Opini

Ketahanan Pangan dalam Perspektif Kapitalisme dan Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Rosyunita, S.Si., M.Si.

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Menurut Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012, Ketahanan Pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Badan Pangan Nasional, 2022). Dimensi ketahanan pangan adalah ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas. Keempat dimensi ini saling terkait dan menjadi pilar utama dalam membentuk kebijakan ketahanan pangan (Clapp et al, 2022).

Ketahanan pangan ini menjadi persoalan yang sangat penting dan urgen dalam menjaga stabilitas sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Bahkan baru-baru ini masyarakat menyoroti program prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran melalui Kementerian Keuangan yang menampilkan ketahanan pengan menjadi salah satu diantara program-program tersebut.

Pada aspek politik, kerawanan pangan bisa menjadi penyebab ketidakstabilan politik, namun ketidakstabilan politik dan konflik juga bisa menjadi penyebab kerawanan pangan atau kelaparan (Maxwel, 2013). Ketersediaan pangan yang tidak mencukupi dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, Keterbatasan akses terhadap pangan menyebabkan masyarakat miskin mengonsumsi makanan yang kurang bergizi, dan berdampak pada kesehatan dan produktivitas masyarakat (kemenkeu.go.id). Pengaruh ketahanan pangan terhadap aspek-aspek ini sangat ditentukan oleh ideologi yang diterapkan, karena semua kebijakan termasuk ketahanan pangan suatu negara dilandaskan pada ideologi yang menjadi dasar pemikiran dan arah kebijakan pemerintah.

Ketahanan Pangan dalam Kapitalisme

Kapitalisme adalah ideologi dengan sistem ekonominya yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan ekonomi untuk memperoleh keuntungan. Melalui kapitalisme, pangan telah berubah dari sebuah kebutuhan menjadi sebuah komoditas, semata-mata dengan tujuan untuk mengambil keuntungan dari tingginya permintaan. Maka, lahirlah monopoli dan dominasi pangan secara global. Dalam Sistem pangan global didominasi oleh segelintir perusahaan besar yang mengontrol pasar, inovasi teknologi, dan kebijakan (Clapp, 2021). Hanya 4 perusahaan yang menguasai 44% pasar mesin pertanian global, 2 perusahaan menguasai 40% pasar benih global, dan empat perusahaan menguasai 62% pasar bahan kimia pertanian global (The Conversation, 2024).

Greenpeace (2023) menyoroti perusahaan multinasional dalam memperkuat kendali atas sistem pangan global. Empat perusahaan besar, yakni Archer-Daniels Midland, Cargill, Bunge, dan Dreyfus mengontrol 70 % perdagangan biji-bijian dunia. Cargill juga merupakan pengimpor kedelai terbesar di Indonesia. Pada 2012, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut Cargill dan satu perusahaan lainnya menguasai 74 % pasar impor tanah air. Bayer (Monsanto) dan Corteva mendominasi pasar benih di Indonesia, terutama untuk tanaman seperti jagung dan padi, Nutrien, Yara International, dan Mosaic memengaruhi harga dan pasokan pupuk di Indonesia. Karena sebagian besar bahan baku pupuk diimpor, harga pupuk sangat sensitif terhadap fluktuasi pasar global.

Dominasi dari hulu sampai hilir ini menyebabkan ketergantungan benih, pupuk bahkan output hasil pertanian suatu negara. Pada aspek lain, kejamnya ideologi kapitaslime hanya berkonsentrasi pada masalah produksi yang berlimpah tapi aksesibilatas sulit untuk diperoleh.

Produksi berlebih adalah hal yang alami dari kapitalisme dan ini juga berlaku pada pertanian pangan. Antara tahun 1961 dan 2020, hasil pertanian dunia meningkat hampir empat kali lipat. Luas lahan pertanian bertambah 7,6 persen antara tahun 1961 dan 2020 dan saat ini menempati 32 % luas daratan dunia. Daerah irigasi meningkat lebih dari dua kali lipat. Meskipun produksi pangan meningkat, kelaparan tetap menjadi masalah akibat distribusi yang tidak merata, akses terbatas ke lahan, dan pilihan kebijakan yang memprioritaskan keuntungan dibanding kebutuhan sosial (Ehrlich et al., 1993).

Sekitar 800 juta orang mengalami kelaparan dan 2 miliar orang menderita malnutrisi, lebih dari sepertiga populasi orang dewasa mengalami obesitas dan sepertiga makanan yang diproduksi terbuang (Global Hunger Index, 2017). Amirta sen (1983) menyatakan bahwa terdapat kondisi yang menyebabkan sebuah negara mengalami kelaparan walau tidak mengalami kekurangan dalam produksi pangan, hal tersebut karena aksesibilitas terhadap pangan. Aksesibilitas pangan menekankan pada kemampuan seseorang dalam membeli dan mendapatkan pangan yang tersedia di pasar.

Kebijakan kapitalisme dalam ketahanan pangan berbasis pada mekanisme pasar, efisiensi produksi, dan profitabilitas telah menyebabkan degradasi lingkungan (Poore & Nemecek, 2018). Eksploitasi ini terjadi dalam bentuk ekspansi pertanian skala besar, deforestasi, penggunaan bahan kimia berlebih, eksploitasi air dan sumber daya alam.

Konsep ketahanan pangan dalam Islam

Dalam Islam, pangan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan kebutuhan pokok yang menjadi hak bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, pemenuhannya pada seluruh individu rakyat merupakan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Dengan paradigma ini, maka pengurusan sepenuhnya oleh penguasa/pemerintah.
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya” (HR Bukhari dan Muslim).

Pemenuhan ini bersifat individual secara menyeluruh, bukan kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Maka, tidak boleh sebatas memproduksi bahan pangan sesuai jumlah penduduk, tetapi juga harus memastikan bahan pangan tersebut terdistribusi merata kepada semua rakyat. Negara tidak hanya memastikan produktivitas pangan secara umum terjadi, tetapi juga hadir dalam menjaga rantai tata niaga dengan mencegah dan mengawasi perilaku yang merusak harga pangan sehingga masyarakat sulit mendapatkannya. Selain itu, negara akan bertanggung jawab memastikan semua pangan yang beredar di tengah masyarakat adalah makanan halal dan tayib dengan berbagai perangkat sistem yang dimiliknya (Maliki, 2001).

Pada aspek produksi, Islam mendorong dan mengatur produksi barang yang efisien dan memadai ketersediannya sehingga dapat dijangkau. Negara juga menerapkan hukum pertanahan sehingga lahan akan terdistribusi dengan benar dan terkelola dengan optimal. Di era Umar bin al-Khaththab berbagai kebijakan diterapkan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian.

Wilayah-wilayah yang ditaklukkan dikelola oleh penduduk setempat/asli tanpa pembagian kepada penakluk. Hal ini agar tanah tersebut lebih produktif di tangan penduduk asli yang lebih memahami dan mampu mengembangkan lahan daripada pihak lain (al-Haritsy (2003). Untuk meningkatkan produksi, Islam menggunakan politik pertanian dengan metode (1) ekstensikasi (tawsi’), yaitu memperluas lahan pertanian yang ada; (2) intensifikasi (ta’miq), yaitu memperbaiki teknik-teknik dalam bertani (Al Wai’e, 2022).

Pada aspek distribusi, Infrastruktur pendukung wajib disediakan oleh negara sebagai bentuk pelayanan yang mendukung produksi dan distibusi bahan pangan. Selain itu terdapat pengawas pasar seperti qaadhi muhtasib atau hisbah. Tugas utama lembaga ini adalah mengawasi kegiatan publik seperti praktik yang tidak sesuai syar’i (penimbunan pangan/barang lain).

Pada aspek regulasi, ketahanan pangan direalisasikan dengan dua mekanisme, yaitu mekanisme harga dan nonharga. Mekanisme harga diwujudkan dengan memampukan rakyat secara finansial seperti memperluas lapangan kerja atau menambah keterampilan, sehingga bisa mengakses pangannya secara mandiri. Adapun mekanisme nonharga dijalankan untuk rakyat yang tidak mampu, cacat, atau sakit. Negara akan melayani kebutuhan pangannya secara langsung dengan tetap memperhatikan kelayakan dan kecukupan nutrisinya (Muslimah News.com, 2024).

Mekanisme jaminan pemenuhan pangan dalam islam yang ditekankan pada aspek individu, masyarakat dan negara, yaitu 1) Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk menafkahi tanggungannya sebagaimana QS Al-Baqarah ayat 233 dan Ath-Thalaq ayat 6 dan 8. 2) Negara menyediakan berbagai fasilitas pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. 3)apabila kepala keluarga tidak ada atau tidak mampu memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggungannya, maka kewajiban nafkah beralih ke kerabat dekat. 4) tetangga terdekat wajib memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangga yang kelaparan. 5) negara secara langsung memenuhi kebutuhan pokok individu bagi yang tidak mampu dan membutuhkan.

Dari uraian perbandingan kapitaslisme versus Islam yang telah dipaparkan, maka satu-satunya pilihan hari ini adalah ideologi islam yang mampu mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan bahkan kesejahteraan setiap individu. Penerapan konsep ini secara kaffah, juga akan melahirkan swasembada dan kedaulatan pangan yang “sustain” dan tahan terhadap berbagai kondisi.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here