Oleh: Meitya Rahma,S.Pd
Wacana-edukasi.com –Dunia pendidikan masih saja diwarnai berbagi problematika. Dari aspek teknis maupun non teknis. Kebijakan yang diciptakan belum bisa memberikan kemajuan bagi pendidikan di negeri ini. Para pendidik/guru berharap menteri pendidikan bisa menciptakan suasana yang kondusif, memiliki moral yang baik bagi pendidikan generasi di negeri ini. Mendikbud harus memposisikan diri menjadi pembimbing dan pengayom bagi insan pendidikan, bukan mengintimidasi. Kasus yang sempat viral beberapa waktu yang lalu tentang dugaan pemaksaan pemakaian kerudung bagi siswa non muslim di SMK 2 Padang harusnya mentri pendidikan melihat dengan bijak.
Kasus bermula dari sebuah perda yang diimplementasikan di sekolah yang dianggap intoleran karena bertentangan dengan konstitusi dan nilai nilai Pancasila. Perda (peraturan daerah) tersebut diberlakukan di sekolah umum yang mewajibkan siswa nonmuslim memakai jilbab. Aturan ini kemudian dianggap melanggar Pancasila, UUD, dan UU serta menyalahi prinsip toleransi dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Peristiwa pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Aturan yang sudah berjalan 15 tahun lebih, sebagaimana keterangan mantan Walikota Padang, Fauzi Bahar (antaranews.com). Kasus ini menunjukkan bahwa ada indikasi peran pemerintah pusat ( Kemendagri dan Kemendikbud) yang mendiamkan dan melakukan pembiaran terhadap adanya regulasi daerah bermuatan intoleransi di sekolah selama ini. Maka kemudian kasus intointoleransi di sekolah ini diselesaikan dalam rapat kabinet bersama dengan Mendagri, Menag, dan Menkopolhukam karena sudah menyangkut Instruksi Kepala Daerah. Pemerintah kembali meninjau peraturan daerah yang memicu diskriminasi terhadap warga dalam memeroleh haknya
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pun angkat bicara. Terncatat pada 2009-2016 ada 421 kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kebijakan diskriminatif itu di antaranya kewajiban perempuan mengenakan jilbab, larangan keluar malam, dll. Mereka memiliki kewenangan untuk menggugat perda yang dianggap diskriminatif .
Dengan adanya polemik jilbab ini maka kini pemerintah mengeluarkan aturan untuk pemerintah daerah dan sekolah negeri dalam hal seragam beratribut agama. Aturan ini dikeluarkan 3 menteri yaitu mentri pendidikan, mentri dalam negri, mentri agama. SKng tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri itu menyatakan, pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama. SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Menag menyebutkan, lahirnya SKB 3 Menteri ini merupakan upaya untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. Agar masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, bukan hanya simbolik.(kompas.com5/02/21)
Permasalahan intoleran, lagi lagi menempatkan Islam yang menjadi yang pihak yang tertuduh. Kasus ini menjadi gorengan hangat bagi yang memang tidak menyukai Islam. Dari permasalahan ini ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh umat Islam karena terkait dengan kewajiban seorang muslim dalam melaksanakan syariat Islam. Hal yang sekiranya diperhatikan, diantaranya:
1. Ketidakadilan Media. Jika kemudian kasus ini dianggap intoleran dan bertentangan dengan konstitusi ini terlalu berlebihan. Karena banyak sebenarnya kasus intoleran yang lebih dari kasus ini, hanya saja tidak diviralkan. Jika Islam sebagai pihak korban maka tidak diviralkan. Seperti pelarangan penggunaan jilbab di sekolah, artinya jika Islam diotak atik maka tidak akan viral, tetapi jika non Islam menjadi korban maka langsung diviralkan.
2. Fokus Perbaikannya. Begitu daruratnya kasus ini hingga dibuatlah SKB 3 menteri. Hal ini menggambarkan bahwa kasus ini harus diselesaikan tidak cukup hanya 1 menteri, namun harus 3 mentri agar terkesan urgen/ penting sekali. Disaat pendidikan kacau balau, harusnya pemerintah menjadikan mutu pendidikan sebagai fokus utama dalam perbaikan bukan mengurusi urusan intoleransi. Pembelajaran daring selama pandemi di seluruh wilayah negri ini pun belum berjalan efektif. Masih banyak hal yang perlu dibenahi. Mengurusi masalah atribut keagamaan tidak begitu urgen hingga sampai 3 mentri turun untuk membuat surat keputusan bersama. Lagi pula jilbab yang dianggap sebagai atribut keagamaan ini merupakan yang wajib dikenakan bagi tiap muslim, dan merupakan bagian dari hukum syara. Maka seorang muslim tak ada pilihan lain kecuali harus taat.
3. Menjadi Celah Paham Gender Masuk. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menganggap kewajiban perempuan mengenakan jilbab dan larangan keluar malam merupakan Kebijakan diskriminatif adalah sesuatu yang berlebihan. Ini memberikan celah untuk paham gender bisa memasukkan ide kebebasan pada kaum muslim. Atas dasar HAM menjadikan sebagai alasan utama wanita bebas menentukan hidupnya sendiri walaupun bertentangan dengan aturan agama.
4. Sasaran Penghilangan Perda Syariah. Perda syariah seolah olah menjadi sesuatu yang membuat alergi untuk pemerintah sekarang. Dengan adanya polemik jilbab di SMK 2 Padang ini maka kesempatan dimanfaatkan untuk membabat Perda Perda yang berbau syariat. Pemerintah mencari kelemahan untuk meniadakan aturan yang berbau syariat pada pasal pasalnya dengan alasan bertentangan dengan HAM atau Pancasila. Alasan klasik memang, 2 hal itu yang selalu dipakai untuk melemahkan syariat Islam. , Sebenarnya syariat Islam pada Perda Perda ini hanya sebatas aturan teknis saja dan ini pun sudah disesuaikan dengan kondisi daerah masing masing. Jadi harusnya mereka tidak menindak perda syariah yang mereka anggap intoleran.
5. Menghilangkan Pemahaman kewajiban taat pada syariat Islam. Dalam SKB tersebut mengungkapkan bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam atribut seragam tanpa kekhususan agama dan atribut dengan kekhususan agama. Seperti yang disampaikan mentri agama, memahami ajaran agama secara substantif, bukan hanya simbolik. Jadi jika kerudung itu merupakan simbolik, maka boleh tidak memakai nya, yang penting substansinya (mengerjakan kewajiban solat, haji, infaq) . Ini sama saja mengkerdilkan makna syariat Islam. Jilbab bukan semata mata simbol yang melekat pada muslim, tapi lebih dari itu, karena jilbab adalah kewajiban dan perintah Allah bagi setiap muslim untuk menutup auratnya.
Dari beberapa hal di atas memang kehadiran SKB 3 Menteri ini makin meneguhkan bahwa sekularisasi di negri ini semakin terlihat nyata. Hanya permasalahan jilbab saja 3 mentri mengeluarkan aturan bersama. Kalau bahasa gaulnya bisa dikatakan terlalu “lebay”. Dengan dalih bertentangan dengan HAM, Pancasila mereka ingin menghilangkan satu demi satu kewajiban seorang muslim. Menyuruh memilih sekehendak hati, karena itu hak mereka. Padahal dalam Islam menutup aurat adalah perintah yang wajib dilaksanakan. Disitu terdapat pahala jika mengerjakan, dan dosa bila meninggalkannya. Maka SKB ini perlahan akan mengikis ketaatan manusia kepada Allah SWT.
Hilangnya pemahaman ketaatan pada syariat Islam telah melebur seiring hilangnya perisai umat yang bisa melindungi umat manusia seluruh dunia. Sejak runtuhnya khilafah, syariat mulai sedikit demi sedikit dilupakan, yang tersisa dalam benak kaum muslim hanyalah ibadah, akhlak, aqidah saja. Padahal Islam mengatur dalam semua aspek kehidupan. Umat sudah lupa, semakin menjauh dari syariat Islam. Semoga bisa hadir kembali perisai umat yang melindungi dan mengayomi umat, sehingga Islam tak lagi menjadi yang tertuduh seperti saat ini. Wallohualam bishowab
Views: 1
Comment here