Oleh: Nia Umma Zhafran ( Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Belum lama ini kita mendengar kasus pembunuhan dan rudapaksa terhadap gadis penjual gorengan yang berusia 18 tahun bernama Nia di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Kasusnya viral dan banyak netizen yang ingin menjadikan kisahnya sebagai film. Namun sayang, kejahatan ini tidak hanya terjadi sekali dalam Negeri ini.
Dilansir dari Kompas.com (17/11/2024), bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak berinisial DCN (7) di Banyuwangi, Jawa Timur.
Korban DCN (7), merupakan siswi kelas 1 madrasah ibtidaiah (MI). Korban dinyatakan menghilang sepulang sekolah yang tak kunjung pulang pada Rabu (13/11/2024). Setelah dicari oleh keluarga dan pihak sekolah.
Setelah menyusuri jalan berjarak sekitar 1,5 kilometer dari sekolah ke rumah yang biasa dilewati korban, akhirnya DCN ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan di tengah kebun. Dari hasil pemeriksaan medis, korban tak hanya dibunuh tapi diduga kuat diperkosa oleh pelaku.
Kini, kejadian seperti ini tak hanya menimpa anak perempuan, anak laki-laki pun rentan menjadi korban pelecehan seksual. Sebanyak 171 kasus dalam 11 bulan terakhir, di Jawa Barat. Dari semua fakta yang ada ini menggambarkan bagaimana kondisi anak semakin terancam. Banyak anak-anak menjadi korban pelecehan, rudapaksa, hingga pada pembunuhan. Kondisi hari ini semakin tidak menyisakan ruang aman bagi anak-anak.
Keluarga yang seharusnya menjadi tempat pertama anak-anak tumbuh, masyarakat yang menjadi tempat anak-anak bersosialisasi, negara yang seharusnya memberikan rasa aman, kini tidak bisa diharapkan menjadi benteng perlindungan bagi anak. Tidak ada ruang yang aman bagi tumbuh kembang anak. Ini menggambarkan sistem kehidupan yang rusak.
Tanda sistem kehidupan yang rusak ialah manusia tidak mengarahkan potensi naluri dan akalnya sesuai dengan aturan pencipta. Manusia memiliki naluri seksual (nau), manusia jugamemiliki akal yang dengannya manusia bisa berpikir bagaimana memenuhi naluri tersebut. Hanya saja sistem kehidupan saat ini dipengaruhi oleh akidab sekulerisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Maka manusia tidak lagi berpikir mememuhi nalurinya sesuai aturan illahi.
Cara berpikir dan beramal manusia dipimpin oleh hawa nafsu mereka. Dan hal itu saat ini diklaim sebagai hak kebebasan. Akhirnya muncul manusia- manusia yang lemah iman dam tidak beradab. Standar interaksi diantara masyarakat juga bukan amar makruf dam nahi mungkar.
Namun individualis, kondisi ini yang membuat predator anak semakin marak menyasar anak-anak untuk dirudapaksa hingga dibunuh. Tentu saja predator anak tidak mungkin muncul begitu saja tanpa ada pemicu atau rangsangan. Saat ini konten porno, pinjil, judol, khamr dan hal-hal yang merusak akal manusia lainnya merebak dimana-mana.
Padahal, semua kemaksiatan itu merupakan pemicu manusia untuk melakukan kemaksiatan yang lain seperti menjadi predator anak misalnya. Negara sekuler abai pada urusan moral. Negara sekuler justru membiarkan faktor-faktor penyebab maraknya predator anak yang merajalela. Hal ini dibuktikan dengan peran negara yang sangat minin dalam melindungi anak dalam berbagai aspek. Baik pendidikan berasas sekuler maupun sistem sanksi yang tidak menjerakan.
Jika negara masih berparadigma sekuler, selamanya anak-anak tidak akan pernah selamat dari predator anak. Inilah kerusakan, kezaliman dan bahaya penerapan Sekulerisme. Bahkan lebih dari itu, Sekulerisme telah menjauhkan fitrah manusia sebagai hamba Allah. Kejadian ini seharusnya membuat umat sadar betapa banyak kerusakan yang Allah tampakkan agar manusia kembali kepada aturan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan yang akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi hidup umat manusia.
Penerapan sistem Islam dalam kehidupan secara praktis diwujudkan dalam bingkai negara Khilafah. Dalam Islam negara tidak akan pernah memisahkan agama dari semua aspek kehidupan termasuk peran negara. Negara Khilafah adalah negara ro’in (pengurus) dan junnah (pelindung). Sehingga kehadirannya mustahil tidak peduli terhadap kondisi anak-anak.
Khilafah akan memjaga anak-anak sebagai bentuk kewajiban yang syariat perintahkan. Penjagaan tersebut memastikan anak-anak mendapat kualitas hidup maupun lingkungan yang baik dan juga keselamatan generasi dari berbagai bahaya. Termasuk berbagai macam kekerasan dan ancaman keselamatan.
Islam memiliki mekanisme untuk merealisasikan cara-cara tersebut. Islam memiliki tiga pilar perlindungan terhadap masyarakat termasuk anak. Mulai dari ketakwaan individu, peran keluarga, kontrol masyarakat hingga penegakan sistem sanksi yang tegas dan menjerakkan.
Oleh negara Khilafah, ketakwaan individu akan menjadi kontrol pribadi agar seseorang tidak mudah berbuat maksiat. Sebab, dia aka n menstandarkn pemahaman (mafahim), standar (maqayis), keridhaannya (qanaat) pada hukum syara. Begitu pula peran keluarga Islam mengatur salah satu fungsi keluarga yakni sebagai pelindung anak.
Ayah berperan sebagai qawwam dan Ibu berperan sebagai madrasatul ula. Jika Ayah dan Ibu ini berjalan sebagaimana peintah syariat, InsyaAllah anak-anak mendapat perlindungan pertama dari keluarga. Islam juga memerintahkan amar makruf nahi mungkar diantara sesama. Perintah ini akan menjadi kontrol masyarakat agar segala jenis kemaksiatan termasuk predator anak tidak merajalela.
Bahkan, syariat memerintahkan agar negara hadir sebagai pelindung (junnah) untuk menindak tegas para pelaku kemaksiatan. Negara akan melakukan sanksi (uqubat) kepada predator anak. Uqubat Islam bersifat pencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Sehingga bisa dipastikan predator anak tidak akan mendapat ruang untuk lahir dan berkembang.
Inilah syariat Islam Kafah yang diterapkan oleh Khilafah untuk melindungi anak-anak. Pengaturan dengan Islam benar-benar akan memberikan kebaikan bagi seluruh alam. Tidakkah kita menginginkannya?
WalLaahu a’lam Bish-Showwab
Views: 5
Comment here