Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Peristiwa Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah momentum penting bagi umat Islam untuk mengenang kelahiran sosok manusia termulia pembawa rahmat bagi alam semesta. Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia pilihan Allah Subhanahu wa ta’ala yang diberi amanah menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Beliau adalah kecintaan Allah dan seharusnya juga menjadi kecintaan kita sebagai umatnya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Al Qur’an surah At-Taubah ayat 24. Ayat tersebut menggambarkan kecintaan yang seharusnya melekat pada jiwa umat Islam terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala dan manusia mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, harus diletakkan di atas kecintaan pada lainnya, termasuk keluarga, harta, dan lainnya. Cinta merupakan bagian dari amalan hati yang mengharuskan ada tanda kecintaan dengan cara meneladani dan mengikuti (ittiba’) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu, setiap muslim wajib menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam kehidupannya. Mencintai Rasulullah bermakna meneladani beliau dalam hal apapun, seperti aktivitas menikah, berkeluarga, memimpin negara, dan juga berperang.
Rasulullah telah mewariskan kepada umat ini dua hal, yakni kepemimpinan dan sistem kepemimpinan. Bahkan pengaruh kepemimpinan Rasulullah ini diakui oleh seorang Astro Fisikawan non Muslim, Michael Heart. Dalam bukunya The 100 A Ranking of the Most Influential Person in History, yang menempatkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang nomor satu yang paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dalam perkara kepemimpinan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengangkat Mu’adz bin Jabal sebagai Wali (gubernur) di Yaman. Maka sebelum beliau memutuskan Mu’adz sebagai Wali, pertanyaan pertama dan utama yang dilontarkan Rasulullah kepada Mu’adz bin Jabal adalah:
“Dengan apa engkau putuskan persoalan yang ada di hadapanmu?”
Maka Mu’adz menjawab, “Saya akan putuskan dengan kitab Allah.”
Rasulullah bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?”
“Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulullah,” jawab Mu’adz.
Rasulullah bertanya kembali, “Jika tidak engkau dapatkan dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam kitab Allah?”
Mu’adz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan.”
Oleh karena itu, perkara mendasar dalam sebuah kepemimpinan sejatinya adalah dasar apa yang dipakai untuk memimpin, bukan soal asal suku atau faktor-faktor lain.
Rasulullah juga telah memberikan teladan dalam kepemimpinan kepada umatnya. Akad bai’at Aqabah kedua yang dilakukan oleh kaum Muhajirin kepada Rasulullah adalah simbol pengangkatan beliau sebagai kepala negara di Madinah. Hal ini bermakna bahwa Rasulullah mengajarkan kepemimpinan (imarah) sejak beliau resmi menjadi kepala negara di Madinah. Sepeninggal Rasulullah, kepemimpinan kaum muslimin berpindah ke tangan Abu bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifatur Rasul (pengganti Rasulullah) dalam negara Khilafah.
Oleh karena itu, Khilafah harus disampaikan kepada umat secara terang-terangan, sebab kepemimpinan islam telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan dilanjutkan oleh para sahabat sebagai bentuk ittiba’ kepada Rasul. Lebih dari itu, yang harus kita pahami bahwa Khilafah adalah ajaran Islam bukan ide dari kelompok tertentu. Sungguh, tiada kemuliaan yang didapatkan umat jika tidak ada penerapan syariat Islam secara kaffah dalam Khilafah. Dan tidak akan tegak Khilafah tanpa adanya keistiqamahan dalam dakwah.
Jika kita mengaku cinta dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam , maka wajib bagi kita meneladani kepemimpinan Rasulullah, yakni mengambil Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagai dasar menjalankan pemerintahan, bukan yang lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)
Views: 5
Comment here