Opini

Klaim Keberhasilan Co-Firing, Menguntungkan Umat atau Korporat?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Linggar Esty Hardini, S.Geo

(Aktivis Muslimah DIY)

wacana-edukasi.com– Upaya dalam mengurangi pencemaran udara emisi terus dilakukan. Pada tahun 2020 mulai dikembangkan teknologi co-firing yang diklaim sebagai cara yang efektif. Bukan hanya karena diklaim dapat menurunkan pencemaran udara emisi tetapi juga sebagai solusi masalah pengelolaan sampah/limbah yang semakin hari semakin menggunung. PT PLN (Persero) mengklaim berhasil mengimplementasikan teknologi co-firing sejak 2020 hingga Mei 2022 terhadap 32 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di seluruh Indonesia (wartaekonomi.co.id, 27/06/2022).

Lantas apakah benar teknologi co-firing ini efektif dalam mengurangi pencemaran udara emisi, dan apakah benar ini untuk kepentingan umat atau ada kepentingan korporat?

Co-Firing Menurunkan Emisi, Efektifkah?

Metode co-firing merupakan sibtitusi bahan bakar batubara dengan memanfaatkan biomassa sebagai bahan subtitusinya pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Biomassa yang dimaksud diantaranya sampah dan limbah/hasil hutan berupa kayu. Melalui siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 092.PERS/04/sji/2020 dijelaskan bahwa subtitusi yang dilakukan sebesar 1% hingga 5%. Namun PT PLN optimis dapat mencapai subtitusi hingga 6% (Republika.co.id, 12/7/2022). Dengan demikian maka kebutuhan bahan subtitusi batubara akan terus bertambah. Bahkan, diperkirakan pada tahun 2025 dibutuhkan 10,2 juta ton (wartaekonomi.co.id, 27/06/2022).

Seiring dengan terus bertambahnya kebutuhan akan limbah dan sampah ternyata menimbulkan masalah baru. Pasalnya limbah dan sampah yang digunakan untuk subtitusi ini perlu diolah dulu untuk memperoleh pellet RDF (Refused Derived Fuel). Untuk pengolahan ini membutuhkan biaya yang cukup mahal dan produk turunan sampah ini juga mengandung bahan berbahaya seperti arsenik, lead dan cadmium. Selain itu biomassa lain yang digunakan yaitu cangkang sawit dan serbuk kayu. Menjadi bahaya jika kebutuhan akan cangakng sawit dan serbuk kayu semakin meningkat, yang tadinya hanya sebagai bahan alternatif dapat berubah menjadi bahan baku yang harus tersedia sesuai dengan komposisi yang diperlukan. Hal tersebut secara tidak langsung akan melegalkan percepatan deforestasi demi memenuhi pasokan biomassa untuk kebutuhan substitusi bahan bakar. Pasalnya selama ini _land clearing_ untuk perkebunan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri) merupakan penyumbang utama deforestasi.

Meningkatnya kebutuhan limbah dan sampah untuk memenuhi kebutuhan subtitusi bahan bakar batubara pada metode co-firing dan bahaya yang mengintai, apakah metode co-firing benar dapat mengurangi pencemaran udara emisi? Ya, memang benar metode co-firing ini dapat menurunkan emisi. Namun berdasarkan fakta, metode co-firing mengurangi 340 ton emisi karbon sedangkan energi kotor yang dihasilkan 638 juta ton emisi karbon dan listrik berbahan bakar fosil menghasilkan 269 juta ton emisi karbon (CNBC Indonesia, RUPTL PLN 2021-2030). Artinya metode co-firing hanya mampu mengurangi 0,0003 %. Dari presentase tersebut maka metode co-firing tidak signifikan mengurangi pencemaran udara emisi.

Mengalihkan Transisi Energi, Siapa yang Diuntungkan?

Penggunaan metode co-firing pada akhirnya memang dapat mengurangi timbulan limbah dan sampah, namun nyatanya tidak signifikan dalam mengurangi pencemaran udara emisi. Jika klaim adalah keberhasilan dalam mengurangi pencemaran udara emisi justru akan menjadi bahaya. Pertama dapat mengubah status limbah dan sampah yang awalnya hanya sebagai alternative fuel menjadi bahan bakar utama yang harus dipenuhi kuantitasnya sesuai komposisi yang diinginkan yaitu 6%. Selain itu klaim tersebut juga mengalihkan pandangan dari percepatan transisi energi yang ramah lingkungan. Dengan kata lain pemerintah tidak memandang serius alternatif energi surya dan angin yang jelas lebih bersih. Dilansir dari CNBN Indonesia, Solopos, pemerintah telah membatasi pemasangan PLTS atap agar kapasitasnya tidak lebih dari 10-15% dari total kapasitas terpasang.
Selain itu metode co-firing diklaim dapat menghemat biaya produksi listrik, namun per 1 juli 2022 justru tarif listrik naik dikalangan menengah ke atas (Kompas.com,24/06/2022). Lalu sebenarnya siapa yang diuntungkan?. Tentu saja korporat yang menjalankan PLTU, karena dengan adanya metode co-firing akan melangengkan monopoli listrik pada PLTU dengan citra ramah lingkungan. Jika sudah seperti ini maka metode co-firing hanya menjadi salah satu solusi palsu (greenwashing) dalam mengurangi pencemaran udara emisi.

Pemenuhan Kebutuhan Umat

Pencitraan terhadap lingkungan hanya akan mendatangkan bahaya bagi umat, terlebih lagi ditumpangi banyak kepentingan penguasa dan korporat dalam meraih keuntungan untuk segelintir golongan saja. Saat ini listrik memang sudah menjadi kebutuan bagi setiap masyarakat. Negara sudah seharusmya mampu untuk menyediakan layanan ini untuk masyarakatnya. Namun, seharusnya pemerintah dalam menyediakan layanan listrik ini memperhatikan dan benar-benar mengedepankan kepentingan umat. Dimana dalam penyediaan layanan listrik ini tidak membahayakan lingkungan maupun manusia baik saat ini maupun masa yang akan datang. Maka konsep pengelolaan penyediaan layanan listrik untuk umat haruslah berkelanjutan dan menggunakan energi yang ramah terhadap lingkungan, bukan mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya.

Sesuai dengan konsep dalam pembangunan dalam sistem Islam dimana aspek spiritual menjadi dasar dari segalanya dan bukan berasaskan materi sebagai tujuan. Dengan dasar spiritual yang terinternalisasi dalam setiap individu akan membuatnya tunduk terhadap wahyu, termasuk perilaku dalam melakukan pengelolaan penyediaan layanan listrik terhadap umat. Akan dipahami bahwa lingkungan merupakan aspek yang penting untuk dijaga yang merupakan bumi Allah SWT. Maka pemilihan sumber energi sudah seharusnya pada sumber yang ramah terhadap lingkungan.

Di sisi lain dalam pembiayaan pengelolaannya disesuaikan dengan produksi dan kemampuan umat dalam mengakses, sehingga lingkungan tetap terjaga dan umat tidak terbebani untuk mendapatkan pelayanan tersebut. Allah SWT telah menciptakan manusia dan menyediakan kebutuhannya secara sempurna di muka bumi ini. Tetapi manusia lah yang dapat memilih dengan akalnya yang disandarkan pada akidahnya untuk melakukan sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.

Wallahu A’lam Bish Shawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here