Afifah, S.Pd. (Pemerhati Sosial)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Pilkada serentak akan dilaksanakan pada bulan Nopember 2024. Anggaran pilkada serentak ini ditaksir lebih dari Rp 41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri. Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat.
Namun, ada banyak kekisruhan mewarnai proses pilkada di berbagai daerah di negeri kita. Di antara kisruh tersebut ada bahaya besar yang selalu mengintai pemilu/pilkada. Bahaya itu adalah suap menyuap atau lebih dikenal dengan politik uang. Di samping adanya bahaya praktek suap , juga ada mobilisasi kades untuk memilih paslon tertentu, dan ada janji masuk surga, dll.
Contoh nyata, pada pilkada Jawa Tengah 2024 ternodai dengan munculnya dugaan mobilisasi kepala desa (kades) untuk memenangkan salah satu kandidat. Mirisnya, praktik kotor semacam ini terjadi secara massif dalam beberapa pekan terakhir.
Para kades yang hadir membubarkan diri saat digerebek tim Bawaslu Kota Semarang. Bawaslu memperkirakan terdapat 90-an kades yang mengikuti pertemuan, mereka merupakan delegasi dari kabupaten/kota di Jawa Tengah. Pada hari Kamis (17/10/2024), juga terdapat kurang lebih 200 kades dari Kabupaten Kendal yang menggelar pertemuan serupa di Graha Padma, kawasan perumahan elite di Kota Semarang.
Rakyat menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya hanya menguntungkan kepentingan elit tertentu/ oligarki. Padahal biaya yang digunakan adalah uang rakyat, dan rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tsb Di balik kisruh pilkada tersebut berpotensi membuat kehidupan rakyat terpecah belah, konflik horizontal, bahkan tidak terwujud kesejahteraan bagi masyarakat.
Hal tersebut adalah wajah buruk dari sistem demokrasi yang batil yang berasaskan ideologi sekulerisme. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan termasuk menjauhkan peran agama dari pemerintahan. Sistem ini menafikan peran syariat Islam (halal-haram) dalam politik/pemerintahan. Karenanya sistem ini terbukti telah gagal melahirkan sistem pemilihan yang adil, pejabat shaleh dan bertakwa.
Pejabat yang bersaing dalam pemilu/pilkada pada sistem demokrasi ini menjadikan orientasi jabatan adalah kekuasaan untuk meraih materi semata bukan untuk mengurusi dan melayani rakyat. Cara apapun dilakukan asalkan berpeluang menang meski menyalahgunakan jabatan dan melakukan money politik/suap. Para pejabat lebih berorientasi untuk mempertahankan kursi /jabatan untuk mengembalikan biaya politik karena cost (biaya) politik untuk menjadi pejabat dalam sistem demokrasi sangat mahal ditambah lagi uang untuk money politik. Hal ini menyuburkan praktik tindak korupsi/risywah.
Kondisi di atas tidak akan terjadi jika negeri ini mau menerapkan sistem hidup sesuai dengan aturan Islam. Islam mempunyai solusi hakiki secara tuntas bisa mengatasi seluruh persoalan hidup manusia termasuk persoalan kisruh pemilu/pilkada.
Islam menjadikan akidah sebagai landasan dalam setiap aktivitas, termasuk dalam berpolitik/mengurus pemerintahan. Islam juga memiliki sistem yang komprehensif dalam pencegahan tindakan kriminal termasuk penyalahgunaan jabatan dan risywah (suap menyuap).
Disamping itu, kesadaran ruhiah yang lahir dari keimanan yang kuat ketika menjalankan hukum-hukum Islam, dan budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat menjadi penguat upaya mencegah dari berbagai tindakan kriminal yang merugikan rakyat.
Dalam Islam tindakan kuratif, pemberantasan tindak pidana suap menyuap dilakukan dengan jalan negara khilafah memberlakukan sistem sanksi (uqubat) dengan menerapkan seperangkat hukuman pidana yang keras dan tegas tanpa pandang bulu. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku penyalahgunaan jabatan dan suap menyuap/korupsi dan pencegah bagi calon pelaku, Sistem sanksi yang berupa ta’zir yang didasarkan pada hasil ijtihad khalifah/qodli.
Pelaku penyalahgunaan jabatan dan tindak suap menyuap dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, atau bisa dengan ditayangkan di televisi seperti yang dilakukan sekarang), penyitaan harta dan hukuman penjara, bahkan sampai hukuman mati.
Sistem sanksi dalam Islam ini berfungsi sebagai pencegah (zawajir) sekaligus penebus dosa (jawabir) bagi para pelaku. sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem demokrasi sekuler yang diterapkan sekarang.
Inilah strategi Islam dalam pemberantasan penyalahgunaan jabatan dan suap menyuap. Ini memang harus diterapkan secara menyeluruh, tidak bisa dijalankan secara sebagian saja. Semua ini tidak mungkin terwujud kecuali dengan penerapan sistem Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan penerapan Islam kaffah persoalan penyalahgunaan jabatan dan suap menyuap akan berhasil diatasi dengan tuntas.
Lebih dari itu, sistem Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya karena kepala daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan penunjukan Khalifah sesuai dengan kebutuhan Khalifah. Hal ini karena posisi mereka sebagai pembantu Khalifah
Khalifah akan memilih individu yang amanah, berintegritas dan memiliki kapabilitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan menerapkan hukum syariat, maka rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam
Views: 14
Comment here