Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI– Kisah tragis Asisten Rumah Tangga (ART) kembali terjadi di negeri ini. Baru-baru ini, lima ART kabur dari rumah majikannya karena mengalami penganiayaan. Mereka nekat melarikan diri dengan mempertaruhkan nyawa karena harus memanjat pagar tinggi berkawat duri. Para ART tersebut kabur dari rumah majikan di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (12/2/2024) sekitar pukul 02.30 WIB. Seorang tetangga yang menjadi saksi mata, mengungkapkan melihat kelima ART menangis dan ketakutan saat berusaha kabur dari rumah majikannya dengan memanjat pagar setinggi sekitar dua meter. Selama bekerja di rumah majikannya, salah satu korban ada yang disetrika, bahkan ada yang dipaksa memukul kepala mereka sendiri bila dianggap berbuat salah.
Tak hanya itu, para korban mengaku dipaksa bekerja tiada henti dan melebihi waktu pada jam kerja umumnya. Mereka mengaku kerap telat diberi makan oleh majikannya. Irisnya lagi, selama bekerja para korban juga menyebut belum pernah mendapat bayaran Rp 1,8 juta yang dijanjikan pihak penyalur kerja dan majikan. (www.megapolitan.kompas.com)
Kasus ini hanya satu dari sekian banyak penyiksaan yang kerap dialami ART di rumah majikannya, peristiwa tersebut sejatinya menunjukkan rusaknya hubungan kerja karena perlakuan yang tidak manusiawi yang dialami satu pihak, dalam hal ini adalah pekerja. Disadari atau tidak hal ini merupakan buah dari penerapan sistem Kapitalisme yang menjadikan relasi kuasa sebagai alat kezaliman terhadap sesama. Tidak ada penegakan hukum yang mampu mewujudkan keadilan antara pekerja dan pemberi pekerjaan/majikan. Pihak yang memiliki modal dan kuasa selalu diposisikan sebagai pihak yang istimewa, sehingga bertindak zalim seakan-akan disahkan. Selama ini, kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh majikan terhadap ART-nya juga tidak mendapatkan hukuman yang tegas dan menjerakan pelaku. Pelaku penganiayaan yang menyisakan luka fisik dan batin hanya dihukum penjara, bahkan dalam beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan terhadap ART hanya divonis puluhan tahun penjara.
Di sisi lain, kemiskinan dan rendahnya pendidikan membuat seseorang tidak memiliki nilai tawar. Hal tersebut menambah potensi terjadinya kezaliman pekerja oleh memberi kerja. Faktanya, masih banyak penduduk negeri ini yang hidup dalam kemiskinan dan pendidikan yang rendah, bahkan kemiskinan dan kebodohan terjadi secara sistemik. Tak heran pekerjaan sebagai ART diminati masyarakat negeri ini, pasalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, siapapun rela melakukan pekerjaan apa saja dengan mengandalkan kemampuan yang mereka miliki. Sedangkan menjadi ART, dinilai tidak membutuhkan syarat yang rumit dan cukup mengandalkan kemampuan sehari-hari, seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan lain-lain. Selain gagal menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui penerapan sistem Demokrasi-Kapitalisme, negara juga tidak mampu memberikan perlindungan pada ART yang berstatus pekerja. RUU P-PRT yang digadang-gadang mampu memberikan perlindungan hingga jaminan ketenagakerjaan terhadap ART selama 20 tahun lebih belum disahkan juga. Kalaupun disahkan negara, dipastikan tidak akan mampu memberikan perlindungan hakiki, mengingat pembuatan UU dalam sistem Demokrasi hanya formalitas, tidak menyentuh akar masalah.
Perlindungan pekerja seperti ART, hanya akan terealisasi dalam penerapan aturan Islam kaffah di bawah institusi Khilafah Islam. Islam memandang bahwa semua manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah ketakwaannya. Islam memandang transaksi ijarah antara pekerja dan pemberi kerja adalah hubungan yang terikat dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Paradigma ini akan membuat ART terhindar dari kezaliman. Dalam Islam, upah ditentukan berdasarkan manfaat yang diberikan pekerja pada pemberi kerja, baik manfaat itu lebih besar daripada kebutuhan hidup atau lebih rendah daripada kebutuhan hidup pekerja. Penetapan upah merupakan kesepakatan antara pihak pekerja dan pemberi kerja, bukan hanya besaran upah, ketentuan jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja sudah jelas dalam kesepakatan awal. Jenis pekerjaan dan lain-lain, bukan sesuatu yang samar dan berpotensi memunculkan tindakan yang zalim. Tak berhenti sampai di situ, majikan/perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh, sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. Majikan/perusahaan haram mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak atau menunda-nunda pembayaran upah, sebab semua ini termasuk kezaliman.
Negara wajib turun tangan menyelesaikan perselisihan buruh dengan majikan/perusahaan. Negara tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, akan tetapi negara harus menimbang dan menyelesaikan permasalahan kedua pihak secara adil, sesuai dengan ketentuan Syari’ah Islam. Dalam masalah besaran upah misalnya, jika dalam perjalanannya ada salah satu pihak yang menganggap besaran yang tidak sesuai dengan manfaat yang diberikan pekerja, maka Qadhi akan turun tangan dan mengembalikan besaran upah sesuai pendapat ahli ketenagakerjaan yang disesuaikan dengan harga pasar tenaga kerja. Apalagi negara juga memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan bagi para pelaku kezaliman. Khilafah memiliki tanggung jawab menciptakan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Perempuan, anak, lansia diposisikan sebagai pihak yang wajib ditanggung nafkahnya oleh walinya. Jaminan kesejahteraan dan perlindungan bagi semua anggota masyarakat dalam Khilafah, diwujudkan sebagai realisasi sabda Rasulullah SAW:
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 8
Comment here