Oleh : Dite Umma Gaza (Pegiat Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Diberitakan oleh tirto.id (02/10/2024), Pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk masa bakti periode 2024 – 2029 dilaksanakan pada Selasa 01/10/2024 di Senayan. Sebanyak 580 anggota dewan ini diminta agar mengedepankan dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Hasil riset dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) memaparkan 79 dari total 580 anggota terindikasi adanya dinasti politik dengan pejabat publik. Hubungan kekerabatan ini bermacam-macam, dari suami-istri, anak, keponakan, dan lain – lain.
Contohnya dari partai Nasdem (Lampung I) Rahmawati Herdian, ia adalah anak dari Wali Kota Bandar Lampung. Nama lain adalah, anak dari gubernur Kalsel, Sahbirin Noor yaitu Sandi Fitrian Nur dari Golkar (Kalsel II). Mantan Ketua DPR RI Puan Maharani juga kembali terpilih, bersama anaknya Diah Pikatan Orissa Putri Haprani.
Masih banyak deretan nama wakil rakyat terpilih yang mempunyai hubungan suami istri. Pasangan musisi dan penyanyi terkenal, Ahmad Dhani (Jawa Timur I) bersama Mulan Jameela (Jawa Barat XI). Dan masih ada beberapa pasang lagi yang menduduki kursi wakil rakyat.
Keniscayaan Politik Dinasti dalam Demokrasi
Hal di atas menunjukkan potret dinasti politik sangat mendominasi di negeri demokrasi. Pemilu hanya menghamburkan anggaran negara. Aspirasi rakyat tidak ada artinya. Kepentingan sesungguhnya hanya untuk para penguasa dan kepentingan parpol. Artinya, slogan dari rakyat untuk rakyat hanya ilusi semata. Nyatanya, dari penguasa dan kelompoknya, oleh mereka dan untuk mereka saja.
Keikutsertaan masyarakat dalam pemilu ala demokrasi, sesungguhnya hanya dimanfaatkan saat pemilihan. Mereka dibutuhkan hingga di bilik suara saja. Setelah keluar bilik suara, mereka tidak dianggap. Bahkan, rakyat hanya diperas keringat dan dagingnya melalui berbagai pungutan seperti pajak, atau kebijakan-kebijakan yang menyulitkan rakyat.
Demikianlah sistem demokrasi yang merupakan buah dari ideologi sekuler kapitalisme. Pemilu rusak karena menggunakan konsep politik transaksional. Sistem ini hanya melahirkan orang-orang yang korup. Politik transaksional pun tumbuh subur.
Dengan kesejahteraan rakyat yang masih rendah, sistem politik transaksional ini menjadi celah bagi para politisi untuk membeli suara rakyat. Akhirnya, politik ala demokrasi yang menyandarkan pada suara terbanyak, tidak akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Korupsi dan nepotisme pun tumbuh subur di negeri demokrasi.
Itulah sejatinya sistem kapitalisme demokrasi. Para wakil rakyat yang maju dan duduk mengaku mewakili rakyat, nyatanya hanya mewakili konglomerat, dan para kerabat. Tak heran slogan yang sering mereka gemborkan adalah, bahwa masyarakat itu harus giat kerja, kerja, dan kerja. Hal ini karena mereka sejatinya tidak peduli terhadap kesejahteraan hidup rakyatnya. Yang diangap rakyat bagi mereka adalah kerabat, konglomerat, dan para pejabat.
Rakyat kecil hanya dianggap sebagai sapi perah yang bisa diperas kapan saja baik pendapatannya, pikirannya, maupun tenaganya. Selama negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme demokrasi, maka para wakil rakyatnya hanya mementingkan konglomerat, pejabat, dan para kerabat. Hal ini sangat berbeda jika negeri ini menerapkan sistem pemerintahan Islam.
Wakil Rakyat dalam Sistem Khilafah
Dalam Khilafah atau sistem pemerintahan Islam, terdapat Majelis Umat. Anggotanya adalah perwakilan kaum muslimin. Tugasnya antara lain menyampaikan aspirasi rakyat dan menjadi rujukan bagi khalifah untuk mendapatkan masukan atau nasehat mengenai segala masalah negara.
Memuhasabah para pejabat pemerintah adalah tugas lain dari majelis umat, juga mengontrol dan mengoreksi pejabat pemerintahan atau al hukkam. Majelis umat mengadopsi aktivitas Rasulullah yang kerap meminta saran atau bermusyawarah dengan perwakilan dari kaum Muhajirin dan Anshar. Musyawarah adalah konsep perundingan ala Rasulullah saw., dan ini sesuai dengan firman Allah Swt:
وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.“ (TQS Ali Imran: 159).
Musyawarah untuk mencapai mufakat demi kepentingan bersama harus selalu diambil untuk menyelesaikan segala problem umat. Kesepakatan yang diambil harus sesuai dengan hukum syara dan adil bagi seluruh umat.
Untuk memilih anggota Majelis Umat dilakukan pemilu. Tidak ada penunjukan, karena mereka benar-benar mewakili rakyat agar aspirasi rakyat tersampaikan dengan baik.
Dalam pelaksanaan pemilu menggunakan dua asas pemilihan anggota Majelis Umat. Asas pertama hendaknya masyarakat terwakilkan secara langsung (tamsil li an nas), sama halnya dengan situasi yang diambil Rasulullah dalam menunjuk penanggung jawab (nuqaba’). Asas kedua, kesamaan situasi pada saat Rasulullah memilih wakil dari kaum muhajirin dan anshar.
Anggota majelis umat juga terdiri dari non muslim yang bernaung dalam khilafah. Tujuannya untuk menyampaikan pengaduan tentang keburukan penerapan Islam terhadap kaum non muslim, pengaduan tentang kezaliman terhadap mereka, begitu pula tentang semua pelayanan bagi kaum non muslim.
Mulianya Majelis Umat tergambar pada masa kekhalifahan. Majelis yang mengemban kepentingan umat. Mengedepankan tugas serta membuat keputusan berdasarkan aspirasi rakyatnya.
Majelis Umat menjamin bahwa semua aspirasi rakyat akan tersampaikan dengan baik, tidak ada kepentingan pribadi ataupun mementingkan keluarganya. Semua ini terwujud karena kesadaran untuk menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Demikianlah wakil rakyat dalam sistem Islam yang senantiasa mendengar aspirasi rakyat. Mereka akan mengutamakan segala urusan demi kesejahteraan rakyat, bukan mementingkan kerabat.
Wallahua’lam bishawab.
Views: 4
Comment here