraan. Wallahualam.
Views: 7
Comment here