Oleh: Vikhabie Yolanda Muslim
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kebijakan pelarangan pengecer menjual LPG 3 kg yang diberlakukan Kementerian ESDM pada 1 Februari 2025 lalu, tampaknya terus menuai polemik di tengah masyarakat. Menurut pemerintah, kebijakan tersebut bertujuan untuk memastikan distribusi LPG lebih tertata dan tepat sasaran. Namun kini efeknya justru memicu kepanikan di tengah masyarakat, hingga membuat mereka mengantri panjang berjam-jam di pangkalan resmi demi mendapatkan LPG 3 kg. Kondisi ini nyatanya membawa duka setelah seorang ibu di Pamulang Barat, Kota Tangerang Selatan yang memiliki usaha menjual nasi uduk ditemukan meninggal dunia usai antre membeli gas LPG 3 kg selama 2 jam di bawah terik matahari (detik.com, 04/02/2025).
Faktanya, bahwa kebijakan larangan penjualan gas LPG 3 kg secara eceran ini, tidak hanya menyusahkan konsumen tetapi juga mematikan pengusaha kecil. Bahkan pedagang eceran pun ikut menjerit akibat tidak lagi bisa berjualan gas melon. Mereka diharuskan memiliki izin sebagai pangkalan jika ingin tetap menjual gas LPG 3 kg. Sementara biaya yang diperlukan untuk menjadi pangkalan juga terbilang cukup besar. Hal yang tentunya cukup sulit dipenuhi oleh pedagang kecil.
Setelah mendapatkan protes dari masyarakat terkait sulitnya mendapat gas LPG 3 kg, DPR dan pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengaktifkan kembali pengecer LPG 3 kg per Selasa 4 Februari 2025 lalu. Meski demikian, kelangkaan gas tampaknya masih terus berlangsung di berbagai daerah (tempo.co, 04/02/2025).
Perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon, adalah fakta pahit yang lagi-lagi kita saksikan dalam sistem kapitalisme ini. Kebijakan ini tentu bukan hanya terkait dengan pergantian menteri dan pejabat, tetapi sebuah konsekuensi atas sistem ekonomi kapitalisme yang dipilih negeri ini sebagai landasan perekonomian.
Karena pada hakikatnya, salah satu sifat sistem ini ialah hanya memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Sistem ini juga menimbulkan adanya liberalisasi migas yang memberi jalan bagi korporasi mengelola sumber daya alam berlimpah yang padahal seharusnya milik rakyat. Sehingga, meski negeri ini memiliki kekayaan minyak dan gas bumi yang luar biasa besar, namun akibat tata kelola kapitalisme, rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dengan murah bahkan gratis. Sebab negara harus melegalkan pengelolaannya dari aspek produksi hingga distribusi, dengan orientasi bisnis. Oleh karena itu sudah menjadi rahasia umum, bahwa perubahan kebijakan apapun yang ditempuh pemerintah, pada ujungnya tidak akan memudahkan rakyat memperoleh haknya terhadap migas, yang harusnya merupakan harta milik rakyat.
Bukan hanya itu, kepemimpinan sekuler yang diadopsi negeri ini, telah menjadikan negara lepas tanggung jawab dalam menjamin pemenuhan kebutuhan asasi rakyatnya, hingga menyebabkan berbagai kisruh dan konflik mucul hingga membuat hati teriris. Kepemimpinan ini juga telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus umat (raa’in). Faktanya, penguasa hanya bertindak sebagai pembuat regulasi untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu (pemilik modal), meski rakyat yang harus dikorbankan.
Dibandingkan dengan sistem kapitalisme yang sudah jelas banyak cacatnya, maka tidak demikian dengan sistem pengelolaan sumber daya di dalam sistem Islam. Berbeda dengan pengelolaan migas di bawah penerapan sistem ekonomi Islam, Islam menetapkan dengan tegas bahwa migas termasuk dalam kepemilikan umum (harta milik rakyat). Rasulullah bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Perserikatan dalam hadis ini bermakna perserikatan dalam pemanfaatan. Artinya, semua rakyat boleh memanfaatkannya. Kemudian pada saat yang sama, harta-harta yang termasuk dalam ketiganya tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja seperti korporasi, lalu sebagian yang lain dihalangi atau dilarang. Lantas artinya, dalam hadis tersebut ada izin dari pemilik semesta, Allah subhanahu wa ta’ala kepada semua orang secara berserikat untuk memanfaatkan jenis harta itu.
Minyak dan gas bumi merupakan jenis harta yang masuk dalam kategori api sebagai sumber energi yang dibutuhkan oleh semua orang. Oleh karena itu, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini kepada perorangan atau perusahaan sebagaimana dalam sistem ekonomi kapitalisme. Islam juga telah mewajibkan negara sebagai wakil rakyat untuk mengelola sumber daya migas tersebut. Yang mana hasilnya harus dikembalikan atau didistribusikan kembali untuk kepentingan rakyat.
Terlebih dalam Islam, negara sudah jelas memiliki posisi sebagai pengurus rakyat (raa’in). Maka siapapun penguasa yang menjabat, maka hukum Islam inilah yang diterapkan, bukan yang lain. Sehingga, kebijakan-kebijakan ekonominya justru memudahkan rakyat mengakses berbagai kebutuhannya, termasuk migas. Dal hal pendistribusian, kepala negara berhak membagikan minyak dan gas bumi kepada yang memerlukannya, untuk digunakan secara khusus di rumah dan pasar-pasar secara gratis.
Di sisi lain, penguasa negara boleh menjual harta milik umum ini kepada rakyat, namun dengan syarat harga yang semurah-murahnya. Negara tidak melarang pengecer yang ikut untuk mendistribusikan migas ini ke masyarakat. Karena justru negara sangat terbantu untuk menjamin pendistribusiannya hingga ke wilayah pelosok. Dengan demikian, hanya pengelolaan sumber daya migas dalam Islam lah yang mampu menjamin dan memudahkan seluruh rakyat dalam mengaksesnya tanpa menimbulkan korban jiwa.
Views: 2
Comment here