Oleh Nazwa Hasna Humaira (Pelajardan Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com — Sudah setahun lamanya Covid-19 di Indonesia belum mereda, bahkan kabarnya jumlah pasien positif semakin melonjak. Segala aktivitas yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari pun sempat terhenti, sampai ada yang kehilangan mata pencahariannya.
Walaupun karantina wilayah sempat diberlakukan di setiap daerah, tetapi tetap saja aturan tersebut tidak berefek menyeluruh. Sebab, akses tempat-tempat wisata ataupun tempat perbelanjaan yang menimbulkan kerumunan dibiarkan beroperasi.
Sekarang pun sudah hampir dekat dengan Hari Raya Idul Fitri, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dengan melarang masyarakat untuk mudik atau pulang kampung.
Kekhawatiran pemerintah akan melonjaknya pasien corona disinyalir menjadi alasan larangan mudik muncul hingga menetapkan sanksi tegas kepada masyarakat yang melanggar aturan, termasuk menutup akses jalur mudik area Bandung dan sekitarnya.
Beberapa polisi siap siaga di beberapa titik. Menjaga semua pintu keluar masuk Kabupaten Bandung selama 24 jam. Sebanyak 8 pos penyekatan utama telah didirikan di Kabupaten Bandung. Bukan hanya jalan utama yang ditutup, tetapi jalan tikus yang biasa dilalui oleh pemudik pun akan dijaga dengan ketat. Hal ini dilakukan, karena semangat pulang kampung dari masyarakat tak berhenti hanya karena ada larangan.
Masih banyak masyarakat yang terlihat tak peduli. Mereka tak khawatir untuk berkerumun, jalan-jalan, bahkan berencana untuk mencari rute alternatif agar tetap mudik. Masyarakat memiliki cara tersendiri agar dapat lolos dari penjagaan para polisi yang mengawasi, dengan melewati jalan tikus misalnya. Sebab, jalan tikus yang ada di Kabupaten Bandung ini tidak sedikit, melainkan banyak sekali. Selain untuk mempercepat sampai ke tujuan, menghindari kemacetan, jalur ini dianggap solusi menghindari sanksi dari aparat.
Sanksi bagi orang yang melanggar diberlakukan pada tanggal 6 Mei 2021. Sedangkan, sebelum tanggal 6 Mei 2021, para pemudik hanya akan dimintai untuk berputar arah kembali menuju rumahnya.
Hari Raya Idul Fitri memang sudah identik dengan masyarakat yang mudik ke kampung halamannya. Di samping untuk mencurahkan rasa rindu, juga untuk mempererat tali silaturahmi dengan keluarga atau bahkan masyarakat sekitarnya. Namun rupanya kebiasaan tahunan ini tak lagi bisa dilakukan karena terkendala dengan larangan mudik.
Jika saja sejak awal pemerintah mau bersikap tegas memberlakukan _lock down_, menutup akses sumber virus, memisahkan yang terinfeksi dan sehat, serta memberikan pelayanan maksimal kepada korban terdampak, tentu momen istimewa Idul Fitri tetap dapat dirasakan penuh sukacita bersama keluarga tercinta.
Hal yang seharusnya dilakukan pemerintah selain upaya di atas adalah: Pertama, melakukan 3T ( Test, Tracing, and Treatment) kepada seluruh rakyat. Dengan tujuan agar mengetahui pasien yang positif/ tidaknya.
Kedua, menyiapkan tempat bagi rakyat yang terkena virus Covid-19. Dengan tujuan, pasien tersebut dapat melakukan isolasi mandiri atau mendapat perawatan lainnya.
Ketiga, memblokir tempat pasien Covid-19 dirawat. Dengan tujuan, agar masyarakat yang tidak terkena virus Covid-19 tersebut/ tidak masuk ke dalam daerah yang terdapat pasien Covid-19. Seperti dalam hadis Rasulullah SAW bersabda:َ
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).
Keempat, menutup sementara tempat-tempat yang mampu mendatangkan kerumunan orang. Dengan tujuan agar virus Covid-19 ini tidak menyebar kembali.
Namun, tentu saja langkah-langkah tersebut hanya berlaku pada negara berlandaskan akidah Islam, bukan negara saat ini. Sebab, sistem yang ada di negara ini bukanlah menggunakan sistem dan aturan Islam, melainkan sistem kapitalisme. Negara dalam mengeluarkan kebijakannya lebih banyak pertimbangan materi ketimbang kesehatan serta kenyamanan masyarakat.
Solusi yang diberikan negara dalam sistem ini pun tidak menyeluruh demi kepentingan rakyat melainkan demi kepentingan segelintir orang, semisal pemodal dengan label pengusaha berkantong tebal. Makanya tak heran jika jalur mudik ditutup, akses wisata dibuka.
Sistem kapitalis membuat orang kaya semakin kaya, sedangkan orang miskin akan semakin miskin.
Pandemi bukan faktor utama rakyat bertambah miskin, tetapi tata kelola negaralah yang timpang dalam memberikan pelayanan publik. Baik saat normal atau saat terjadi wabah.
Jika sistem Islam yang mengatur kehidupan ini, mungkin masyarakat sekarang tak akan sampai kehilangan pekerjaannya hingga semakin miskin, atau membuat mereka sulit untuk mudik berjumpa dengan keluarganya.
Dalam sistem pemerintahan Islam, seorang kepala negara dituntut untuk memberikan pelayanan maksimal demi terwujudnya keamanan dan kenyamanan termasuk mengatasi wabah dan dampaknya.
Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab sebagaimana arahan Rasul SAW berikut:ِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Maka dari itu, kita sebagai seorang muslim harus mampu untuk melaksanakan Islam secara kafah dalam kehidupan ini. Agar kelak Allah segera membangkitkan kembali sistem Islam dan pemimpin penerapnya agar kehidupan umat sejahtera. Sebab, tak ada sistem lain yang mampu mengatur semua persoalan hidup umat manusia, selain sistem Islam. Sistem yang menjadikan pemimpinnya senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunah, maka sebuah keniscayaan riayah-nya melahirkan kemaslahatan hidup manusia. Bukan hanya untuk seorang muslim saja, melainkan non muslim pun akan turut merasakan nikmatnya dipimpin dalam sistem Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 2
Comment here