Opini

Ketahanan Keluarga Lemah, Tak Ada Riayah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Sri Suarni

wacana-edukasi.com, OPINI– Setiap pasangan yang diikat oleh mulianya sebuah pernikahan, pastilah menginginkan hubungan indah yang terjalin, langgeng hingga akhirnya maut yang akan memisahkan. Dengan harapan bahagia dalam sebuah keluarga. Keluarga, merupakan sebuah institusi paling berharga. Maka selayaknya dipelihara, dirawat dan dipertahankan. Namun apa hendak dikata, jika pada kenyataannya problematika kehidupan ternyata tak selalu indah. Persoalan silih berganti hadir secara komplek menyerang sendi-sendi di dalam keluarga. Hingga ketahanan sebuah keluarga tidak lagi bisa dipertahankan, dan berujung pada jurang perceraian.

Sepanjang tahun 2022, Pengadilan Tinggi Agama Pontianak mencatat terjadi 6.534 perceraian se Kalbar. Berdasarkan data, istri di Kalbar lebih banyak mengajukan gugatan cerai untuk suaminya dibandingkan suami yang menggugat istrinya. Data Pengadilan Tinggi Agama Pontianak mencatat, Kabupaten Sambas menempati urutan tertinggi kasus perceraian di Kalbar. (tribunpontianak.co.id, 14/8/23)

Data di atas hanya menunjukkan perceraian yang terjadi di Kalbar. Lalu bagaimana dengan daerah lain di Indonesia?

Merujuk laporan statistik Indonesia per Mei 2023, pada 2022, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus. Angka ini meningkat 15% dari tahun sebelumnya yang mencapai 447.743 kasus. Mayoritas kasus perceraian pada 2022 merupakan cerai gugat sebanyak 338.358 kasus atau 75,21% dari total kasus perceraian. Sisanya (127.986 kasus atau 24,79% kasus) merupakan cerai talak. Kasus perceraian menjadi angka perceraian tertinggi yang terjadi dalam enam tahun terakhir. (muslimah.net)

Tingginya tingkat perceraian yang terjadi bukanlah hal yang baru namun terjadi setiap tahun. Permasalahan tingginya perceraian tersebut diklaim terjadi diakibatkan beberapa faktor.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Humas Pengadilan Tinggi Agama Pontianak, Hakim Tinggi Dr Agus Yunih, bahwa perceraian yang terjadi dikarenakan beberapa faktor. Pertama, faktor ekonomi merupakan penyebab perceraian yang paling dominan. Kedua, faktor perselingkuhan dan/atau adanya gangguan pihak ketiga. Ketiga, faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan keempat akibat terkait dengan narkoba. (pontianak.tribunnews.com, 15/08/23).

Dalam rangka mengantisipasi angka perceraian yang semakin tinggi sebenarnya sudah ada upaya yang dilakukan pemerintah. Berbagai program disusun, diantaranya seminar penguatan pemahaman kepada calon pengantin. Termasuk upaya meminimalisir dan mencegah maraknya perceraian, dan mencegah nikah usia dini. Tak ketinggalan sejumlah ormas, ikut menyusun program terkait. Termasuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta.

Akar persoalan
Sejatinya perlu kita pahami bahwa sebab-sebab yang disebutkan di atas hanyalah perkara cabang. Jika ditelisik lebih dalam sebenarnya ada sebab lain yang menjadi akar persoalan tersebut, yaitu sistem kehidupan yang diterapkan negara dan masyarakat saat ini. Penerapan sistem kapitalis-liberal. Sistem yang lahir dari pandangan sekuler-pemisahan agama dari kehidupan, dan paradigma liberal-kebebasan individu yang dijunjung tinggi, dengan nilai materi sebagai tujuan hidup yang mesti diraih.

Akibatnya, nilai-nilai agama hanya diterapkan dalam aspek ritual semata. Agama tak lagi dijadikan solusi dan pedoman kehidupan. Akhirnya banyak yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam rumah tangga, hingga menjadi penyebab perceraian.

Faktor pencetus perceraian, seperti masalah ekonomi, perselisihan dan pertengkaran, perselingkuhan, murtad, narkoba, KDRT, dipenjara dll. Dari semua faktor tersebut, masalah ekonomi menjadi yang paling melatar belakangi terjadinya gugatan perceraian.

Istri yang sudah tidak sanggup menanggung beban keluarga akibat suami yang lalai dalam mencari nafkah. Lebih miris lagi jika suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap bahkan pengangguran. Bagaimana tidak stres, untuk makan sehari hari saja susah.

Ada istri yang keluar rumah dan berjibaku untuk menopang ekonomi keluarga. Tentu saja, tempat kerja dengan sistem pergaulan yang rawan godaan telah berkontribusi pada rapuhnya rumah tangga. Ada pula perempuan yang sudah mampu secara finansial lebih dari suaminya, sehingga egois dan merasa mampu menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya.

Betapa tingginya tantangan hidup saat ini. Pendapatan harus cukup untuk makan, biaya sekolah, kesehatan, dll. Maka jika tidak dikomunikasikan dan dikelola dengan baik, yang terjadi adalah cekcok berkepanjangan yang berujung pada perceraian. Begitulah realitas hidup saat ini dimana yang menjadi porosnya adalah uang atau materi. Sehingga tidak heran apabila ketahanan keluarga bisa hancur dikarenakan masalah ekonomi.

Di jaman yang penuh fitnah ini, perempuan digiring untuk mengeraskan hati. Agar mampu mandiri secara ekonomi. Seperti istilah yang banyak dijadikan prinsip hari ini, bahwa jadi perempuan sekarang harus berpenghasilan tinggi biar tidak terbelenggu laki-laki. Tanpa disadari, kalimat ini malah mengalihkan perempuan dari fitrah asalnya. Alhasil menjadikan ketahanan keluarga kian lemah. Tak heran apabila banyak gugatan perceraian diajukan oleh pihak istri.

Kondisi keutuhan keluarga Indonesia semakin mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, dampak dari perceraian akan berimbas pada anak-anak. Kondisi ini bukanlah semata disebabkan kelalaian pasangan suami istri. Namun goncangan pada institusi pernikahan saat ini yang terbelenggu tekanan sistem sekuler kapitalisme, sistem rusak yang telah mempengaruhi pola pikir pasangan suami istri. Salah satunya melalui konsep berpikir ala feminisme, mendudukan sensitivitas feminisme yang kerap didengungkan hadir dan menjadi spirit dalam berbagai regulasi.

Demikian pula bila kita merunut akar persoalannya, akan nampak bahwa problem yang menjadi dasarnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan kesenjangan ekstrem. Penguasaan kekayaan oleh segelintir orang telah berdampak pada kemiskinan di masyarakat.

Juga akibat pemahaman yang salah terhadap gambaran antara hak dan kewajiban pasangan suami istri. Hal ini terjadi akibat kurang paham terhadap hukum syariat seputar pergaulan dan rumah tangga. Juga akibat absennya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, periayahan dan perbaikan akhlak rakyatnya.

Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam baik laki-laki maupun perempuan, wajib memahami konsekuensi dari amanah yang telah ditetapkan Allah pada mereka. Islam mewujudkan ketahanan keluarga, menjadikan keluarga sebagai pondasi bangunan masyarakat, menjadi tempat nyaman berbagi suka cita. Sebagai tempat pembelajaran kehidupan yang pertama dan utama bagi anggotanya. Utuhnya ketahanan keluarga menjadi asas kekuatan bangsa. Ada tiga pilar ketahanan keluarga yang akan mampu tercapai apabila setiap pilar pendukung, bersinergi menjalankan peran dan fungsinya.

Pilar pertama adalah keluarga, Islam menegaskan setiap orang untuk berpegang pada kesabaran, menjauhkan diri dari perselingkuhan, menjaga dari fitnah, dan segala yang berdampak pada kerusakan keluarga. Keluarga didorong untuk membentengi diri dengan adab dan akhlak yang baik.

Pilar kedua adalah masyarakat, memiliki peran besar untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga. Masyarakat harus memiliki kepedulian antar sesama, terhadap berbagai pelanggaran hukum syariat sebagai bentuk kontrol sosial dan amar makruf nahyi munkar. Nasehat menasehati menjadi suatu kewajaran sebagai aktivitas saling menjaga dalam ketaatan, mewujudkan ketentraman bagi anggota masyarakat.

Pilar ketiga adalah negara, di dalam Islam negara ditetapkan sebagai pelaksana pengaturan urusan rakyat dan pelindung dari berbagai keburukan. Negara Islam sebagai pelaksana sistem ekonomi Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu keluarga dan masyarakat.

Sistem pergaulan sosial akan diterapkan, demi menjauhkan keluarga dan individunya dari perilaku menyimpang dan pergaulan bebas yang dapat menghancurkan kehormatan manusia.

Demikian pula sistem sanksi yang tegas dan adil menindak setiap pelaku maksiat. Demi menopang ketahanan keluarga, negara pun akan mengatur layanan-layanan penting seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Persoalan cerai yang semakin meningkat merupakan persoalan sistemik yang tak cukup hanya dengan mencegah berbagai bentuk pelanggaran saja, namun butuh solusi yang fundamental. Sejatinya pernikahan haruslah dilandaskan pada kesamaan visi aqidah. Kemudian didukung oleh lingkungan yang baik, dan dilindungi oleh negara sesuai pengaturan syara. Maka Insya Allah ketahanan keluarga akan terjaga, fitrah perempuan terlindungi, dan kewajiban suami akan ditegakkan sebagaimana mestinya. Namun tak cukup hanya mencegah berbagai pelanggaran. Kaum muslim seharusnya juga aktif mendakwahkan Islam dan menerapkan aturan syariat dalam segala aspek kehidupan. Wallahu ‘alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 37

Comment here