Oleh Mega
(Mahasiswi FEB UHO)
Wacana-edukasi.com Kerugian yang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kian menggunung. Dengan tumpukan utang yang ada pada PT PLN Persero, seperti yang dikutip dari (detikFinance, 04/06/2021) Menteri BUMN Eric Thohir mengatakan utang tersebut telah mencapai Rp500 triliun rupiah, hingga upaya penyelamatan yang dilakukan dengan menekan 50% belanja modal Capital Expenditure (Capex). Tak hanya itu, pihaknya juga meminta PLN melakukan negosiasi pembelian listrik take or pay dengan nilai Rp60 triliun. Berdasarkan laporan terakhir, Erick mengatakan yang berhasil dinegosiasi Rp25 triliun.
Hal yang sama pula dialami maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia Persero yang dalam kondisi tidak baik Perusahaan menanggung rugi sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp1,43 triliun (asumsi kurs Rp14.300) per bulan karena pendapatan yang diterima tak sebanding dengan beban biaya yang dikeluarkan. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo atau biasa disapa Tiko mengatakan, beban biaya yang dikeluarkan tiap bulannya sekitar US$ 150 juta. Sementara, pendapatannya hanya US$ 50 juta. Menurutnya, masalah ini tidak bisa dibiarkan. Proses restrukturisasi terhadap utang mesti dilakukan agar Garuda tetap bisa bertahan. Namun, restrukturisasi juga bukan tanpa risiko. Garuda bisa bangkrut jika restrukturisasi tidak disetujui dan munculnya persolan-persoalan hukum.
Tiko memaparkan, jebloknya kondisi Garuda karena beban masa lalu terutama berasal dari penyewa pesawat (lessor) yang melebihi biaya (cost) wajar. Dia mengatakan, Garuda juga mengelola banyak jenis pesawat sehingga menimbulkan masalah pada efesiensi. Kemudian, banyak rute-rute yang diterbangi tidak menghasilkan keuntungan bagi Garuda.Sebenarnya, Garuda sempat untung di masa sebelum pandemi Covid-19. Namun, keuntungan itu tidak sebanding dengan rugi yang diakibatkan oleh penerbangan luar negeri. Saat pandemi, masalah pun muncul karena perubahan pengakuan kwajiban di mana operational lease yang tadinya dicatat sebagai operating expenditure (opex) kemudian dicatat sebagai utang. (detikfinance, 4/06/2021).
Tata Kelola BUMN dalam Kendali Korporasi Swasta
Tata kelola BUMN telah mengindikasikan kerugian hingga menimbulkan utang yang terus bertambah kemudian menjadi beban negara untuk menanggungnya. Tentunya hal ini tak lepas dari pengelolaan BUMN yang dikendalikan korporasi swasta yang orientasinya diukur berdasarkan untung rugi. BUMN juga dijadikan sebagai salah satu mensin penggerak infrasktruktur yang konsekuensinya memberikan utang yang semakin menumpuk pada.BUMN.
Anggapan yang ada juga dalam sistem kapitalisme bahwa pengelolaan harta negara dan problem manajemen di BUMN dilibatkan untuk pembangunan infrastruktur yang pada faktanya pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya yang besar dimana pemerintah hanya mampu mendanai kurang dari 40 persennya saja, sehingga tindakan penguasa untuk menambah utang demi menutupi anggaran BUMN yang mengalami kerugian hanya akan menjadi solusi tambal sulam semata.
Fungsi BUMN harusnya bekerja untuk kepentingan rakyat malah dijadikan sebagai alat untuk memenuhi ambisi penguasa, sehingga perannya tidak berjalan secara optimal yang seharusnya memberikan pemasukan pada negara justru malah menambah sederet jejeran utang bagi negara. Ya, lagi-lagi dengan prinsip kapitalisme-neoliberal di mana akses strategi BUMN diperjualbelikan dengan mudah karena adanya prinsip kebebasan dalam berkepemilikan jadi pemegang saham swasta baik dalam maupun luar negeri merekalah yang mengontrolnya sesuai kehendak yang diinginkan.
Dalam sistem kapitalisme telah terjadi pergeseran peran negara sebagai pengelola kekayaan alam milik rakyat menjadi sekedar regulator pengelolaan kekayaan alam. Negara bukan lagi satu-satunya karena swasta telah di izinkan untuk mengelolanya. Sistem kapitalis menjalankan konsep _hurriyah milkiyah_ (Kebebasan kepemilikan) yang di mana memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memiliki apa pun dengan sebab kepemilikan apapun tanpa melihat tolok ukur halal dan haram.
Islam Mengatur Sistem Kepemilikan
Dalam Islam harta publik diklasifikasikan sebagai milkiyah ammah (kepemilikan umum) dan milkiyah daulah (kepemilikan negara). Milkiyah ammah meliputi sektor-sektor yang memenuhi hajat hidup publik dan harta SDA yang tidak terbatas (air, infrastruktur, jalan, energi, hutan, tambang minerba) tidak boleh dikelola selain negara itu sendiri. Adapun terkait keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja dengan akad ijarah/kontrak. Maka seharusnya pemerintah berani mengambil alih sumber daya alam, khususnya tambang-tambang besar yang selama ini dikuasai swasta dalam negeri maupun luar negeri untuk dikelola negara dan ditingkatkan nilai tambahnya, yang sebagian hasilnya digunakan untuk membangun infrastruktur selebihnya digunakan untuk kemakmuran rakyat secara gratis.
Adapun terkait milkiyah daulah (kepemilikan negara) berupa pengelolaan bangunan, tanah, dan perkebunan bisa diberikan kepada rakyat atau dikelola oleh semacam BUMN yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan tidak berperan sebagai pebisnis ketika berhadapan dengan kemaslahatan publik. Di samping itu, negara tidak memungut biaya kepada rakyat terhadap pemanfaatan fasilitas umum tersebut, karena hakikatnya fasilitas umum tersebut adalah milik rakyat, bukan kepemilikan negara.
Dengan modal yang sedemikian tangguh, pemimpin negara tidak ragu untuk melindungi rakyatnya dari gangguan dan ancaman apa pun. Pemimpin negara memiliki hak prerogatif dalam menentukan kemandirian ekonominya tanpa intervensi dari luar karena semua operasional negara bisa diatasi oleh sumberdaya internal tanpa harus bergantung pada pihak asing. Namun, konsep kepemilikan dalam Islam tidak dapat berdiri sendiri, hal tersebut merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam. yang merupakan salah satu subsistem dari sistem pemerintahan Islam yakni khilafah yang menjadi perisai dari setiap pijakan dalam mengurusi uruan umat.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 5
Comment here