Oleh : Ayu Ocky (Anggota Komunitas Pena Langit)
“…sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.”
Dalam Islam, wanita adalah sosok yang dimuliakan. Bahkan wanita dikatakan sebagai tonggak peradaban, karena wanita memiliki peranan sebagai ummu wa rabbatul bayt, yang mencetak generasi-generasi bagi peradaban.
Namun, realitanya dalam sistem sekulerisme seperti sekarang ini, wanita justru diperlakukan seperti komoditas. Persoalan-persoalan yang menimpa wanita pun semakin beragam. Kasus-kasus kekerasan terhadap wanita dan anak banyak bermunculan. Ide-ide nyeleneh seperti kesetaraan gender hingga L68T banyak menjangkiti para wanita, tidak terkecuali para muslimah. Pada akhirnya, tidak sedikit wanita yang saat ini jauh bahkan mengabaikan perannya sebagai ummu wa rabbatul bayt karena mereka menganggap peran tersebut membatasi potensi yang ada pada diri mereka.
Ketidakpahaman di tengah-tengah umat mengenai syariat Islam merupakan penyebab utama persoalan-persoalan yang muncul semakin kompleks dengan solusi yang juga tidak tuntas dalam menyelesaikannya. Salah satunya seperti fenomena poliandri di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) (Republika, 29/08/20). Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahjo Kumolo, menyampaikan bahwa dalam satu tahun terdapat 5 kasus poliandri. Tjahjo juga mengatakan bahwa akan ada pemberlakuan sanksi bagi para wanita yang memiliki suami lebih dari satu.
Dalam persoalan lain, yakni terkait kekerasan anak dan perempuan, Kepala Dinas P3A Kabupaten TTS, Dominus Banunek mengambil langkah berupa kampanye masif ke sekolah, gereja, pasar, maupun fasilitas umum lainnya sebagai upaya untuk menekan angka kekerasan pada anak dan perempuan.
Fenomena-fenomena tersebut baik yang berkaitan dengan kasus poliandri maupun kekerasan terhadap anak dan perempuan menunjukkan belum tercapainya ketahanan keluarga yang hakiki. Pola hidup ala sistem kapitalisme banyak mengantarkan kepada kerusakan dan menjauhkan manusia dari tujuan hakiki kehidupannya di dunia.
Padahal, sejatinya ini bukan soal angka maupun sanksi semata melainkan bagaimana memberikan solusi tuntas hingga ke akar persoalan yang menjadikan kehidupan manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya dan berada dalam kesejahteraan serta terjamin dalam berbagai aspek. Sistem yang diterapkan saat ini (kapitalisme) justru membiarkan manusia terjerumus ke dalam kerusakan-kerusakan yang ada dengan berbagai macam kebebasan dan standar ala manusia yang sejatinya penuh dengan keterbatasan. Hal ini juga menunjukkan betapa jauhnya umat dari pengaturan dan pemahaman tentang Islam sehingga berimbas kepada kehidupan yang tidak berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah, melainkan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia.
Padahal Allah telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 60, yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin bahwa masa depan generasi akan terancam. Tentunya, dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut tidak cukup hanya tindakan kuratif saja, tetapi diperlukan juga tindakan preventif. Tidak adanya tindakan preventif memberikan peluang banyaknya kasus serupa akan kembali bermunculan.
Untuk itulah perlunya kita mencari solusi yang tepat bagi berbagai macam persoalan yang juga mengembalikan kita pada tujuan hakiki kehidupan. Islam sebagai agama yang sempurna dengan seperangkat aturannya, tidak hanya menyediakan solusi untuk menangani tetapi juga pencegahan. Selain itu, sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita menjadikan sumber hukum syara’ sebagai pedoman hidup kita dengan mewujudkan penerapan Islam kaffah dalam bingkai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Wallahua’lam bishawab
Views: 7
Comment here