Opini

Konflik Agraria Terus Bergulir

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Jusniati Dahlan
(Aktivis Muslimah, Ngaglik, Sleman, DIY)

wacana-edukasi.com, OPINI-– Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam catatan akhir tahun 2023 menyebut, terdapat sekitar 2.939 letusan konflik agraria yang mencakup 6,3 juta hektar lahan dan berdampak pada 1,7 juta keluarga selama kurun waktu 2015-2023. Sebagian besar jumlah tersebut berasal dari konflik-konflik yang tidak kunjung menemukan titik terang. Dari 851 lokasi yang menjadi prioritas agraria, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik, baru mencapai 21 Lokasi Prioritas Reformasi Agraria (LPRA) dengan total 5.400 hektar (ha) untuk 7.690 keluarga. Adapun 830 LPRA lainnya belum diterbitkan dan masih larut dalam konflik berkepanjangan.

Saat peluncuran catatan akhir tahun 2023, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika juga menyatakan bahwa polemik konflik agraria di Indonesia sudah bermula sejak era kolonial. Namun, hingga kini pemerintah belum serius menangani permasalahan agraria nasional beserta konflik yang terjadi di dalamnya (kompas.com, 15/1/2024).

Perampasan Lahan Berkedok Investasi

Konflik lahan adalah lagu lama yang kembali menyeruak dan semakin memanas di masa berakhirnya era pemerintahan Jokowi. Mulusnya proses perizinan pembukaan lahan oleh pemerintah, lewat UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU Omnibus Law, juga Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, menambah daftar panjang semakin masifnya investor menjelajah negeri ini hingga ke pelosok-pelosok desa. Kedok investasi telah mengakibatkan para pengusaha berkuasa atas tanah rakyat.

Rakyat yang notabenenya lemah harus terlibat persoalan hukum dengan pemerintah atau para oligarki yang memiliki sumber daya besar serta mendapatkan backingan dari aparat negara. Ketidakseimbangan power dan ketidakjelasan UU terkait konflik agraria menjadikan masyarakat berujung pada kekalahan, hingga memaksa mereka menerima keputusan relokasi dan ganti rugi yang tidak sepadan. Bahkan, tidak mampu mengganti ruang hidup yang terjajah.

Tindakan perampasan lahan milik rakyat yang menjadi tempat tinggal mereka sejak bertahun-tahun dan sumber mata pencaharian dengan dalih relokasi demi kepentingan pribadi dan oligarki adalah sebuah tindakan yang zalim. Kolaborasi antara penguasa dengan mafia oligarki semakin menunjukkan adanya salah fungsi peran negara.

Miris, demikianlah nasib rakyat dalam naungan sistem kufur, yakni sistem kapitalisme. Sistem batil yang hanya menjadikan negara sebagai penyedia lahan bagi para pemilik modal. Bahkan memberi peluang kepada pengusaha untuk berkuasa menentukan kebijakan negeri ini yang menguntungkan kelompoknya. Apalagi kebebasan kepemilikan di sistem kapitalis menjadi salah satu hak yang diakui. Hal ini menjadi salah satu pemicu konflik agraria yang terus bergulir, turun-temurun tak berkesudahan.

Paradigma ekonomi dan politik demokrasi terbukti melahirkan kebijakan perampasan tanah dan ruang hidup rakyat. Arus pembangunan kapitalistik hanya berporos pada materi dan benda, sebaliknya menempatkan rakyat sebagai faktor yang tidak penting dan terabaikan.

Islam Menyelesaikan Konflik Agraria

Berbeda dalam sistem ekonomi Islam terkait pengaturan sistem agraria. Sumber daya alam (SDA) yang menyangkut padang rumput, air dan api (minyak bumi dan gas alam) tidak boleh dikuasai individu dalam jumlah yang besar. Negara Islam tidak akan memberi hak individu untuk mengelola SDA untuk kepentingan pribadi semata. Semua harta umum akan dikelola oleh negara dan akan dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Tetapi jika SDA tersebut jumlahnya kecil, individu boleh mengelolanya.

Sebagaimana hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW.. Seorang sahabat meminta lahan garam untuk dikelola sebagai mata pencahariannya, Rasulullah SAW. yang posisinya sebagai kepala negara memberikannya untuk dikelola. Setelah digarap, ternyata lahan garam tersebut hasil produksinya sangat banyak. Kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah SAW.. Setelah diselidiki benar adanya, lahan garam tersebut hasilnya sangat melimpah, sehingga Rasulullah SAW. menarik kembali lahan garam tersebut untuk dikelola oleh negara, yang hasilnya akan dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Posisi negara dalam hal ini hanya berperan sebagai pihak pengelola, ia hanya boleh mengambil untuk kepentingan operasional, bukan atas kepentingan pribadi.

Ada 6 cara individu memperoleh lahan dalam Islam yang disampaikan oleh Abdurrahman Al-Maliki yakni jual beli, waris, hibah, Menghidupkan tanah mati, pembuatan pagar pada tanah mati, dan pemberian negara kepada masyarakat.

Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa terlebih dahulu (mengelola atau menghidupkan tanah yang mati) yang belum di miliki (didahului) oleh seorang muslim, maka tanah tersebut menjadi miliknya” (HR.Tabrani dalam Al-Kabir).

Demikianlah aturan dalam sistem ekonomi Islam terkait pengaturan kepemilikan lahan. Dalam sistem Islam, konflik lahan antara rakyat dengan para oligarki tidak akan mungkin terjadi. Karena negara Islam tidak akan membiarkan lahan-lahan milik masyarakat dicaplok Asing untuk kepentingan pribadi. Negara akan menjamin hak-hak rakyat, karena negara berfungsi sebagai pelindung rakyat, rakyat adalah amanah Allah SWT. yang harus diurus dengan baik.

Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 20

Comment here