Oleh: Lia Aliana (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com — Potret buram nasib buruh tampaknya masih menjadi persoalan negeri ini. Terlebih bagi kaum perempuan yang mengabdikan dirinya bekerja siang malam banting tulang, hanya sekadar mendapat sesuap nasi untuk menyambung hidup, bahkan hingga mengancam keselamatan jiwa.
Seperti kisah pilu yang dialami oleh Elitha Tri Novianty salah satu dari buruh perempuan yang bekerja di PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice. Pada Februari lalu, terpaksa melakukan operasi kuret akibat pendaharan hebat dikarenakan beban pekerjaan yang berlebihan.
Padahal wanita berusia 25 tahun ini telah menyampaikan pada pihak perusahaan, bahwa dirinya memiliki riwayat penyakit endometriosis sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan kasar, seperti mengangkat barang dengan beban berat. Diapun mengajukan pemindahan divisi sebagai solusi.
Berharap mendapatkan dispensasi, pihak perusahaan justru tidak mengabulkan pengajuannya. Bahkan mengancam akan memberhentikan dari pekerjaan yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya. Merasa tidak punya pilihan lain, Elithapun terus bekerja hingga peristiwa memilukan tersebut terjadi (theconversation.com, 18/3/2020).
Itulah sebagian kecil derita para buruh perempuan di sistem demokrasi kapitalis. Mereka kerapkali dijadikan sebagai penopang roda ekonomi negara, namun saat yang sama diperlakukan seperti mesin robot, tak manusiawi bahkan hingga bertaruh nyawa.
Aturan non-shift (tidak bekerja) bagi buruh perempuan yang sedang hamil dilakukan jika usia kandungan sudah memasuki tujuh bulan, serta dipersulit untuk mendapatkan cuti haid. Padahal sesungguhnya hal tersebut telah dijamin oleh undang-undang. Kasus Elitha ini hanyalah satu dari banyak peristiwa serupa yang tidak terungkap ke publik.
Dilansir dari theconversation.com, dari 773 buruh perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 437 pernah mengalami pelecehan, dengan rincian 106 mengalami pelecehan verbal, 79 mengalami pelecehan fisik, dan 252 mengalami keduanya.
Dari angka tersebut, hanya 26 orang yang berani melapor. Alasan para buruh perempuan tidak melapor karena mereka merasa malu, takut, dan khawatir jika melapor pekerjaan mereka akan terancam (18/3/2020).
Tak bisa dimungkiri dalam sistem demokrasi kapitalisme, kebutuhan hidup semakin tinggi ditambah dengan sulitnya mendapat pekerjaan, maka lahirlah Ide kesetaraan gender yang secara tidak langsung memaksa perempuan juga kaum ibu untuk bekerja keluar rumah dengan dalih pemberdayaan wanita dan kesejahteraan keluarga.
Dengan demikian sejatinya konsep kesetaraan gender yang ditawarkan kaum feminis, tentang persamaan hak serta kewajiban perempuan dan laki-laki hingga keduanya bisa bersaing dalam segala aspek termasuk di dunia pekerjaan bukanlah solusi. Justru seringkali tak memihak bahkan merugikan kaum hawa.
Segala permasalah ini adalah buah dari penerapan ideologi demokrasi kapitalis. Sistem yang menjadikan materi sebagai tolak ukur kesuksesan dan kebahagiaan. Sehingga atas nama kesejahteraan keluarga melegalkan kaum hawa menjadi budak pekerja. Kondisi ini diperparah dengan paham feminisme yang berhasil memalingkan tugas utamanya sebagai ummu warobatul bait, menggeser peran ayah sebagai pencari nafkah.
Islam sebagai agama yang paripurna telah memberikan penghormatan mulia terhadap kaum hawa. Seperti pesan Rasulullah saw dalam sebuah hadits, “perempuan adalah saudara kandung laki-laki, tidak memuliakannya kecuali orang mulia dan tidak merendahkannya kecuali orang yang hina.” (HR. Ahmad dan at- Tirmidzi)
Statusnya sebagai istri juga ibu merupakan sebuah kehormatan. Dengan sikap lemah lembut serta naluri keibuan, ia diberi amanah mendidik anaknya tanpa dibebankan kewajiban mencari nafkah. Bahkan, seandainya meminta asisten rumah tangga untuk membantu meringankan pekerjaan rumah, maka ia berhak mendapatkannya.
Penjagaan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh suami atau anak lelakinya, lebih dari itu saudara laki-laki bahkan negara pun ikut andil dalam melindunginya. Maka negara Islam (khalifah) wajib memastikan terpenuhinya hak-hak tersebut.
Misalnya memastikan lahan pekerjaan bagi para lelaki, terjaminnya sarana dan fasilitas umum dari tindak kriminalitas dengan penerapan aturan dan sanksi tegas bagi pelaku KDRT, pelecehan ataupun ekploitasi terhadap perempuan. Meskipun tugas dan tanggung jawab perempuan lebih fokus pada urusan domestik namun mereka tetap diberi kesempatan bahkan dimintai pendapatnya dalam urusan negara.
Hal ini dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khatab dengan mengangkat Syifa binti Sulaiman sebagai qadhi hisbah. Dan betapa bijaksananya amirul mukminin tersebut, berani mengakui kesalahannya mengenai aturan mahar, setelah diprotes oleh seorang muslimah dengan mengatakan, “wanita itu benar, dan aku yang salah.”
Kisah heroik lainnya diperlihatkan oleh Khalifah Al-mu’tashim Billah yang mendengar kabar, ada muslimah yang dilecehkan oleh seorang Romawi dengan menarik jilbabnya. Setelah memastikan kebenarannya, beliau segera mengirimkan ratusan pasukan untuk melindungi wanita tersebut. Diriwayatkan bahwa prajut yang dikerahkan membentang dari tempat kejadian perkara yaitu kota Amuriah hingga Turki ibukota negara Islam.
Oleh karena itu, jika kaum perempuan saat ini ingin dilindungi serta dihormati hak-haknya maka hanya bisa terwujud dengan sistem yang mulia, yaitu penerapan Islam dalam segala aspek kehidupan, dan diemban oleh institusi negara yakni Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bish shawab
Views: 115
Comment here