wacana-edukasi.com, Opini-– Tiga dari lima rangkaian debat calon presiden dan calon wakil presiden di Pilpres 2024 telah dilaksanakan. Isi dalam debat tersebut disebut sebagai panduan bagi rakyat untuk memilih yang terbaik pada 14 Februari 2024 mendatang. Tema debat beragam, dimulai dari Hukum, HAM, Pemerintahan, Antikorupsi, Penguatan Demokrasi, Ekonomi, Pertahanan hingga Politik Luar Negri. Seperti halnya sedang adu tinju, ketiga capres dan cawapres saling pukul. Di antara mereka ada yang asal memukul, ada yang menyerang dengan penuh perhitungan, ada pula yang lebih banyak memilih bertahan.
Tak hanya capres dan cawapres yang beradu argumen di tiap debat, masyarakatpun turut serta meramaikan debat di lingkungannya dan di sosial media. Debat Capres, Debat Cawapres, dan berbagai julukan capres selalu trending di platform X selama debat berlangsung dan hari-hari setelahnya. Begitu juga banyak klip berbentuk video berseliweran di Tiktok dan Instagram.
Tujuan diadakannya debat pasangan capres dan cawapres dikatakan untuk menyebarluaskan profil, visi dan misi, dan program para pasangan capres dan cawapres kepada para calon pemilih. Memberikan informasi secara menyeluruh kepada pemilih sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan pilihannya. Debat ini juga dipercaya mampu menggaet swing voters.
Kampanye Penuh Tipuan
Debat yang terjadi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pada kampanye pemilu. Seperti yang kita tahu, masa kampanye adalah masa dimana para kontestan pemilu bertarung untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Mereka mempromosikan visi, misi, dan program kerjanya jika terpilih. Aneka janji politik akan ditebar, seperti kesejahteraan, lapangan kerja, subsidi, penurunan harga bahan pokok, bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, dll. Pencitraan pun dilakukan, dimulai dari capres bersahaja, cerdas, abah online sampai citra gemoy-pun diembat.
Tidak hanya pencitraan diri sendiri, kampanye acap kali berisi “serangan” terhadap kekurangan calon lain yang menjadi pesaing. Berbagai klip dengan narasi ajakan untuk membenci paslon pesaing berseliweran dimedia sosial, kata-kata Endasmu Etik, Omon-omon, All In-, bertebaran dimana-mana. Bahkan kita lihat kampanye hitampun dihembuskan, yaitu fitnah terhadap kandidat yang lain. Oleh karenanya, pada masa kampanye sering terjadi perselisihan dan konflik antara pendukung satu paslon dengan pendukung paslon yang lain.
Tingginya potensi konflik dalam setiap pemilu berlangsung menguatkan kesimpulan bahwa sistem pemilu dalam demokrasi penuh dengan intrik dan kebohongan atas nama kepentingan. Pada masa ini, para paslon akan menebar janji-janji manis yang membius rakyat. Selain itu, para paslon tidak segan-segan menyampaikan fitnah dan kata-kata kasar kepada lawan politiknya. Akan tetapi, melihat tingkah polah para politisi yang seperti ini, masyarakat masih menaruh harapan dan mau memilih para politisi yang bermanis muka dengan pencitraan, padahal mereka tahu bahwa janji-janji kampanye itu tidak akan terealisasi, kecuali sangat sedikit. Siklus kebohongan dalam kampanye ini selalu terjadi setiap pemilu berlangsung, karena pemilu terjadi di sistem demokrasi yang sekuler sehingga menghalalkan segala cara yang haram demi meraih kekuasaan yang diinginkan.
Pemimpin dalam Sistem Islam
Tidak bisa dibantah, kekuasaan sangatlah penting. Kekuasaan merupakan otoritas yang membuat seseorang, lembaga, atau negara yang bisa melaksanakan dan mengatur urusan rakyatnya. Karena itu, politik dengan makna pengaturan urusan-urusan rakyat tentu sangat membutuhkan kekuasaan. Pentingnya kekuasaan ini dapat kita lihat dalam Al-Quran surat Al Isra : 80, “Katakanlah Muhammad : Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”. Terkait ayat ini, Qatadah, seperti yang ditulis dalam Tafsir Ibnu Katsir mengatakan
“Sesungguhnya Nabi meyadari bahwa dia tidak memiliki kekuatan untuk mengemban tugas (dakwah) ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itu, Rasulullah memohon kekuasaan yang menolong kepada Allah, untuk membela Kitabullah, batasan-batasan Allah, hal-hal yang difardukan dan untuk menegakan agama Allah. Sesungguhnya kekuasaan itu adalah Rahmat yang diberikan kepada hamba-hambanya.
Politik islam harus mengarah pada lahirnya pemimpin yang baik. Siapa pemimpin yang baik? Tidak lain adalah mereka yang hanya mau taat kepada Allah dan Rasul-Nya., juga mau menerapkan islam kaffah. Tetapi tidak cukup orangnya saja yang baik, politik islam juga membutuhkan sistem yang baik. Sistem yang baik adalah sistem yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Dalam tataran yang konkret, sistem ini termanifestasikan dalam Khilafah Islamiyah.
Dengan demikian, wujud politik islam tergambar dalam sistem pemerintahan Khilafah dan divisiualisasikan dalam kebijakan pemimpinnya, yang berdasarkan kepada syariat Islam. Dari penuturan ini, terdapat dua kunci dalam memilih pemimpin. Maka tidak cukup untuk memilih pemimpin dari paslon yang ada, hanya karena merasa paslon tersebut punya kapabilitas dalam memimpin, katanya amanah dan didukung oleh partai yang katanya partai islam. Jika pasangan calon tersebut tidak mau taat dan menerapkan syariat, serta dipilih bukan dalam sistem khilafah, maka tentu dia tidak akan ada bedanya dengan pemimpin-pemimpin rusak sebelumnya.
Politik Islam terbukti telah melahirkan pemimpin-pemimpin besar dengan profil luar biasa, tanpa pencitraan. Pemimpin dalam islam sadar betul definisi politik adalah pengurusan urusan umat. Pemahaman islam inilah yang mendorong Khalifah Umar bin Khaththab memanggul karung berisi gandum untuk memenuhi kebutuhan seorang ibu dan anaknya. Pemahaman ini pula yang membuat sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis terisak-isak dan mengucapkan kalimat, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun. Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikit pun, baik dengan sembunyi-sembunyi, maupun dengan terang-terangan”. Mendengar perkataan itu, istrinya bergumam, “Wahai suamiku, mengapa engkau menangis seperti itu?” Umar pun menjawab, “Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi khalifah untuk memimpin urusan umat Nabi Muhammad ﷺ.”
Sang khalifah lalu berkata kepada istri dan anaknya, “Aku termenung dan terpaku memikirkan nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan dan tidak mendapat perhatian dari pemimpinnya. Aku juga memikirkan orang-orang sakit yang tidak mendapati obat yang memadai. Hal yang sama terpikir olehku tentang orang-orang yang tidak mampu membeli pakaian, orang-orang yang selama ini dizalimi dan tidak ada yang membela, mereka yang mempunyai keluarga yang ramai dan hanya memiliki sedikit harta, orang-orang tua yang tidak berdaya, orang-orang yang menderita dipelosok negeri ini, dan lain sebagainya. Aku sadar dan memahami sepenuh hati, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan meminta pertanggungjawaban dariku, sebab hal ini adalah amanah yang terpikul di pundakku. Namun, aku bimbang dan ragu, apakah aku mampu dan sanggup memberikan bukti kepada Allah bahwa aku telah melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar sesuai tuntunan Tuhanku? Atas dasar itulah, wahai istri dan anakku, yang membuat aku menangis.” Khalifah Umar kemudian membacakan QS Yunus: 15, “Sesungguhnya aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku.”
Dalam kitab Struktur Negara Khilafah, Ust. Taqiyuddin An-Nabhani menuliskan syarat-syarat yang menentukan sah dan tidaknya akad Khilafah (Imâmah), yang kemudian disebut Syurûth al-In’iqâd. Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi, maka akad Khilafah tersebut dinyatakan tidak sah. Ketujuh syarat itu adalah, harus Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu melaksanakan amanat khilafah. Ketujuh syarat ini adalah syarat yang sama, sebagaimana yang dinyatakan, baik oleh Imam al-Mawardi maupun an-Nawawi. Selain itu, mengenai syarat-syarat lain, seperti harus mujtahid, pemberani dan dari suku Quraisy, maka kalau semuanya tadi dinyatakan oleh dalil, statusnya hanya merupakan Syurûth Afdhaliyyah (syarat keutamaan).
Beginilah seharusnya kriteria pemimpin dalam islam, yang tidak akan pernah bisa di capai dalam sistem demokrasi. Sebab, sistem demokrasi sekuler selalu akan melahirkan politik yang pragmatis, bukan idealis apalagi ideologis. Pragmatisme politik ini tidak dapat dihindari, Pasalnya, semua keputusan politik dalam sistem demokrasi ini adalah hasil kompromi berbagai kepentingan para elit politik.
Pemilihan dalam Sistem Islam
Pemilihan penguasa dalam sistem Islam sungguh berbeda dengan apa yang terjadi saat ini. Di dalam Islam, jabatan disadari sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Pemimpin dalam islam sadar mereka akan ditanya tentang amanah kepemimpinan yang ada padanya. Islam melarang seorang pemimpin mengkhianati amanah yang dia emban. Allah Swt. berfirman“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 27).
Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan para pemimpin yang amanah, karena Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang terbaik. Pemilihan Khilafah yang dibatasi selama tiga hari tiga malam dan tidak adanya batasan waktu jabatan membuat tidak adanya waktu untuk membangun fitnah dan kebencian kepada lawan politiknya, berbeda dengan sekarang dimana manuver politik sudah direncanakan selama lima tahun kedepan. Asas pemilihan pemimpin dalam Islam adalah akidah Islam. Akidah ini akan menuntun perilaku politik para politisi sehingga sesuai syariat, sekaligus menuntun perilaku masyarakat di dalamnya untuk tidak saling menjatuhkan hanya karena berbeda pilihan. Dengan adanya asas akidah Islam, pelaksanaan pemilihan pemimpin akan berjalan lancar dan penuh dengan kebaikan. Tidak ada konflik maupun perpecahan antarpendukung calon penguasa. Dengan demikian, pemilihan pemimpin dalam Islam akan mewujudkan keberkahan, yaitu bertambahnya kebaikan bagi umat. Wallahualam bissawab.
Views: 2
Comment here