Oleh : Isnawati
Aku menatap kamar yang ada dihadapanku lekat, sebuah kamar yang mengingatkanku pada masa-masa bersama si bungsu. Tempat sederhana untuk melepas penat dan bercengkrama kami. Sebuah kamar berukuran 3m X 2,5m itu tetap tertata rapi sesuai pesan si bungsu agar selalu membersihkannya, kini kamar itu sepi tanpa penghuni. Si bungsu adalah anak SD yang manja dan selalu tidur bersamaku. Walau sampai larut malam dia akan selalu menungguku pulang dari kerja bahkan sering kali tertidur di ruang tamu. Lain dulu lain sekarang, mungkin itulah ungkapan yang tepat, dia kini tumbuh menjadi remaja yang lebih tenang dan bijak. Kenangan masa-masa bersamanya sering hadir tanpa diundang, tak terasa air mata pun mengalir bagaikan hujan.
Si bungsu tinggal di pondok pesantren An-nur, Jalan H.Ahmad Dahlan no.1 RT03 RW01 Tanggulangin, Kaliwungu, Penatarsewu, Kec. Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Siang itu hari untuk menjenguk santri, tepat di depan panggung yang ada di Aula Ponpes An-nur si bungsu berdiri dan tersenyum menghampiri kami.
“Mama dan ayah sudah datang dari tadi kah?” aku menatap ke arah suara itu, walau mata kurang jelas tapi aku tidak pernah salah jika itu suara anak-anakku, dialah si bungsu yang mendekat menghampiri kami. Gadis kecil berpakaian warna biru dengan kerudung ungu, walau kelihatan tidak serasi tapi nampak cantik karena pancaran iman. 13 September 2020 siang itu adalah hari pertemuan kedua sejak hampir dua bulan yang lalu, karena masa pandemi. Waktu berkunjung diatur sedemikian rupa demi kesehatan dan keselamatan anak-anak itu sendiri. Kebijakan Pondok Pesantren penuh kehati-hatian sebagai kewajiban dalam berikhtiar.
Pertemuan siang itu menyisakan kenangan pilu saat akan pulang, pertemuan awal tak seberat saat pertemuan kedua. Aku tak menyangka siang itu si bungsu menangis memelukku, rasa kangen itu sepertinya pecah setelah hampir dua bulan berusaha disembunyikannya. Air mata itu mengalir bagaikan air hujan yang deras hingga membasahi kerudung kami berdua, perasaan bersalah bergelayut dalam hati dan pikiranku serasa melumpuhkan kakiku untuk melangkah pulang.
Mungkin inilah perasaan ibu ketika mewakafkan cintanya di jalan Allah SWT, perang batin yang luar biasa terasa berat dan menghimpit.
Sambil terbata-bata si bungsu berkata “maafkan semua salahku yaa maa, doakan aku selalu,” aku pun tak mampu menjawab selain pelukan dan air mata sambil berlalu dari hadapannya. Dalam perjalanan pulang aku didampingi perasaan galau merindukannya, segenap hati ingin berlari menemuinya kembali dan membawanya pulang. Rasa itu berhenti saat teringat surat Al-baqarah 133
اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.”
Besar harapanku saat kami meninggal kelak, anak-anak tetap memegang teguh keimanannya. Keberkahan hidup hanya dalam ketaatan kepada Allah SWT, itulah alasanku memilih Pondok Pesantren sebagai wasilahnya.
Sebenarnya bukan pertama kalinya menitipkan anak-anak pada Pondok Pesantren, si bungsu adalah anak ke tiga. Namun hati ini selalu merindukannya, bahkan jika rasa kangen itu tak tertahan motor hitamku siap melaju ke Pondok An-nur, walau hanya sekedar mengantarkan secuil jajan dan hanya melihat bangunan Pondok Pesantrennya. Rasa kangen itu juga bukan tanpa resiko, keterlambatan kerja dan kena marah tentu menjadi akibat.
Ketika terngiang-ngiang cerita si bungsu bahwa para ustadz dan ustadzahnya sangat sabar dalam mendidik dan mendampinginya sampai berasa bersama mama, cerita si bungsu, perasaanku pun kembali tenang. Bayangan si bungsu terus mengikutiku saat memeragakan ilmu yang sudah didapatnya, sesekali dia mengatakan “hamasa!” dalam bahasa Indonesia artinya semangat, kami pun tertawa melihat eksennya yang lucu. Disisi lain hatiku bergemuruh sambil berkata, “Dia sudah bukan sibungsu yang manja lagi, walaupun terkadang masih ada sisa manjanya itu.” Belum genap dua bulan tinggal di Pondok Pesantren, namun upaya untuk berhijrah, mengharap ridha Allah SWT sangat nampak jelas. Cita-citanya ingin menjadi ustadzah yang mampu membimbing anak didiknya kelak agar menjadi generasi yang berkarakter dan berkepribadian Islam sangat kuat, karena memang kami selaku orang tua mengarahkannya, untuk ikut dalam barisan mewujudkan kehidupan Islam.
“Maa..” lamunanku ambyar seketika saat mendengar suara seseorang memanggilku. “Apa yang kamu pikirkan?” tanya si ayah sambil memegang pundakku dengan tangan kirinya. Aku terdiam dan menunduk untuk membalasnya, aku menahan tangisku. Memang mataku terlihat sembab dihadapannya, namun setidaknya dia tidak bisa melihat bekas tangis yang kubuat dibalik masker ini. “Tidak apa-apa,” sahutku.
“Mama masih ingat tujuan hidup kita? landasan apa yang akan kita gunakan untuk mendidik dan membesarkan anak-anak?” tanyanya, sembari menyampaikan satu ayat dan satu hadist.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون
“Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaku” (Q.S adz-Dzaariyaat ayat 56)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim].
Aku mengangguk memberikan jawaban padanya, suamiku melirikku sambil menyetir mobil memastikan keadaanku yang sedang galau. “Maafkan ayah yaa maa….sehingga mama harus ikut bekerja membantu memenuhi kebutuhan anak-anak, ayah belum bisa menjadi suami dan ayah yang baik,” ucapnya lirih nyaris tak terdengar. Sambil menoleh aku berusaha meyakinkan suamiku yang sedang menyalahkan dirinya, “tidak ada yang perlu dimaafkan yaah…., karena memang keimanan hari ini hanya hadir pada individu-invidu muslim saja. Kejahatan kapitalisme liberalisme luar biasa, untuk membesarkan dan menjaga anak-anak dari kemaksiatan sampai dengan menitipkan pada Pondok Pesantren. Menjaga akidah umat membutuhkan peran negara melalui kebijakannya, memprotek konten-konten perusak generasi, menutup semua ladang maksiat,” kataku. “Semoga peradaban Islam segera tegak yaa yaah…..yang akan menjaga harta, jiwa dan akal kita semua. Hanya Syariat Islam yang mampu meletakkan posisi peran ditempatnya masing-masing. Ayah pencari nafkah, mama sebagai ummun wa rabbatul bait, menjadi ibu pencetak generasi tangguh dan berkarakter, sekaligus manajer rumah tangga bagi anak-anak (ummu) dan pengurus rumah tangga (rabbatuil bait). Aamiin….” ayah menoleh sambil tersenyum dan berkata,”fitrah ibu bersama anak-anaknya.”
Hening, setelah obrolan singkat itu, kami sama-sama diam di temapat masing-masing, dia yang sedang duduk di sebelahku dengan jarak dekat dan menatap lurus ke arah jalan menuju rumah, membuatku tak nyaman karena sudah membuatnya merasa bersalah.
“Aku…..” kami sama-sama angkat bicara,”bicaralah maa….,” kata ayah. “Yaah….., anak-anak semakin besar dan dewasa, kita harus lebih hati-hati menjaga dan mendampingi mereka,” dia mengangguk, namun setelah itu diam lagi. Kucoba untuk membaca pikirannya, dalam hatiku berbisik, “apa yang ada dalam pikiran ayah, mengapa diam?.”
“Ayah sedang memikirkan apa,” tanyaku menyelidik. “Maa…, mendidik anak-anak adalah kewajiban kita orang tua, kita menitipkan anak-anak di Pondok Pesantren bukan berarti kewajiban kita selesai, kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban. Menyekolahkan anak-anak ke Pondok Pesantren saat ini memang menjadi pilihan yang bijak, mengingat pergaulan di luar yang semakin tidak terkendali, sedangkan kita berdua sama-sama bekerja. Agama mempunyai peran cukup besar dalam menghindarkan anak-anak, terutama remaja dari pergaulan yang tidak kita inginkan,” ucapnya.
“Maa…., mulai sekarang mari kita sama-sama membantu dan menunjang proses kelancaran dan keberhasilan anak-anak dengan tidak selalu menangis dan mengingatnya. Kita harus ikhlas dan juga pasrah, menyerahkan sepenuhnya anak-anak kepada Pondok Pesantren untuk dididik. Bukan di buang maa…., tapi untuk diedukasi, bukan juga dipenjara. Lihat maa…..banyak kasus anak-anak tetangga kita yang tidak betah di Pesantren akibat dari ibu yang belum merelakan sepenuhnya akan perpisahan sementara ini.”
“Maa…., ayah berkata seperti ini bukan berarti lebih tegar dari mama, doa orang tua sangat dibutuhkan untuk menunjang dan mendorong keberhasilan anak agar mendapat ketenangan, semangat, kemampuan belajar serta keberkahan selama di Pondok Pesantren. Selain kita mengupayakan anak-anak selamat dunia dan akhirat, juga sembari menyampaikan pada umat tentang hakekat hidup. Umat harus diberikan kesadaran dari mana kita hidup, untuk apa kita hidup dan akan kembali kemana setelah kehidupan. Keimanan tidak boleh dimiliki sendiri atau anak-anak yang di Pesantren saja tapi keimanan harus dimiliki individu, masyarakat bahkan negara.”
“Sudah yaa maa….jangan menangis lagi, jangan sedih lagi, mari kita sama-sama istiqfar mohon ampun pada Allah, kita diam dalam doa dan beramar makruf nahi mungkar.” Kami pun tersenyum dan mengikat janji untuk terus berjuang demi keselamatan anak-anak generasi penerus bangsa, penegak peradaban yang tinggi berlandaskan iman dan Islam. Teruslah berjuang anak-anakku raih cita-cita kalian, demi terwujudnya Rahmatan Lil Alamin. Allahu Akbar !
“Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan.” (Imam Syafi’i)
Wallahu a’lam bis swab
Views: 8
Comment here