Opini

Kisah Pesulap Merah, di Negeri Terserah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ummu Habib

wacana-edukasi.com– Aksi Pesulap Merah membongkar praktik dukun palsu mendapat berbagai respon dari masyarakat. Video-videonya viral dan beredar luas via medsos di banyak kanal. Walaupun aksinya berhasil membuka mata sebagian masyarakat dan mendapatkan respon positif, tapi respon negatif tetap saja datang. Begitulah, yang haq memang akan selalu mendapatkan perlawananan dari yang batil.

Beredarnya tangkapan layar yang berasal dari akun TikTok abahrahman8 yang melakukan ‘ritual’ meminta bantuan gaib untuk mengalahkan pesulap merah, menjadi salah satu contohnya. Yang menjadikannya makin menarik, ternyata dukun tersebut bersertifikat dari Majelis Brajamusti, yang bertuliskan pengijazah kepada tingkat mahaguru. Dengan adanya sertifikat tersebut seolah-olah keberadaan dukun tersebut sah dan legal. Sungguh aneh.

Apa yang dilakukan pesulap merah dan yang semisalnya adalah bentuk keresahan sebagian masyarakat yang merasakan adanya penyimpangan terhadap agama dan ilmu sulap. Ilmu sulap yang diperuntukkan hanya sebagai pertunjukan hiburan, justru dipakai untuk menipu orang. Baik melalui praktik penyembuhan penyakit, pembersihan rumah dari sihir, hingga penjualan benda-benda gaib yang dipercaya memiliki kekuatan seperti pengasihan, pesugihan, dsb.

Parahnya, praktik penipuan seperti ini kadang memakai agama sebagai kedok. Akibatnya, tidak hanya dapat mencitraburukkan agama, tetapi juga dapat menjerumuskan seorang muslim pada kekafiran. Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Nabi ﷺ Muhammad bersabda, “Barangsiapa mengunjungi seorang arraaf atau peramal (dukun) dan percaya pada apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad (Alquran).” (Hadits sahih diriwayatkan Imam Ahmad)

Selain itu, praktik perdukunan yang melibatkan kekuatan jin atau sihir, jelas merupakan perbuatan yang dilarang dalam agama. Sihir merupakan bentuk dari kekufuran sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah ayat 102 “… hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia …”

Mengerjakan sihir termasuk dosa besar. Begitu pula mempercayai dukun, baik yang menggunakan trik sulap maupun yang menggunakan sihir, termasuk perbuatan syirik, sebab mempercayai adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah. Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan (dosa besar): menyekutukan Allah, dan sihir…” (HR Muslim). Naudzubillah.

Bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, semestinya kehidupannya hanya bergantung dan berharap kepada Allah saja. Sementara dalil yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan hadis, seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menghalangi seseorang dari mendatangi dukun. Namun keyataannya, masih banyak masyarakat yang mendatangi dukun untuk meyelesaikan problem kehidupannya. Baik itu persoalan yang terkait finansial, kesehatan, atau pasangan. Mengapa demikian?

Akar masalah dari perdukunan adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, seorang muslim tidak lagi menjadikan hukum syariat sebagai rujukan atas solusi permasalahannya. Di sisi lain, para dukun menggunakan asas manfaat untuk meraih sebanyak-banyaknya materi, tanpa memandang halal haram, sehingga akhirnya menipu pun dilakukan. Bahkan, ada yang lebih jahat dari itu.

Larinya seseorang kepada dukun biasanya dilatarbelakangi oleh keputusasaan seolah-olah tidak ada jalan keluar lain, selain meminta tolong kepada dukun. Padahal, undang-undang terkait perdukunan sudah ada, bahkan sedang digodok pula RUU yg baru tentang itu.
Sebagaimana yang diatur dalam pasal 252, dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUP), ayat (1) setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Akan tetapi, undang-undang tersebut ternyata mandul dan tidak memberikan efek yang signifikan. Buktinya, praktik perdukunan tetap marak. Jikalau ada penindakan, hanya terbatas pada praktik dukun dan syirik yang meresahkan warga. Jika tidak ada yang melaporkan, dibiarkan. Tidak ada tindakan apapun.

Hal ini tentu berbeda dengan kondisi negara yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupannya. Negara Islam adalah institusi pelaksana syariat Islam, sementara Islam akan tegak dengan kokoh di atas akidah yang terjaga. Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban untuk menanamkan akidah yang kuat dalam diri umat dan menjaganya agar tetap lurus. Dengan demikian, negara seharusnya melarang praktik perdukunan dan kesyirikan, menutup semua celah yang mengantarkan kepadanya, dan menindak dengan tegas para pelakunya, sekalipun tidak ada aduan atau merugikan pihak lain, baik secara materi maupun non materi.

Demikian lah seharusnya negara itu bekerja. Negara adalah hakim yang adil di atas hukum syariat yang berasal dari Allah, Tuhan semesta alam. Buah penerapan Islam adalah keadilan dan kesejahteraan. Tidak seperti di negeri seterah yang justru memberikan ruang bagi para dukun dan menguatkannya dengan berbekal sertifikat.

Sungguh aneh, pesulap merah yang membongkar kedok dukun yang menipu masyarakat, sekarang malah dilaporkan karena aksinya itu dianggap meresahkan para dukun. Demikian lah kisah pesulap merah di negeri seterah. Sangat membingungkan.

Walaahu’alam bish-showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 29

Comment here