Opini

Klitih, Bukti Abainya Pembinaan Generasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Penulis: Eki Efrilia Adijanti

wacana-edukasi.com– Permasalahan yang menyangkut remaja, seperti tak habis-habisnya menjadi topik menarik pembicaraan di negeri ini. Tentu saja, masalah yang mereka hasilkan ini membuat sibuk semua pihak, apalagi kalau itu menyangkut tindak kekerasan, hal ini pasti membuat pusing aparat kepolisian. Belum selesai satu kasus, muncul satu kasus baru lagi. Di tahun 2019 saja, seperti yang disampaikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) jumlah remaja yang berhadapan dengan hukum mencapai 1.251 kasus.(medcom.id, 13 April 2021)

Melihat fenomena sekarang ini disinyalir data di atas semakin bertambah jumlahnya. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat yang mengaku miris dengan fenomena ini, beliau menyampaikan,”Dari data hasil pengungkapan, dapat fakta bahwa para pelaku kriminal di beberapa titik TKP (tempat kejadian perkara) rata-rata dibawah 20 tahun atau belasan tahun, pekerjaannya pelajar”. (JawaPos.com, 12 Maret 2022)

Klitih adalah salah satu dari kenakalan remaja yang disebutkan di atas. Istilah “Klitih” berasal dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, sedang di wilayah-wilayah lain, kadang ada penyebutan berbeda, ada yang menyebutkan perang sarung atau juga tawuran.

Klitih atau tawuran ini sudah memakan banyak korban baik luka maupun yang sampai menemui ajal.
Seperti yang dialami oleh DS (14 tahun) yang meninggal dunia pada 5 April 2022 akibat tawuran berujung maut di jalan raya Tambun Utara desa Sriamur Kabupaten Bekasi. (suara.com, 7 April 2022)

Juga yang menimpa Muhammad Diaz (20 tahun), yang meregang nyawa akibat menjadi korban tawuran di jalan Sanip, Jati Pulo, Jakarta Barat pada Sabtu tanggal 9 April 2022. Selain Diaz, ada dua rekannya yang terluka akibat tawuran tersebut. (Serambinews.com, 10 April 2022)

Di DI Yogyakarta sendiri, kejadian klitih terbaru adalah meninggalnya anak anggota DPRD bernama Daffa yang sedang berboncengan dengan temannya untuk mencari sahur pada tanggal 3 April 2022. Ia meninggal akibat disabet gir sepeda motor oleh serombongan pemotor muda yang melakukan kejahatan jalanan atau klitih tersebut. (iNewsJateng.id, 4 April 2022)

Polda DI Yogyakarta mencatat ada peningkatan kasus jalanan sepanjang 2021 yaitu 58 kasus. (cnnindonesia.com, 29 Desember 2021)

3 Kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari deretan panjang kasus klitih, yang hampir di semua kasus memakan korban baik luka-luka maupun meninggal dunia.

Sudah pasti ini merupakan keprihatinan bagi kita semua, bagaimana seharusnya para korban ini adalah pelanjut generasi, menerima ‘tongkat estafet’ perjuangan dari para pendahulu. Sayangnya, mereka meninggal sia-sia akibat kekejaman klitih.

Di kehidupan sekuler ini, dimana terjadi pemisahan agama dari kehidupan, sebetulnya sudah dapat diprediksi di awal, kejadian-kejadian miris akan terus terjadi. Sayangnya, di semua sisi, hampir-hampir semuanya tidak memahami bahwa inilah akar masalahnya. Saat sekulerisme dijunjung, disitulah terjadi kerusakan demi kerusakan, termasuk kerusakan moral anak bangsa ini. Dulu bangsa ini dikenal dengan keramahan dan tepa selira (saling memahami dan saling menghormati), tapi saat ini pemahaman tersebut sudah jauh panggang dari api. Dengan besarnya angka kriminalitas, negeri ini seperti melahirkan kaum pemarah dengan istilah “senggol bacok”. Astaghfirullah..

Permasalahan remaja ini, menunjukkan bahwa sekulerisme ‘tidak pantas’ diletakkan sebagai faham yang dijunjung tinggi manusia. Manusia membutuhkan norma untuk berperilaku, dan norma yang mampu menghasilkan perilaku terbaik hanyalah Islam. Ya, aturan-aturan Islam yang dilaksanakan secara menyeluruh adalah jawaban untuk situasi crowded yang saat ini terus menerus membuat sengsara manusia.

Dalam pandangan Islam, ada 3 pilar yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang handal yaitu ketaqwaan individu, masyarakat (lingkungan) dan negara.

Saat ini, sudah mulai ada semangat dari kaum muslimin untuk bangkit membangun ketaqwaan secara individu dengan menyemarakkan masjid dan hadir di majelis-majelis ilmu. Tapi hal itu hanya bangkit di sebagian orang tapi sebagian yang lainnya tidak. Masih banyak orang yang melakukan kemaksiatan, termasuk para pelaku klitih tersebut.

Orang-orang yang belum ‘tersadar’ untuk beramal shalih ini perlu untuk diingatkan bahwa jalan yang mereka tempuh tersebut adalah keliru. Sayangnya, setali tiga uang dengan individunya, lingkungannyapun ternyata rusak. Seperti yang terjadi di Kampung Bali-Tanah Abang, yang hampir semua penduduknya adalah pengedar dan pemakai narkoba; bagaimana bisa hidup lurus, kalau sehari-harinya kita disuguhi ‘pemandangan’ transaksi narkoba dan orang yang sakauw, bahkan mungkin itu terjadi di keluarga kita sendiri? Kehidupan manusia akan bergantung kepada lingkungan atau teman-teman di sekitarnya. Apabila ia memilih berteman dengan orang baik, maka ia akan ikut baik, tapi bisa sebaliknya, bila ia memilih teman yang suka maksiat, besar kekhawatiran ia akan ikut.

Seperti Sabda Nabi Muhammad Saw. :

فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.”
(HR. Bukhari dan Muslim )

Karena itulah, pilar yang ketiga yaitu negara adalah pilar yang paling berperan besar untuk membentuk masyarakat yang berbudi luhur dengan ketaatan yang kaffah terhadap aturan-aturan Islam. Negara yang akan melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara kaffah hanyalah Khilafah Islamiyah. Khilafah-lah yang akan memberi kesadaran kepada rakyatnya untuk tunduk patuh kepada aturan-aturan yang diturunkan oleh Allah dan RasulNya, dengan aturan yang bersumberkan Wahyu Allah tersebut rakyat di negeri khilafah akan merasa terayomi dan terus ingat untuk menempuh jalan kebaikan.

Seperti Firman Allah dalam QS. An-Nisa’ Ayat 59:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Bagaimana kalau mereka melanggar? Khilafah akan menetapkan ‘uqubat (hukuman) bagi yang bersalah melalui tangan Qadhi (hakim), yang seluruh aturan peradilannya juga berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits. Dalam Islam, ‘uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah kejahatan) dan jawabir (penebus dosa). Jadi dalam sistem Islam, para pelaku kejahatan yang menjalani uqubat, dosa perbuatan jahatnya itu akan terhapus dan ia (termasuk orang lain juga) akan jera melakukan kejahatan lagi, karena hukuman dari khilafah sangat berat.

Seperti penghilangan nyawa orang lain, maka hukumannya dalam Islam adalah dihilangkan nyawanya juga (melalui proses pembuktian dalam peradilan terlebih dahulu). Jadi, kejadian klitih ini tidak akan mungkin berani dilakukan orang di negera khilafah, karena taruhannya adalah nyawa si pelaku sendiri apabila ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja.

Rasulullah Saw. bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا (رواه البخاري و مسلم)

“Dari Abdullah bin Amr, dari Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang membunuh seorang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin (mu’ahad), maka dia tidak akan mencium wangi surga, padahal sesungguhnya wanginya surga dapat tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan”.
(HR al-Bukhari dan Muslim)

Darah kaum kafir yang tidak memerangi Islam saja sangat dijaga oleh Khilafah, apalagi darah kaum muslimin. Maa Syaa Allah

Semakin rindu Khilafah Islamiyah, negeri yang tidak pernah abai kepada rakyatnya, yang akan selalu menjaga rakyatnya hidup aman dan sejahtera.

Wallahu’alam bish-showwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here