Oleh: Niwatun, S.Pd.I
Wajar, bila saat ini sebagian masyarakat tercengung dengan pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahjo Kumolo, saat memberi sambutan pada acara peresmian Mal Pelayanan Publik (MPP) di Jalan Jenderal Sudirman, Solo, Jawa Tengah, Jumat (28/8). Beliau mengungkapkan adanya fenomena baru pelanggaaran di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu adanya oknum ASN yang memiliki suami lebih dari satu atau poliandri. Tjahjo juga menyebut sebagai tren baru pelanggaaran dengan lima kasus dalam waktu satu tahun (Republika.co.id, 29 Agustus 2020).
Terlepas dari alasan apa pun seorang wanita melakukan poliandri, jika seorang muslim yang melakukan, dia telah melakukan tindakan yang dilarang oleh agama karena akan merusak nasab dari anak yang dilahirkan kelak. Nasab anak menjadi tidak jelas akan mengikuti jalur bapak yang mana.
Pelanggaaran yang dilakukan oknum ASN dengan melakukan praktik poliandri, menunjukkan bahwa sudah terkoyak ketahanan keluarga yang telah dibinanya.
Keluarga Muslim Keluarga Bahagia
Jaminan keluarga muslim sebagai keluarga bahagia adalah jaminan dari Allah SWT. dalam Al-Quran surat ar-Ruum ayat 21 yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang dari ….”
Menurut Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya “An-Nidhamul Ijtima’i Fil Islam” menyebutkan, as-sakn maknanya adalah al-ithmi’nan (ketentraman atau kedamaian). Artinya, supaya pernikahan itu menjadikan seorang suami merasa tentram dan damai di sisi istrinya, begitu pula sebaliknya, seorang istri akan merasa tentram dan damai di sisi suaminya. Jadi, ketentuan dasar dalam sebuah perjalanan adalah kedamaian, dan dasar dari kehidupan suami istri adalah ketentraman. Kedamaian dan ketentraman ini merupakan awal dari suasana bahagia. Sulit diraih kebahagiaan dalam keluarga jika diliputi perselisihan di antara anggota keluarga tersebut.
Rasulullah juga memberi gambaran kebahagiaan keluarga muslim sebagaimana dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, “Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang salihah, tempat tinggal yang lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang: tetangga yang jelek, istri yang tidak salihah, kendaraan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.”
Dari hadist tersebut digambarkan jika kebahagiaan itu diraih saat memiliki pasangan yang saleh/salihah, memiliki kehidupan yang layak.
Adapun untuk meraih kebahagiaan, perlu untuk memujudkan dan menjaga ketahanan keluarga. Islam memiliki konsep agar ketahanan keluarga dapat terwujud, yaitu dengan adanya hak dan kewajiban suami dan istri.
1. Kewajiban Suami
Allah SWT. telah memberikan kewajiban kepada laki-laki dalam perannya sebagai suami, pertama: Mempergauli istri dengan baik, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228, “… Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf/baik.”
Rasulullah bersabda dalam riwayat Al-Hakim dan Ibnu Hibban, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya kepada keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku.”
Kewajiban suami yang kedua, menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Allah amanahkan ke pundak laki-laki dalam perannya sebagai suami adalah kepemimpinan, sebagaimana dalam surat an-Nisa ayat 34: “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita ….”
Kepemimpinan suami dalam hal ini bukan kepemimpinan yang bersifat otoriter, tetapi kepemimpinan yang sesuai dengan syariat, yaitu masih diberikannya hak kepada istri untuk memberi masukan kepada suami jika ada hal yang harus diputuskan oleh suami.
Kewajiban suami yang ketiga, memberikan nafkah yang layak kepada istri dan anak-anaknya. Hal ini Allah sebutan dalam surat al-Baqarah ayat 233, “… kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” Seorang suami yang baik dia akan bersungguh-sungguh dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya. Dia tidak akan lari dari tanggung jawabnya, apalagi melimpahkan tanggung jawab mencari naskah kepada istrinya. Rasulullah pernah memuji Sa’ad bin Mu’adz ra. ketika Rasulullah menyalami tangan Sa’ad Mu’adz yang kasar, beliau bertanya mengenai hal itu. Lalu Sa’ad menjawab, “Saya selalu mengayunkan skrop dan kapak untuk mencarikan nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah menciumi tangan Sa’ad seraya bersabda, “Inilah dua telapak tangan yang disukai Allah.” (Hadist ini disebutkan oleh as-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth)
2. Kewajiban Istri
Istri juga memiliki kewajiban dalam keluarganya. Pertama, menaati suami. Dalam surat an-Nisa ayat 34 Allah memberikan gambaran sikap seorang istri, “… maka perempuan-perempuan yang salihah itu adalah mereka yang taat dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada.”
Kedua, istri berkewajiban menjadi ibu. Hal ini Allah tatapkaan dalam surat an-Nahl ayat 72, “Dan Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu ….”
Dalam kewajiban ini, seorang perempuan tidak hanya sebagai ibu tapi juga berperan dalam mendidik anak-anaknya. Peran mendidik inilah menjadi peran strategis dan penting baginya.
Ketiga, kewajiban sebagai pengatur rumah tangga. Istri bertanggung jawab dalam semua urusan rumah tangga sesuai kemampuannya, sebagaimana yang Rasulullah tetapkan atas Fatimah putri beliau, untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah dan Ali mengerjakan pekerjaan di luar rumah. Suasana rumah yang teratur dan nyaman akan memberikan rasa bahagia bagi para penghuninya. Akan semakin mempererat hubungan sebagai pasangan suami dan istri.
Selain kewajiban sebagai suami dan juga istri, ada kewajiban yang dilakukan bersama. yaitu kewajiban mendidik anak, yang dilakukan secara bersama-sama tidak hanya dibebankan pada suami saja atau istri saja.
Dalam pandangan Islam, untuk melindungi keluarga tidak hanya urusan individu dan keluarga tersebut, tetapi negara juga bertanggung jawab untuk menjaganya. Menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang membuat ketahanan dalam sebuah keluarga runtuh. Negara juga bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sebuah keluarga, sehingga terbentuk keluarga yang mandiri dan tangguh. Kebahagiaan pun akan dirasa oleh masing-masing keluarga.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 297
Comment here