Oleh: Eqhalifha murad (Founder Kamusyarifah, Komunitas Muslimah Syar’i Hijrah Kaffah)
Wacana-edukasi.com — Tahukah berapa biaya masuk sekolah kepribadian saat ini? Di ibukota seperti Jakarta saja terdapat beberapa sekolah kepribadian dengan bermacam pula besaran biayanya. Sebutlah sekolah kepribadian terkenal John Robert Powers, Duta Bangsa College (gagasan Mien Uno), LPRS (Lembaga Pendidikan Ratih Sanggarwati) seorang model senior terkenal, serta LKP Mastykom. Info dari harga.web.id 27 Juni 2020 biaya sekolah kepribadian berkisar hampir 3 sampai 15 juta rupiah, wow.
Mari kita lihat bagaimana kepribadian menurut Islam, Syakhshiyah (kepribadian) pada setiap insan dibentuk oleh 2 hal yakni, ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Kepribadian seseorang tidak tergantung kepada bentuk tubuh, wajah, keserasian (fisik), karena itu hanyalah penampakan dari luar saja. Adalah suatu kedangkalan berpikir jika semua itu dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi kepribadian. Sedangkan Allah tidak akan menghisab atau meminta pertanggungjawaban kita nanti di akhirat terhadap bentuk penampakan lahiriah kita yang berasal dari penciptaan-Nya, tetapi Allah akan menghisap amal perbuatan kita.
Aqliyah (pola pikir) adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu, untuk mengeluarkan suatu keputusan hukum tentang sesuatu, berdasarkan kaidah tertentu yang diimani atau diyakini. Jika pola pikirnya berlandaskan kepada akidah Islam, maka aqliyahnya adalah aqliyah Islamiyah. Namun, jika seseorang dalam mengeluarkan keputusan hukum tidak berlandaskan akidah Islam yakni akidah selain Islam maka aqliyahnya bukan aqliyah Islamiyah (pola pikir Islam) akan tetapi aqliyah yang lain.
Sedangkan nafsiyah (pola sikap) adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan gharizah (naluri) dan hajat al-‘adhawiyah (kebutuhan jasmani) berdasarkan kaidah yang diimani dan diyakininya. Ketika pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani tersebut dilaksanakan dengan sempurna bersandarkan akidah Islam, maka nafsiyahnya dinamakan nafsiyah Islamiyah (pola sikap Islam). Jika pemenuhan tersebut tidak dilakukan atau disikapi dengan cara tersebut, maka nafsiyahnya merupakan nafsiyah yang lain.
Lalu jika kaidah yang dipakai untuk aqliyah dan nafsiyah seseorang sama, maka syakhshiyahnya pastilah merupakan syakhshiyah yang khas dan unik. Ketika seseorang menjadikan akidah Islam sebagai dasar aqliyah dan nafsiyahnya maka syakhshiyahnya adalah syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islam). Jika tidak, berarti syakhshiyahnya adalah syakhshiyah yang lain.
Oleh sebab itu, untuk membentuk syakhshiyah Islamiyah maka seseorang harus memiliki aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah. Tidak boleh salah satunya berbeda, misalnya hanya aqliyah Islamiyahnya saja yang dipakai tapi nafsiyahnya bukan nafsiyah Islamiyah, tetapi nafsiyah yang lain. Maka orang tersebut tidak bisa dikatakan mempunyai syakhsiyah Islamiyah.
Contohnya: seseorang yang mampu berpikir dan mengetahui hukum-hukum syara, mampu membedakan halal dan haram, memiliki kesadaran dan pemikiran yang cemerlang, mampu menyatakan hujjah yang kuat dan tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar menurut perspektif Islam, akan tetapi dalam menyikapi sesuatu dia masih belum mau melaksanakan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya sesuai yang diperintahkan Allah. Dia masih berada pada posisi yang masih tidak disukai dan tidak diridai Allah, masih jauh dari Allah, meninggalkan yang difardukan bahkan yang disunahkan.
Begitu juga sebaliknya tidak cukup nafisyahnya yang merupakan nafsiyah Islamiyah akan tetapi aqliyahnya bukan aqliyah Islamiyah maka orang tersebut juga tidak bisa dikatakan mempunyai syaksiyah Islamiyah. Akibatnya ia akan beribadah kepada Allah tanpa ilmu atau akan beribadah dengan kebodohan. Tidak sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Sehingga, menyebabkan pelakunya akan tersesat dari jalan yang lurus. Misalnya, berpuasa pada waktu yang diharamkan, salat pada waktu yang dimakruhkan, bersikap lemah terhadap kemungkaran, bermuamalah dan bersedekah dengan riba, sampai-sampai pelakunya menganggap bahwa ia telah berbuat kebajikan padahal disaat yang sama dia pada hakikatnya telah tenggelam kedalam kubangan dosa.
Sesungguhnya syakhshiyah Islamiyah yang lurus adalah aqliyah Islamiyah yang senantiasa menggali dan menambah ilmu-ilmu syariah serta pada saat yang sama mempunyai nafsiyah Islamiyah yang akan selalu istiqamah melaksanakan hukum-hukum syara, bukan untuk sekedar diketahui tetapi juga diterapkan dalam segala perbuatannya. Seperti hukum atau aturan ibadah-ibadah yang berhubungan dengan pencipta (salat, puasa, naik haji), yang berhubungan dengan dirinya sendiri (makanan halal dan haram, pakaian, akhlak), maupun yang berhubungan dengan sesamanya atau dengan manusia lainnya (muamalah, pendidikan, pergaulan sosial, politik, pemerintahan).
Dia akan berada pada posisi yang diridhai Allah, selalu mendekatkan diri kepada-Nya (Taqarrub), melalui apa saja yang di fardhukan kepadanya. Serta mempunyai keinginan kuat untuk mengerjakan berbagai nafilah. Lisannya senantiasa basah dengan dzikir, hatinya penuh dengan ketakwaan, badannya senantiasa bersegera melaksanakan perintah Allah Swt. Membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya, cintanya kepada Allah dan RasulNya lebih besar dari cintanya kepada yang lain serta senang bersama Allah di pertengahan malam. Dia pun akan menyikapi berbagai peristiwa dengan sikap yang benar dan tulus, gemar mengajak yang makruf dan mencegah kemungkaran. Dia akan mencintai dan membenci karna Allah dan senantiasa bergaul dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.
Akhirnya jika aqliyah dan nafsiyah sudah terikat semua dengan Islam, maka seseorang itu telah menjelma menjadi sosok yang mempunyai Syakhsiyah Islamiyah. Ia akan selalu mengarahkan dan mengendalikan jalannya menuju kebaikan ditengah berbagai kesulitan. Dia pun tidak pernah takut terhadap berbagai celaan orang yang mencelanya, karena semua itu semata-mata karena Allah.
Benar, manusia bukanlah malaikat yang tidak pernah melakukan kesalahan dan kecacatan. Kalaupun ada, kesalahan itu tidak sampai mempengaruhi nafsiyahnya selama bukan perkara pokok. Kemudian ia memohon ampunan dan bertobat kepada Allah.
Seorang muslim hendaklah meningkatkan tsaqofah Islamnya untuk meningkatkan aqliyahnya, lalu meningkatkan pula ketaatannya untuk memperkuat nafsiyahnya. Agar dapat berjalan menuju puncak kemuliaan, kederajat kemuliaan yang semakin tinggi, hingga menguasai kehidupannya, menguasai dunianya dan memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. Predikat tertingginya adalah bahwa dia merupakan hamba Allah Swt.
Pertanyaannya, mengapa umat Islam yang merupakan umat terbaik (khoiru ummah) terutama para muslimah banyak yang belum mempunyai Kepribadian Islam? Ini disebabkan oleh masuknya pemikiran-pemikiran rusak yang berkembang ditengah umat, seperti pemikiran sekuler liberal (paham kebebasan yang memisahkan agama dari kehidupan). Pemikiran rusak tersebut sudah tersebar secara masif ke seluruh sendi-sendi kehidupan termasuk sektor pendidikan formal maupun informal.
Maka sudah saatnya kaum muslimin menyadari dan membuang jauh-jauh racun pemikiran yang disebarkan untuk menjauhkan umat Islam dari keislamannya, dengan cara meningkatkan tsaqofah Islamnya dan selalu menghadiri kajian-kajian Islam, bergaul dengan orang-orang sholeh dan ikut mengambil bagian bersama barisan orang-orang yang senantiasa melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
Insya Allah akan terlahir generasi tangguh, muslimah berkepribadian Islam tangguh sehingga akan tercipta keluarga tangguh pula. Keluarga tangguh yang mencintai nabi dan mencintai juga syariahnya. Biidznillah.
Views: 206
Comment here