Oleh Siti Alfina, S.Pd. (Aktivis Muslimah)
Munculnya disintegrasi menandakan bahwa ada permasalahan dalam persatuan yang terjadi. Persatuan itu seharusnya dimanapun dan kapanpun ada titik yang menyatukan, jika tidak maka persatuan pasti akan lenyap.
Wacana-edukasi.com — Sepekan yang lalu masyarakat disuguhi berita yang menyesakkan dada. Ancaman teror terulang kembali di provinsi paling timur Indonesia yakni Papua.
Sebanyak delapan dari sembilan orang tewas ditembak mati oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Boega, Kabupaten Puncak, Papua pada Rabu, 2 Maret 2022. Sementara satu orang yang melarikan diri telah berhasil diselamatkan setelah meminta bantuan melalui rekaman CCTV tower di sana.
Mereka adalah pekerja PT. Palapa Timur Telematika (PTT), pemenang tender proyek Palapa Ring ketika memperbaiki Tower Base Transceiver Station (BTS) 3 Telkomsel yang lokasinya berada di ketinggian (Regional.kompas.com, 6/3/2022).
Aksi brutal yang dilancarkan KKB bukan kali ini saja terjadi. Tercatat sudah banyak kasus serupa berulang, seperti pada tahun 2018 penembakan terhadap 31 orang pekerja pembangunan jalan Trans Papua. Selain itu pada Desember 2018 juga pernah mengeksekusi mati 20 warga di distrik Yigi, Nduga, Papua.
Sementara dari tahun 2019 sampai 2021 penyerangan masif semakin meningkat yang dilakukan terhadap petugas medis, satgas covid, guru, tukang ojek, warga sipil serta aparat TNI-Polri. Korban berjatuhan pun tak terkira, baik luka-luka ataupun meninggal dunia.
Motif penyerangan yang dilakukan beragam, ada karena sebab tertentu dan tidak sedikit juga tanpa sebab. Sejatinya gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin menunjukkan jati dirinya. Kerusuhan yang diakibatkannya kerap kali menimbulkan teror bagi warga dengan membakar gedung dan merusak fasilitas umum.
Mengamati kaleidoskop aksi kekerasan dan brutal yang terus berulang oleh KKB ini dikutuk keras Hasto Atmojo Suroyo selaku Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena telah memakan banyak korban jiwa. Beliau juga mendesak pemerintah untuk menyatakan bahwa aksi KKB di Papua sebagai bentuk tindak pidana terorisme karena telah nyata menebar teror berupa rasa takut dan mengganggu keamanan masyarakat Papua (daerah.sindonews.com, 5/5/2022).
Aksi Beringas Harus Ditindak Tegas
Berbeda pandangan yang diutarakan dari Komnas HAM untuk strategi jangka panjang guna menghentikan kekerasan di Papua, solusi yang ditawarkan malah dengan pendekatan yang lunak yaitu menggelar duduk bersama untuk berdialog dan berkomunikasi antara semua pemangku kepentingan dan KKB di Papua.
Jelas saja sikap lunak seperti ini semakin mengherankan dan membingungkan. Tidak pantaskah jika korban kekerasan di sana merupakan isu pelanggaran HAM terberat. Seharusnya sikap yang benar-benar tegas dikerahkan untuk menuntas habis kelompok kriminal separatis Papua yang semakin beringas. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan yang lebih manusiawi atas kebrutalan yang melakukan tindakan represif seperti itu.
Padahal bila dilihat dari UU Terorisme, aksi yang dilakukan OPM harusnya masuk kategori terorisme karena telah jelas menganggu keamanan publik dan bermotif politik, yakni separatisme.
Menurut KBBI, separatisme bermakna paham atau gerakan untuk memisahkan diri (mendirikan negara sendiri) dan pelakunya disebut separatis. Atas paham seperti ini maka akan terjadi disintegrasi suatu bangsa di mana akan menyebabkan keadaan tidak bersatu padu, terpecah belah serta hilangnya keutuhan atau persatuan.
OPM dengan KKB-nya merupakan gerakan separatisme yang mengancam integrasi bagi NKRI. Persoalan disintegrasi merupakan masalah yang sangat serius, sehingga pemerintah dengan kekuatan aparat keamanannya harus segera mengambil tindakan secara cepat dan tepat. Bukan malah menyibukkan diri dengan perkara lain yang remeh temeh, seperti melabeli penceramah radikal. Jelas sekali sikap seperti ini terkesan sangat lamban, cenderung cuek, tidak peduli bahkan lebih menunjukkan ketidakberdayaan dalam menanganinya.
Akar Persoalan Disintegrasi
Munculnya disintegrasi menandakan bahwa ada permasalahan dalam persatuan yang terjadi. Persatuan itu seharusnya dimanapun dan kapanpun ada titik yang menyatukan, jika tidak maka persatuan pasti akan lenyap.
Penyebab disintegrasi bukan hanya faktor tunggal, tetapi kombinasi dari banyak faktor. Nah, persoalan Papua ini memang sangat kompleks, mulai dari persepsi rasialisme, ikatan nasionalisme, ketidakadilan dan ketidaksejahteraan, adanya intervensi asing bahkan oligarki politik.
Perdebatan rasisme dan tindakan rasialisme terus menjadi alat diskriminasi yang ditujukan kepada rakyat Papua. Ikatan nasionalisme yang harusnya sebagai pemersatu bangsa justru menjadi pemicu konflik pemecah belah bangsa. Ini menunjukkan ikatan nasionalisme lemah dan rapuh. Kondisi ini dipendam rakyat Papua bertahun-tahun lamanya karena mereka merasa sebagai bangsa yang berbeda.
Ketidakadilan juga bisa menjadi penyebab perpecahan. Ketidakadilan yang dirasakan rakyat Papua cukup kompleks terjadi dalam hukum, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Apalagi jika ketidakadilan dibarengi dengan ketidaksejahteraan, maka kemiskinan dan keterbelakangan akan terus mengancam sehingga cikal bakal disintegrasi akan tumbuh sangat subur.
Selain itu, Papua merupakan daerah yang kaya sumber daya alam (SDA), sudah tentu menjadi rebutan berbagai pihak termasuk bangsa-bangsa asing yang punya ambisi mengejar kepentingan di sana. Dalam sejarah yang panjang, pengaruh Amerika terhadap Papua sangat tinggi. Jadi, bukan hal mustahil jika saat ini pihak asing terlibat pada isu disintegrasi Papua.
Kemudian dari segi oligarki politik, dimana sangat disayangkan pihak-pihak yang sedang berkuasa seringkali tidak berpihak kepada rakyat. Setiap kebijakan selalu bernafsu untuk menyejahterakan diri sendiri bukan rakyat. Ini berlaku di setiap daerah bukan hanya di Papua. Dengan demikian rakyat jadi muak. Jika semua masyarakat pada suatu daerah muak, maka salah satu ekspresi kemuakkannya adalah keinginan untuk disintegrasi.
Semua perkara ini muncul karena ideologi kapitalisme yang dipakai dalam mengatur kehidupan saat ini. Sistem yang nyata-nyata telah banyak menimbulkan kesengsaraan dan kerusakan.
Solusi Islam untuk Papua
Ideologi Islam yang datang dari Tuhan pencipta alam telah terbukti shahih keberadaannya. Saat Islam diterapkan, keadilan dan kesejahteraan akan terealisasi karena kekayaan SDA akan dikelola langsung oleh negara tanpa pengaruh asing. Tidak akan ada cerita ‘hidup miskin di negeri kaya’.
Para pemimpin dalam Islam juga akan sekuat tenaga bekerja untuk mengurus rakyatnya. Orientasi pemimpin dalam Islam hanya meraih rida Allah. Sebab mereka memahami bahwa kekuasaannya kelak akan dimintai pertanggung jawaban.
Isu rasialisme akan dibuang jauh dalam Islam. Semua manusia hakikatnya sama di hadapan Allah, hanya ketakwaan saja yang menjadi pembedanya. Sementara dalam ikatan pemersatu umat, hanyalah ikatan berdasarkan akidah Islam. Sehingga mau berbeda bangsa, bahasa, suku, ras dan adat istiadat selama Islam menjadi ideologi umat maka selama itu umat bersatu.
Walhasil, dengan Islam Insya Allah, berbagai daerah tidak akan ada niat apalagi bertindak disintegrasi. Yang terjadi, berbagai daerah yang belum menjadi bagiannya justru akan berintegrasi, bukan disintegrasi.
Hal ini bisa terwujud jika negara benar-benar berdaulat, mandiri dan tidak bergantung pada asing. Itulah disebut negara ihilafah islamiyah. Jadi, umat harus menjadi garda terdepan menolak berbagai upaya disintegrasi. Sebab disintegrasi itu menyebabkan negeri kaum Muslim terkoyak lemah tak berdaya.
Wallohualam Bishowab
Views: 19
Comment here