wacana-edukasi.com—Proyek kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) terbesar di dunia di Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, murni digarap swasta yang terdiri dari konsorsium swasta nasional dan luar negeri menggunakan skema business to business (B2B), tidak ada keterlibatan pemerintah baik dalam penyertaan modal maupun akuisisi lahan.
Para konsorsium swasta nasional dan luar negeri, terdorong untuk mengembangkan kawasan industri hijau terbesar di dunia, yang juga merupakan proyek industrial estate terbesar yang pernah dibangun swasta.
Presiden Indonesia, Joko Widodo saat melakukan groundbreaking di Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, Selasa, 21 Desember 2021, mengharapkan, KIHI Tanah Kuning bagian dari upaya transformasi ekonomi Indonesia, dari produsen bahan mentah menjadi penghasil barang setengah jadi dan barang jadi (suarapemredkalbar.com, 15/01/22).
Pembangunan kawasan industri ini menciptakan lapangan kerja bagi kurang lebih 100 ribu tenaga kerja. Sedangkan saat beroperasi diperkirakan akan membutuhkan lebih dari 200 ribu tenaga kerja ditambah tenaga kerja yang diperlukan oleh industri turunan dari produk yang dihasilkan.
Lompatan katak atau katak rebus? Kira-kira inilah istilah yang harus benar-benar dipastikan oleh pemimpin dan para pejabat negeri ini. Mengingat, tujuan mulia yang dicita-citakan, ditempuh dengan jalan kapitalisme liberal yang pada akhirnya akan menyengsarakan. Bagaimana tidak, mandiri dalam ekonomi dengan mewujudkan industri bernilai ekonomi tinggi, produsen bahan setengah jadi bahkan barang jadi, didukung dengan proses industri berkelanjutan dan ramah lingkungan, adalah impian setiap negara, pun negera gemah ripah loh jenawi ini. Hal ini tentu akan linier dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Namun, ketika tujuan baik ini di kelola dengan prinsip kapitalisme, terlebih melibatkan swasta bahkan asing secara penuh dalam proyeknya. Tentu, kita harus mawas diri, siapakah yang akan diuntungkan? Karena, sudah menjadi rahasia umum, prinsip “no free Lunch” adalah asas mereka. Sudah banyak contoh, pengelolaan ala kapitalisme hanya akan membuat kita bergantung kepada asing, bahkan suatu saat terpaksa merelakan aset-aset mewah kita, SDAE kita untuk menjadi milik mereka. Inilah neo-imperialisme. Secara fisik kita tak terjajah, namun layaknya katak rebus, maka secara perlahan namun pasti katak tersebut akan mati kepanasan. Akankah kita akan ada pada kondisi yang sama?
Sudah saatnya, negeri ini dan negeri-negeri muslim lainnya, kembali kepada aturan Syari’ah. Maqashid Syari’ah akan menjadi tujuan mulia negara untuk mewujudkan nya. Politik ekonomi islam akan memastikan kesejahteraan rakyat terpenuhi individu per individu, bahkan negara akan memberikan akses terpenuhinya kebutuhan tersier. Politik industri akan memastikan bahwa industri yang penuh kemandirian tanpa campur tangan swasta, terlebih asing. Begitu pula prinsip pengelolaan lingkungan yang akan tunduk pada titah-Nya, alam akan termanfaatkan namun tetap lestari terjaga dan sistem-sistem lain yang akan berkelindan sesuai tuntunan Syari’ah. Maka, berkah dari langit dan bumi akan bertaburan di alam raya ini.
Neng Erlita
Pontianak-Kalbar
Views: 14
Comment here