wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Lagi, kasus mengaku Nabi atau wakil Nabi kembali terjadi, sebagaimana baru-baru ini seorang laki-laki bernama Mustofa (60 tahun) yang melakukan penembakan di kantor MUI beberapa hari lalu. Menurut Husni, saksi ahli agama Islam dari Kementerian Agama, setelah mempelajari surat menyurat Mustopa sebelumnya kepada MUI yang belum sempat ditelusuri karena pelaku telah tertembak dan meninggal dunia, bahwa Mustopa hendak menyebarluaskan ajarannya dengan memanfaatkan lembaga MUI untuk menyatakan dirinya adalah seorang wakil Nabi (Jakarta, CNN Indonesia).
Sebenarnya kasus mengaku nabi atau wakil nabi bukanlah hal yang baru terjadi. Tetapi juga sudah pernah terjadi pada zaman dahulu, yaitu masa Rasulullah saw dan masa khalifah setelahnya, di antara pelakunya yaitu Al-Aswad al-‘Ansi, Thulaihah ibn Khuwailid al-Asadi, Musailamah al-Kadzdzab, Sajah binti al-Harits at-Taqhlabiyyah, Al-Mukhtar ibn Abi Ubaid ats-Tsaqafi, Al-Harits ibn Sa’id al-Kadzdzab.
Sedangkan pada saat ini, menurut Prof. Al-Makin guru besar Sunan Kalijaga, pada awal tahun 2010 di Indonesia sekurang-kurangnya ada 600 pihak yang mengaku nabi, mendapat wahyu, atau reinkarnasi dari bunda Maria. Salah satu dari mereka adalah Lia Eden yang mengaku mendapat wahyu dari malaikat jibril, dan Ahmad Musadeg yang mengaku sebagai nabi dengan gerakannya yang disebut Gafatar, yaitu Gerakan Fajar Nusantara (MMC, 07/05/23)
Penyesatan agama ini semestinya tidak bisa dianggap sepele, karena sangat berbahaya bagi keselamatan akidah ummat. Segala penyimpangan dalam beragama semestinya mendapatkan perhatian khusus oleh negara agar tidak terjadi kekacauan dalam beragama. Terutama bagi kaum muslimin yang memiliki pemahaman agama yang masih kurang, sangat dikhawatirkan cepat atau lambat mereka akan terbawa arus kesesatan.
Kesesatan beragama terjadi adalah sebab akidah yang tak terjaga, baik oleh masing-masing individu, masyarakat dan negara.
Namun dalam sistem kapitalisme-sekuler saat ini, kebebasan berpendapat atas nama HAM dan toleransi, urusan agama diserahkan kepada masing-masing individu dan bukan menjadi tanggung jawab negara. Padahal semestinya negara berkewajiban menjaga akidah umat, sehingga keberadaan negara mampu mewujudkan terciptanya stabilitas dan keamanan negara bagi rakyatnya, termasuk menjaga keamanan dalam beragama tanpa diusik oleh keyakinan-keyakinan baru yang menyimpang dan menyesatkan umat.
Leyla
Dramaga, Bogor
Views: 21
Comment here