Oleh: Nurlaini
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Semakin hari, jumlah penduduk Indonesia makin bertambah. Kebutuhan pangan otomatis makin tinggi dan tak terelakkan. Hal ini berarti pemerintah harus mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan tersebut tanpa bisa ditunda. Dalam upaya pemenuhannya, Indonesia mempersiapkan dana senilai Rp124,4 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 untuk memperkuat ketahanan pangan. Angka yang terlihat besar jika dilihat sekilas, akan tetapi ternyata berdasarkan Pengamat Pertanian Syaiful Bahari, nominal itu sama sekali tidak mencerminkan adanya perencanaan strategis untuk penguatan sektor pertanian nasional. Lantas bagaimana seharusnya negara ini mempersiapkan ketahanan pangan yang tepat agar tak sekadar menjadi angan-angan?
Presiden Joko Widodo memaparkan anggaran ketahanan pangan di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 hanya sebesar Rp124,4 triliun. Pengamat Pertanian Syaiful Bahari melihat nominal itu sama sekali tidak mencerminkan adanya perencanaan strategis untuk penguatan sektor pertanian nasional.
“Seharusnya pemerintah memperjelas apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan, apakah dengan jalan peningkatan produktivitas atau penguatan cadangan pangan nasional atau memperbesar bantuan pangan seperti yang terjadi di 2023-2024,” ucap Syaiful saat dihubungi, Jumat (16/8).
Sebagaimana diketahui, anggaran ketahanan pangan di APBN 2025 diarahkan untuk mendukung peningkatan produktivitas, menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan, perbaikan rantai distribusi hasil pertanian, serta meningkatkan akses pembiayaan bagi petani. Melihat dari pengalokasian anggaran tersebut, Syaiful menilai tidak ada upaya serius dari pemerintah memperbaiki produktivitas pertanian, mulai dari hulu sampai hilir. (mediaindonesia.com/, 16/08/2024)
Seperti kita ketahui, awal tahun ini negara kita dikatakan membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. Impor beras menjadi solusi pragmatis persoalan beras, dan bukan mendasar, bahkan cenderung menjadi cara praktis mendapatkan keuntungan. Kebutuhan memang terpenuhi, tetapi di sinilah petani lokal dirugikan. Keberadaannya semakin terabaikan dan pemasaran hasil panennya harus bersaing dengan produk dari luar negeri. Sayangnya, APBN 2025 tidak mencerminkan perbaikan dari tahun sebelumnya. Bahkan pengamat pertanian menilai tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi masalah produktivitas pertanian. Anggaran tersebut justru hanya berfokus pada pengalokasian cadangan pangan dan bantuan sosial pangan. Alokasi ini tentu saja bisa bersumber dari lokal dan impor. Bercermin dari tahun sebelumnya, besar kemungkinan kebijakan impor besar-besaran akan terulang.
Seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah. Hal ini termasuk menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan, berkurangnya jumlah petani dan makin sulitnya petani mempertahankan. Apakah begitu sulit mewujudkannya?
Indonesia terletak di daerah tropis yang mengalami musim hujan dan kemarau silih berganti. Hal ini membuat Indonesia mempunyai potensi pertanian yang baik. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air (2006) memperlihatkan total luas daratan Indonesia adalah sebesar 192 juta ha, terdiri 123 juta ha kawasan budidaya, dan 67 juta ha sisanya kawasan lindung. Namun yang terjadi, hasil pertanian masih belum bisa menutup kebutuhan pangan. Kenapa bisa demikian? Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah berkurangnya minat masyarakat pada bidang pertanian dan lebih memilih untuk menjadi pegawai serta membiarkan tanah miliknya terbengkalai tanpa diurusi. Turunnya minat masyarakat dalam hal ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, melainkan harus dicarikan solusi. Masyarakat enggan mengurus lahannya tidak semata-mata karena malas, akan tetapi karena kurangnya perhatian dari negara. Ketika sudah membanting tulang untuk mengolah sawah dan berhasil memanen, petani masih harus menghadapi sulitnya menjual hasil karena bersaing dengan produk impor.
Sumber Daya Alam yang melimpah menjadi sia-sia ketika Pemerintah Neoliberal tidak memiliki kedaulatan pangan karena masih terus menggantungkan pangan pada impor. Kebijakan ini menunjukkan alih-alih memihak petani, pemerintah justru lebih memilih solusi jangka pendek yang menyengsarakannya. Padalah seharusnya negara berkewajiban menjaga dan melindungi rakyat. Dalam hal ini petani, negara sewajarnya berupaya mengoptimalkan produksi dalam negeri.
Ketahanan pangan persoalan penting bagi negara, bahkan menyangkut kedaulatan negara. Hari ini negara tidak memiliki komitmen kuat dalam membentuknya, nampak dari kebijakan yang diambil. Minimnya dukungan atau bantuan pada petani karena tidak ada upaya serius dari pemerintah memperbaiki produktivitas pertanian, mulai dari hulu sampai hilir. Faktor lain adalah kuatnya impor. Islam menjadikan ketahanan pangan harus diwujudkan karena berkaitan dengan kedaulatan negara dan posisi sebagai negara adidaya. Negara sebagai raa’in akan membuat Kebijakan yang akan menguatkan ketahanan pangan, bahkan juga kedaulatan pangan, sehingga petani terlindungi dan optimal dalam produksi. Kebijakan impor, harusnya menjadi solusi paling akhir di antara pilihan yang ada. Jika demikian, bukankah sudah saatnya menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam seluruh lini kehidupan.
Wallahu a’lam bi Showab.
Views: 17
Comment here