Oleh : Ainun Istiharoh (Muslimah Peduli Umat)
wacana-edukasi.com, OPINI– Kemiskinan kian menjadi masalah terbesar di berbagai negara. Sustainable development goals (SDGs) menjadikan program penghapusan kemiskinan sebagai tujuan utama hingga tahun 2030 mendatang. Indonesia juga termasuk sasaran pengentasan kemiskinan sejak tahun 2000 awal dideklarasikannya MDGs. UNDP sebagai lembaga Internasional rutin memberikan laporan pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Program pengentasan kemiskinan yang dilakukan Indonesia beragam macamnya. Salah satunya adalah bantuan sosial (Bansos) bagi keluarga miskin yang digawangi oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Bansos tersebut berupa program keluarga harapan (PKH) dan bantuan pangan non tunai (BPNT) yang secara berkala dicairkan dan diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM). Keluarga miskin yang telah didata oleh perangkat desa selanjutnya akan didaftarkan ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Hanya saja proses pengumpulan data tersebut nampaknya telah dimanipulasi.
Tersebar berita bahwa pemberian bantuan sosial tidak sesuai dengan sasaran. Sebanyak 10.249 penerima manfaat bansos ternyata tidak layak mendapat bantuan. Keluarga penerima manfaat tersebut bukanlah termasuk warga miskin sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin dengan pemutakhiran data oleh Pemda (Jawapos.com, 11/06/23). Maka dari itu, pada bulan Juni ini Kemensos menghapus 5.8 juta penerima bantuan PKH dan BPNT dari DTKS.
Penyebab Karut Marut Bansos.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kasus bansos ini, baik mengenai penghapusan data penerima bansos maupun terlambatnya pencairan dana bansos dikarenakan beberapa kondisi. Pertama, pemda yakni pemerintah kota dan kabupaten sebagai pihak yang bertanggung jawab memasukkan nama-nama tersebut, ternyata tidak menggunakan patokan yang benar dalam membuat kriteria miskin dan kaya.
Kedua, banyaknya paksaan dari pihak-pihak tertentu kepada pemda yang menginginkan keuntungan dibalik pencairan bansos, misalnya para pengusaha atau pejabat yang ingin dibantu padahal telah menimbun kekayaan.
Ketiga, adanya pemalsuan nama pimpinan perusahaan yang nyatanya sangat kekurangan namun dimanfaatkan untuk keperluan perusahaan. Sehingga nama tersebut merasa berhak mendapat bantuan karena nyatanya tidak mampu.
Keempat, banyaknya tangan yang bertugas sebagai penyalur dana bansos membuka peluang untuk korupsi. Semua hal tersebut membuat persoalan bansos cenderung menjadi masalah baru, bukan solusi eradication poverty atau pemberantasan kemiskinan.
Kapitalisme Biang Kerok Kemiskinan.
Kondisi kehidupan manusia saat ini secara merata mengalami tekanan hidup yang memaksa untuk mencari berbagai cara agar keluar dari kesulitan hidup. Kekurangan bahan makanan, ketiadaan rumah tempat tinggal, dan pakaian layak untuk sehari-hari, menjadi problem mendasar kebanyakan masyarakat. Selain itu, pemenuhan kebutuhan lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan juga menjadi masalah tersendiri. Semuanya membutuhkan mahar yang tidak sedikit, bahkan hanya untuk sekadar menyambung hidup. Lihat saja kehidupan para gelandangan dan pengemis, serta anak jalanan. Hanya untuk bertahan hidup saja sangat susah didapatkan. Terlebih jika memimpikan kehidupan yang bermartabat dengan pendidikan dan kesehatan serta keamanan yang baik, sangatlah tidak mudah.
Di sisi lain, gaya hidup yang serba mentereng, saat ini menjangkiti semua level masyarakat, baik di desa maupun di kota. Perkembangan teknologi yang menyodorkan kemewahan menyedot perhatian publik. Banyak orang berlomba-lomba menginginkan apa yang tidak dibutuhkan hanya agar mendapat pengakuan publik. Meskipun cara yang ditempuhnya salah, misalnya dengan mengambil hak (Bansos) keluarga miskin. Artinya, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat saat ini adalah berbasis materialisme dan liberalisme.
Aspek lain yang perlu dikritisi adalah, patokan atau standar orang miskin menurut BPS salah satunya adalah penghasilan bulanan mencapai Rp600.000/ bulan. Standar ini jika dikonversi pada kebutuhan harian masyarakat, sangat jauh dari kata layak. Melihat kebutuhan hidup yang membengkak, sangat tidak bijak jika mengambil standar paling rendah. Akan terlalu banyak orang miskin yang masuk dalam kriteria. Jangankan penghasilan Rp600.000/ bulan, penghasilan UMR saja dengan rata-rata Rp3 juta per bulan, masih sangat kurang. Sebab kebutuhan makan per orang perhari, jika dikalikan dengan banyaknya anggota keluarga dan besaran belanja bahan makanan pokok, sudah didapat hasil lebih dari Rp3 juta. Misalnya saja per orang makan sekali sehari Rp20.000 dengan gambaran sekali makan ada nasi lauk pauk, air dan buah. Kemudian dikalikan 3 kali makan sehari, totalnya Rp60. 000. Jika ada 5 anggota keluarga Rp60.000 x 5 hasilnya Rp300. 000/ hari. Jika dikalikan sebulan, kebutuhan makan saja Rp9 juta rupiah. Belum dihitung kebutuhan air, listrik, pendidikan, kesehatan, yang semuanya harus membayar. Jelas sebagian besar penduduk Indonesia tergolong miskin.
Kemiskinan yang terjadi adalah buah penerapan sistem kapitalisme yang membuat masyarakat kehilangan akses mendapatkan pemasukan yang mencukupi, bahkan sebatas untuk makan. Aturan kapitalisme mengizinkan para pengusaha atau pemilik modal, menjarah kekayaan milik umum. Padahal pendapatan yang bersumber dari harta milik umum tersebut bisa digunakan untuk membiayai layanan umum seperti pendidikan, kesehatan, listrik, dan air secara gratis. Kapitalisme mengambil alih lahan pekerjaan masyarakat dengan dalih bantuan untuk negara berkembang yang minus SDM unggul. Kemiskinan menjadi program terselubung yang seolah akan diperangi tanpa ada solusi.
Islam Sistem Terbaik.
Islam sebagai agama yang memancarkan aturan kehidupan terbaik bagi manusia, memiliki pandangan sempurna terhadap kehidupan manusia. Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan dengan akal dan Islam memuliakannya dengan pengaturan yang sempurna. Tidak lain agar kehidupan manusia teratur penuh dengan kemaslahatan dan keberkahan.
Kesejahteraan dalam pandangan Islam adalah terpenuhinya kebutuhan mendasar orang per orang. Oleh sebab itu Islam menjamin kebutuhan pokok rakyat dengan memastikan produksi pangan dan distribusinya merata. Sehingga tidak ada yang mengalami kelaparan dan stunting. Kebutuhan terhadap air, energi, pendidikan, dan kesehatan akan diberikan secara cuma-cuma demi kemaslahatan umat.
Terkait dengan pemenuhan nafkah, Islam mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan kerja yang luas dalam berbagai bidang dengan pembekalan skill yang baik. Pendidikan pun dirancang agar rakyat menjadi orang yang bertakwa dan mampu mengelola alam yang diberikan oleh Allah Swt. Ketakwaan sebagai modal utama dalam menghadapi perbedaan rizki yang diterima dari Allah.
Di sisi lain, Islam juga memiliki mekanisme dalam mengatur pemasukan dan pengeluaran negara sesuai hukum syariat sehingga terhindar dari campur tangan asing yang mencoba membuat ketergantungan negara dengan adanya hutang.
Bagi warga yang kurang mampu, zakat menjadi solusi yang diberikan oleh negara. Para aghniya (pemilik harta) yang hartanya sudah mencapai haul dan nishab diwajibkan mengeluarkan zakat mal, dan diserahkan kepada 8 asnaf yang berhak menerimanya. Salah satunya yaitu fakir miskin. Penetapan fakir miskin dalam ilmu Fiqih diatur sedemikian rupa. Fakir adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan atau kemampuan bekerja, sedangkan miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Standar kebutuhan pokok ini terlepas dari upayanya memenuhi kebutuhan lain seperti air, listrik, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, karena semua itu telah dijamin oleh Negara.
Islam pun memiliki sanksi yang tegas bagi orang kaya yang tidak menunaikan zakatnya. Negara Islam yaitu khilafah akan mengambil separuh harta individu tersebut. Jika yang menolak membayar zakat adalah sekelompok orang, maka berhak diperangi, sebagaimana pada masa Abu bakar yang memerangi sekelompok orang yang menolak membayar zakat.
Adapun dalil mengenai sanksi di dunia, Rasul bersabda “Tidaklah satu kaum yang menolak mengeluarkan zakat kecuali Allah menimpakan kepada mereka kelaparan dan bencana berkepanjangan”. Dalil lain berupa ancaman di akhirat terhadap orang yang tidak mau berzakat adalah “Tidaklah seseorang yang menimbun hartanya dan tidak mengeluarkan zakatnya, kecuali dia akan dimasukkan ke dalam api neraka jahanam.”
Maka kemiskinan dalam Islam bukanlah kondisi sistemik namun masalah qadha yang akan diatasi oleh Islam agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar. Masyarakat tidak akan fokus dalam mengumpulkan harta tapi menjalani kehidupan sesuai syariat Islam. Demikianlah solusi Islam mengatasi kemiskinan dengan penuh tanggung jawab dan amanah.
Wallahu’alam
Views: 34
Comment here