Kasus korupsi di tengah hilirisasi ini memperlihatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam saat ini pasti tidak akan pernah lepas dari kongkalikong antara pengusaha dan penguasa.
Oleh : Nur Octafian NL. S.Tr. Gz.
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara mengungkap ada 157 hektar kawasan hutan di konsesi nikel PT Antam (PT Aneka Tambang). Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Telah ditambang tanpa izin.
Penambangan itu diketahui dan disetujui petinggi perusahaan negara tersebut. Meski telah ada empat tersangka, kasus ini diduga kuat melibatkan banyak pihak lain.
Salah satu diantaranya adalah mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin atau RJ. Selain RJ Sub-Koordinator Rencana Kerja dan Biaya (RKAB) Kementerian ESDM berinisial HJ sebagai tersangka. CNBC Indonesia (10/08/2023)
Selain dari kalangan pemerintah ada juga dari luar salah satunya General Manager (GM) PT Antam Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UBPN) Konawe Utara (Konut) inisial HW.
Berdasarkan dokumen rencana anggaran biaya pembebasan lahan yang boleh dikelola semestinya hanya 22 hektar. Kuota yang diberikan memang kecil karena ribuan hektar lahan lainnya merupakan kawasan hutan, sehingga untuk menambang di kawasan tersebut memerlukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH. Namun perusahaan itu justru menggarap hingga 157 hektar lahan, termasuk kawasan hutan.
Tak hanya itu. Hasil pertambangan dikawasan hutan itupun juga ternyata dijual secara ilegal ke smelter-smelter di morosi dan Morowali. Padahal, berdasarkan perjanjian Kerja Sama Operasi (KSO), ore nikel hasil pertambangan semestinya diserahkan ke PT Antam, namun dari puluhan perusahaan kontraktor yang dikoordinasikan oleh PT Lawu Agung, hanya 3 perusahaan yang menyerahkan hasil tambangnya ke antam. PT Lawu Agung disebut menggunakan modus “dokumen terbang”.
Artinya, hasil tambang dijual seolah berasal dari perusahaan lain, bukan dari Antam. PT Lawu Agung memanfaatkan dokumen RKAB dari sejumlah perusahaan, untuk membuat penjualan nikel itu terkesan legal. Sehingga hasil pertambangan yang semestinya jadi pendapatan negara, dinikmati oleh pihak-pihak kapital.
Kasus korupsi ditengah hilirisasi ini memperlihatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam saat ini pasti tidak akan pernah lepas dari kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Adanya penyalahgunaan jabatan dan wewenang, serta usaha memperkaya diri, sebenarnya lazim dalam sistem Kapitalisme yang dianut negeri ini, sebab kebebasan kepemilikan merupakan bagian dari sistem tersebut, maka pengelolaan sumber daya alam pasti akan berbasis investasi dan pengelola penuh adalah para Kapital dengan industrinya.
Negara dalam sistem
Kapitalisme hanya berperan sebagai regulator yang hanya memfasilitasi korporasi dengan rakyat. Makin diperparah lagi dengan adanya kasus korupsi dari kalangan pemerintah yang menjadi bagian dari pelanggaran SOP pengelolaan tambang yang di lakukan oleh para korporasi.
Oleh sebab itu program hilirisasi sumber daya alam, yang diklaim pemerintah membela rakyat sebab dapat meningkatkan kesejahteraan, buktinya hanya omong kosong belaka.
Karena pada faktanya yang memegang kontrol smelter hilirisasi sumber daya alam tetap pada para kapital.
Jika kita cermati sebenarnya nilai tambah ekonomi hanya merujuk pada penyerapan tenaga lokal saja. Padahal sebenarnya rakyat yang seharusnya bisa menikmati secara utuh kekayaan sumber daya alam tersebut, namun sayang rakyat hanya bisa menikmati secuil dari SDA yang melimpah ruah, inilah pangkal dari penerapan kapitalisme.
Pengelolaan SDA yang Tepat dan Mensejahterakan Rakyat
Berbeda dengan pengelolaan sumber daya alam dalam paradigma pengelolaan dibawah sistem Islam. Individu tidak boleh memprivatisasi harta benda yang terkategori kepemilikan umum sebagaimana sabda Rasulullah SAW. “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu Padang rumput, air dan api” [HR. Abu dawud dan Ahmad].
Adapun harta yang terkategori kepemilikan umum terbagi menjadi tiga jenis yaitu barang kebutuhan umum, barang tambang yang besar dan sumber daya alam. Tiga kategori tersebut, negara haram menjualnya pada asing karena itu semua adalah harta umat.
Jikalaupun harus bekerja sama dengan swasta, hubungan ini tidak lebih dari akad ijarah atau “sewa jasa”.
Sebab negara Islam hanya akan memberikan dua opsi kepada asing atau swasta, mengusir mereka pergi ataukah mereka menjadi buruh di dalam negara Islam yang bertugas untuk mengoperasikan peralatan tambang.
Sebab negaralah yang berhak mengelola sumber daya alam sendiri, sehingga mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, hingga distribusi negaralah yang wajib mengatur, kemudian hasilnya diserahkan kepada umat secara langsung ataupun tidak langsung.
Secara langsung yaitu pemimpin dapat memberikan subsidi berupa kebutuhan energi, bahan bakar dan sejenisnya kepada rakyat dengan harga terjangkau bahkan gratis.
Secara tidak langsung pemimpin akan membiayai semua kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, maupun fasilitas publik seperti infrastruktur.
Seperti inilah negara Islam memposisikan sektor sumber daya alam sebagai sumber pemasukan negara yang kemudian dimasukkan kedalam pos kepemilikan umum.
Maka kekayaan tambang yang ada, seperti di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Sudah pasti akan dikelola mandiri oleh negara. Sebagai pemasukan negara yang kokoh dan stabil sebagaimana yang ditentukan oleh syariat.
Wallahu a’lam Bishowab[]
Views: 9
Comment here