Oleh : Rakhmawati Aulia (Pegiat literasi)
wacana-edukasi.com–Kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat memicu masyarakat untuk meningkatkan kreativitas. Salah satu profesi yang menjadi tren hari ini adalah influencer. Tidak hanya menarik kalangan selebritas, remaja, ibu-ibu muda bahkan juga pada anak-anak.
Kids influencer adalah sebutan bagi seorang anak yang telah berprofesi sebagai influencer -anak yang memiliki pengikut yang banyak di media sosial-. Mereka sama seperti layaknya influencer dewasa yang bekerja mempromosikan sebuah produk dan tidak henti-hentinya tampil di layar untuk menjadi objek dalam sebuah konten.
Menjadikan anak sebagai kids influencer tak alih seperti menyalahgunakan anak untuk meraup keuntungan. Meskipun mungkin si anak merasa enjoy, tapi pada nyatanya ini adalah satu bentuk eksploitasi era digital.
Kehidupan sistem kapitalisme, menjadikan pundi-pundi rupiah di atas segalanya. Sehingga tentu tak akan memperhatikan sisi gelap dan negatif dari adanya kids influencer. Salah satu sisi gelap dari kids influencer adalah melibatkan anak dalam aktivitas komersial, tentu sedikit banyak akan mempengaruhi psikis dan terenggutnya hak anak. Selain itu, dibanyak kasus orang tua memilih untuk tidak bekerja, lebih menyibukkan diri dan fokus menjadi conten creator anak.
Orang tua dan keluarga sebagai institusi pertama anak dalam proses sosialisasi primer, dan juga pemerintah sebagai pemangku kebijakan, seharusnya menjadi garda terdepan dalam upaya perlindungan anak dari eksploitasi anak.
Selain itu, agaknya wajib untuk direnungan oleh setiap orang tua. Tidak menjadikan anak berpengaruh dalam masalah agama dan kebaikan, melainkan karena pengaruh rupiah adalah bentuk kezaliman terhadap anak.
Dalam Islam anak adalah amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada pasangan yang telah menikah. Sebagai amanah anak harus dijaga, dirawat, dan dilindungi dengan sebaik mungkin. Bukan malah dimanfaatkan untuk meraup keuntungan.
Views: 153
Comment here