Oleh Ummu Salman
(Relawan Media)
Ketidakjelasan penanganan penyebaran virus ini semakin membuat perkara ini berlarut-larut, tanpa solusi yang menyelesaikan secara tuntas.
Wacana-edukasi.com — Telah lebih dari setahun negeri kita terserang virus Covid-19, nyatanya tak membuat angka kasus positif menurun. Justru dari hari ke hari semakin meningkat. Bahkan, beberapa pekan terakhir meroket tajam. Data 30 Juni 2021 kemarin, kasus positif Covid-19 bertambah 21.807 orang. Jika ditotal, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah menjangkit 2.178.272 orang (merdeka.com,1/7/2021).
Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh penguasa sebagai upaya untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19 ini.Mulai dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yaitu semacam semi lockdown hingga kembali muncul istilah baru yaitu PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Awalnya diberlakukan PPKM mikro. Pemberlakuan PPKM mikro dipandang sebagai langkah tepat dengan alasan agar tidak mematikan kegiatan ekonomi rakyat.
Sepekan setelah pengumuman pelaksanaan PPKM mikro, pemerintah memutuskan untuk mengubah kebijakannya menjadi PPKM darurat. Pelaksanaannya di dua pulau besar Indonesia yaitu di pulau Jawa dan Bali.
Protes datang dari beberapa wakil rakyat, yang mempertanyakan kebijakan tersebut. Di antaranya Anggota DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menilai perlu ada definisi jelas dari kebijakan PPKM Darurat. Sebab jika implementasinya sama seperti PPKM mikro, maka hasil di lapangan tak ada perubahan signifikan (merdeka.com, 1/7/2021)
Anggota DPR RI Komisi XI, Ahmad Yohan, menyatakan dengan adanya PPKM darurat, maka seluruh mobilitas domestik dibatasi lebih ketat, baik darat, udara dan laut. Namun menurutnya, hal ini menjadi anomali, karena mobilitas Warga Negara Asing (WNA) masih diberikan kelonggaran dengan membiarkan WNA, baik turis dan TKA, terus masuk ke Indonesia tanpa ada barrier. “Jika merujuk pada regulasi pembatasan mobilitas yang beredar terkait PPKM darurat, maka PPKM Darurat hanya berlaku secara domestik di wilayah Jawa dan Bali saja. Artinya, mobilitas warga asing ke Indonesia masih dibuka/ diberikan kelonggaran,” (viva.co.id, 4/7/2021)
Faktor ekonomi memang selalu menjadi alasan utama dari penanganan wabah yang setengah hati. Namun mirisnya solusi tersebut hanya membatasi dan memperkrtat mobilitas domestik. Sebaliknya arus mobilitas warga asing terus berjalan. Jika kebijakannya seperti ini, bagaimana mungkin negeri ini bisa menyelesaikan masalah penyebaran virus ini?
Banyak pakar menganggap PPKM Darurat bukan kebijakan yang efektif untuk mengantisipasi kegentingan dan ledakan Covid-19. Sejak awal, para pakar telah mengajukan lockdown untuk mengantisipasi penyebaran virus. Namun anjuran untuk melaksanakan lockdown tak pernah dilaksanakan. Justru Penguasa terkesan menghindari istilah lockdown. Upaya menghindar tersebut bukanlah tanpa alasan, mengingat lockdown memiliki konsekuensi besar. Berdasarkan undang-undang tentang karantina kesehatan, jika lockdown dilaksanakan, maka pemerintah harus memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
Tidak bersedianya penguasa untuk menanggung kebutuhan hidup rakyat, sangat berimbas pada kondisi rakyat. Mereka semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimanapun, PPKM tetap berdampak pada pendapatan mereka. Sekian banyak rakyat yang mengais rezeki dengan berjualan di pinggir jalan mengalami razia. Tak jarang dari mereka memperoleh perlakuan yang tidak manusiawi dari aparat yang bertugas.
Hanya berubah istilah dari kebijakan sebelumnya, namun sesungguhnya sama saja prakteknya di lapangan, yang tidak terbukti ampuh dan justru membingungkan.
Ketidakjelasan penanganan penyebaran virus ini semakin membuat perkara ini berlarut-larut, tanpa solusi yang menyelesaikan secara tuntas. Artinya semakin lama persoalan ini tak diselesaikan secara tuntas, maka selama itu pula nyawa rakyat akan terus terancam, dan juga menambah derita rakyat karena persoalan ekonomi, yang jelas sangat terganggu akibat pandemi.
Ketidaktegasan kebijakan yang diambil selama ini akibat ketidakmampuan negara membiayai konsekuensi dari kebijakan yang seharusnya diambil sejak awal semakin menambah penderitaan rakyat kecil. Pada akhirnya rakyat tidak peduli lagi dengan protokol kesehatan. Pikiran mereka sederhana, biarlah mereka mati karena terkenal virus daripada harus mati karena tidak bisa makan.
Inilah watak dari sistem kapitalisme. Kepentingan materi di atas kepentingan lain bahkan nyawa sekali pun. Sistem kapitalisme yang diterapkan di seluruh dunia, telah gagal dalam mengatasi pandemi virus covid-19. Bahkan kegagalan ini menjadikan pandemi ini semakin tak jelas kapan akan berakhir. Solusi demi solusi yang dilaksanakan telah terbukti gagal di lapangan. Jika sudah seperti ini, masihkah berharap pada sistem kapitalisme-sekuler?
Sudah saatnya rakyat khususnya umat Islam sadar bahwa hanya dengan kembali kepada sistem Islam, kita akan menemukan solusi yang benar atas berbagai problematika kehidupan kita. Pun dengan pandemi yang kita alami saat ini. Sistem Islam memiliki solusi tuntas dalam menyelesaikan masalah wabah. Dahulu di masa Islam diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga pernah diserang wabah.
Sebagaimana anjuran Rasulullah SAW bahwa jika terjadi wabah di suatu daerah atau wilayah, maka penduduk yang berada di wilayah wabah tersebut tidak boleh meninggalkan wilayah tersebut. Sebaliknya mereka yang berada di luar wilayah wabah dilarang untuk memasuki wilayah wabah. Anjuran tersebut segera diterapkan, dan tidak butuh waktu lama, penyebaran wabah pun berhasil dihentikan.
Aturan tersebut jika diimplementasikan pada kondisi kekinian, maka itulah yang disebut lockdown. Jika kebijakan lockdown diambil sejak wabah menyerang, maka kondisinya tidak akan seperti saat ini. Karena dengan lockdown wilayah wabah, maka wilayah lain yang tidak terserang wabah tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Bandingkan dengan solusi setengah hati saat ini, yang kerap berubah-ubah namun hakikatnya sama. Yang terjadi adalah nyawa manusia terancam dan ekonomi pun anjlok.
Wallahu ‘alam bishowwab
Views: 2
Comment here