Opini

Konflik Agraria, Islam Solusinya

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Bunda Emma

wacana-edukasi.com, OPINI– Tercatat ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam masa delapan tahun kepemimpinan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini didominasi akibat dari pengembangan proyek strategis nasional (PSN). Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyatakan konflik agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti. Proyek-proyek itu diantaranya adalah pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, pembangunan tol Padang-Pekanbaru, dan proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang.

Selain itu juga ada penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek Movieland MNC Lido City Sukabumi, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara, pembangunan Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara. Kemudian, Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat, Bendungan Karalloe di Goa, Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur, tol Serang-Panimbang, tol Balikpapan dan Samarinda, pembangunan PLTU Muna, serta proyek cetak sawah baru di Pulau Pisang Kalimantan. Termasuk juga, pembangunan Waduk Sepaku Semoi yang jadi infrastruktur penunjang ibu kota negara di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis Sumatera Barat, proyek tambang pasir Royal Boskalis, serta pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Komodo dengan menggusur Hutan Bowosie oleh badan otorita Labuan Bajo.

Dan yang terbaru peristiwa di Pulau Rempang, Batam, terjadi konflik agraria juga akibat proyek strategis nasional. Bentrokan tak terelakan di Pulau Rempang, Batam, setelah warga menolak relokasi untuk pembangunan kawasan Rempang Eco-City. Proyek yang digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) itu tidak tanggung-tanggung, akan membutuhkan luas wilayah sekitar 6.115.450 m² atau sekitar 611,5 Ha. Untuk pembangunan ini pula, pemerintah setempat akan menggusur 1.835 bangunan di daerah itu. Meski sejatinya warga tak setuju dipindahkan karena telah mendiami wilayah tersebut sejak dulu secara turun temurun.

Relasi Penguasa dan Rakyat

Konflik agraria sangat mungkin terjadi di alam Demokrasi hari ini. Hal ini dikarenakan sistem Demokrasi, konsekuensi dari mahalnya kontelasi demokrasi adalah lahirnya politik transaksional. Bukan rahasia lagi ketika ingin menjadi pejabat negara, seseorang tersebut harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Untuk kampanye, misalnya, makin tinggi posisinya, makin besar pula biaya yang dikeluarkan. Dari sini awal penguasa yang disokong pengusaha (korporasi) untuk membantu biaya politik sampai menjadikannya meraih kepemimpinan. Mustahil penguasa ini akan bervisi melayani umat. Hal ini karena setelah ia menjabat, ia akan sibuk melayani penyokongnya. Jikapun masih tersisa dalam hatinya ingin melayani umat, tetapi tidak ada daya, karena keinginan sponsornya sering kali berlawanan dengan kehendak rakyat.

Dalam situasi konflik agraria ini, semestinya negara segera menyelesaikan konflik agraria secara adil dan tidak memihak korporasi yang menjadi lawan petani dalam kasus sengketa/konflik agraria.
Sebagaimana dalam Islam, pemimpin adalah pelayan umat. Rasulullah SAW bersabda; “Imam [kepala negara] itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya.”

Negara wajib memastikan terwujudnya kemaslahatan di tengah rakyat. Penguasalah yang berkewajiban menanggung amanah dan tanggung jawab untuk mewujudkan kemaslahatan itu. Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka mengurusi rakyat. Sementara Allah mengharamkan surga bagi penguasa yang lalai, apalagi sampai menzalimi rakyatnya.

Hadis Ma’qil bin Yasar, dari Hasan, bahwa Ubaidillah bin Yazid mengunjungi Ma’qal bin Yasar ketika sedang sakit yang menyebabkan kematiannya, Ma’qal berkata kepada Ubaidillah “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadis yang telah aku dengar dari Rasulullah saw., bahwa beliau saw. bersabda, ‘Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah, lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga, pen.)’” (HR Bukhari dalam Kitab Hukum-Hukum Bab “Orang yang Diberi Amanat Kepemimpinan”).

Islam Solusi Konflik Agraria

Islam memandang, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah Swt. semata. Firman Allah Swt., “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24]: 42)

Allah Swt. juga berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2)
Atas dasar ini, semua kepemilikan di alam semesta ini harus disesuaikan berdasarkan ijin Asy syari’ (Allah) untuk penggunaannya. Termasuk didalamnya tanah. Adapun pandangan Islam tentang kepemilikan tanah adalah hak yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi manusia untuk memanfaatkan tanah.

Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 cara menurut hukum Islam, yaitu melalui jual beli, waris, hibah, ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hlm. 51).

Seorang pemilik tanah boleh mengelola tanahnya dengan alat benih, hewan, dan para pekerjanya. Ia juga boleh mempekerjakan para pekerja yang ia sewa untuk mengolah tanahnya. Jika ia tidak mampu untuk membiayainya, maka akan dibantu negara dengan dana dari kas negara (Baitulmal).
Akan tetapi, jika tanah itu tidak ditanami oleh pemiliknya, tanah tersebut akan berpindah kepemilikan kepada orang lain untuk di garap sebagai pemberian cuma-cuma dari negara tanpa kompensasi apa pun.

Apabila pemiliknya tidak menggarapnya dan tetap menguasainya, hal ini di berikan tempo selama tiga tahun. Apabila setelah tiga tahun tersebut tanah tersebut tetap tidak diolah atau ditelantarkan, negara akan mencabut hak tanah tersebut dari pemiliknya dan memberikannya kepada orang lain.
Yunus menuturkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abu Bakar yang berkata, “Bilal bin al-Harits al-Muzni datang kepada Rasulullah saw. Lalu ia meminta sebidang tanah kepada beliau. Beliau memberikan tanah yang berukuran luas kepadanya. Ketika pemerintahan dipimpin beralih kepada Khalifah Umar, beliau berkata kepadanya, ‘Bilal, Engkau telah meminta sebidang tanah yang luas kepada Rasulullah saw., lalu beliau memberikannya kepadamu.
Rasulullah saw. tidak pernah menolak untuk diminta, sementara Engkau tidak mampu menggarap tanah yang ada di tanganmu.’ Bilal menjawab, ‘Benar.’ Khalifah Umar berkata, ‘Karena itu, lihatlah mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap lalu milikilah. Mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami dan kami akan membagikannya kepada kaum muslim.’ Bilal berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan apa yang telah Rasulullah berikan kepadaku.’ Khalifah Umar kembali berkata, ‘Demi Allah, kalau begitu Engkau harus benar-benar menggarapnya.’ Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu ia garap dari Bilal lalu membagikan tanah tersebut kepada kaum muslim.” (HR Yahya bin
Adam dalam Al-Kharaj).

Hanya dengan beberapa cara itulah kepemilikan tanah bisa berpindah. Dari sini, haram merampas tanah dengan kepemilikan individu tanpa hak, sekalipun itu untuk kepentingan negara. Sementara dalam kehidupan sistem kapitalisme yang ada pada saat ini, sangat memungkinkan terjadinya konflik agraria yang terus berkembang sangat kompleks dan lebih meluas. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan status kepemilikan tanah yang ada.

Adanya mafia-mafia tanah yang sudah membeli kekuasaan dengan politik transaksionalnya, menjadikan mereka tidak tersentuh hukum. Bahkan makin membuat ketimpangan penguasaan lahan yang makin tajam karena dilindungi oleh penguasa . Siapapun yang memiliki modal dan dekat kepada kekuasaan, bisa menguasai lahan dengan mudah. Dengan demikian, Islam mampu mejawab segala konflik agraria dan hanya bisa berlaku ketika negara menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai negara Khilafah, bukan kapitalisme.

Wallahua’lam bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 138

Comment here