Opini

Konflik Lahan, Paradoks Pembangunan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Fitriani, S.Pd (Praktisi Pendidikan)

wacana-edukasi.com, OPINI– Letak strategis secara geografis menjadikan Indonesia memiliki tanah yang subur, termasuk kekayaan alam yang melimpah. Secara keseluruhan kekayaan alam Indonesia telah menjadi berkah bagi negara. Kondisi ini tentunya mampu memberikan banyak manfaat ekonomi dan sosial. Namun, faktanya lahan subur menggiurkan pundi-pundi materi yang menjadi daya tarik bagi berbagai pihak untuk menguasai lahan. Baik untuk kepentingan individu, perusahaan, maupun pemerintah yang pada akhirnya penguasaan tanah dan perebutan sumber daya alam menjadi konflik yang serius dan berkepanjangan di Indonesia.

Konflik agraria terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, kehutanan, tambang, hingga pembangunan properti. Konflik lahan yang terjadi hari ini merupakan permasalahan struktural karena muncul akibat adanya kebijakan negara yang memihak pada kepentingan pemilik modal. Rakyat pun kerap kali menjadi korban perampasan hak tanah dan lahan yang berujung pada perampasan ruang hidup generasi.

“Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia akibat proyek strategis nasional (PSN),” kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 secara daring, minggu 24/9 (www.cnnindonesia.com).

Dalam hal ini salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui penerbitan sertifikat. Presiden Joko Widodo menargetkan urusan sertifikasi tanah masyarakat di seluruh tanah air bisa selesai pada tahun depan. Menurutnya, sertifikat tanah ini sangat penting karena merupakan bukti atas kepemilikan lahan. Kepemilikan sertifikat tanah, katanya, dapat meredam konflik atau sengketa lahan.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin menyatakan pendapat yang berbeda. Iya mengatakan penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak dapat menyelesaikan konflik agraria yang sampai saat ini membelenggu Indonesia. Menurutnya, pemerintah memang berkewajiban menerbitkan sertifikat tanah kepada masyarakat untuk mengakui secara hukum hak kepemilikan tanah masyarakat. Namun, ia menegaskan bahwa pembagian sertifikat tanah tidak akan menyelesaikan konflik agraria. www.voaindonesia.com

Zainal juga berpendapat, “Sebenarnya persoalannya bukan dalam konteks sertifikasi tanah, tetapi kaitannya dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang masih ada. Ada ketimpangan kekuasaan yang masih belum terselesaikan,” ungkapnya. Ia menyebutkan sejumlah proyek strategis nasional (PSN) yang kerap merampas lahan masyarakat seperti yang terjadi di desa Wadas, Jawa Tengah, Pulau Rempang di Riau, dan Pulau Obi di Halmahera Selatan.

Selanjutnya pemerintah pun telah menerbitkan berbagai peraturan terkait pertanahan sebagai penguatan regulasi seperti: Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria dan peraturan presiden nomor 78 tahun 2023 tentang perubahan atas peraturan presiden nomor 62 tahun 2018 tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional (Perpres 78/2023).

Alih-alih solusi yang ditawarkan memberikan keuntungan bagi rakyat. Faktanya, negara justru membuat aturan yang memudahkan para pemilik modal melakukan perampasan tanah rakyat dengan dalih pembangunan. Nyatanya bukan untuk kepentingan rakyat atau menguntungkan rakyat. Perpres menjadi karpet merah yang melancarkan korporasi dalam pencaplokan tanah masyarakat.

Konflik lahan menjadi satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Politik yang selalu memihak pada kepentingan liberal dan kapitalistik, kepentingan penguasa dan pengusaha. Tanah-tanah milik rakyat, kekayaan agraria, dan sumber daya alam telah dijadikan komoditas yang dapat dikuasai secara paksa demi kepentingan investasi dan beragam bisnis besar. Inilah gambaran paradoks pembangunan di sistem demokrasi.

Berbeda dengan Islam yang memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan dan menjadikan penguasa sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi umat. Islam melarang tegas negara maupun individu melakukan privatisasi harta milik rakyat, apalagi jika harus dikelola oleh swasta asing.

Lahan yang menjadi kepemilikan individu akan dijamin hak kepemilikan dan keamanannya oleh negara sehingga tidak ada pihak yang melakukan perampasan lahan atau penggusuran. Kemudian pemilik lahan wajib menjadikan lahan tersebut menjadi lahan produktif, menanaminya atau mengelola untuk kemaslahatan hidup.

Dalam Islam, negara berkewajiban mengelola harta milik umum, seperti air, tambang, dan lain sebagainya. Hasilnya akan dikembalikan demi kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).

Hadits ini bermakna bahwa kaum Muslim berserikat dalam 3 hal yakni air, padang rumput, dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu kecuali yang sedikit jumlahnya.

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abyadh Bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang garam lalu Beliau pun memberikannya. Namun, tatkala Rasulullah Saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir atau jumlahnya sangat besar. Beliau pun mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.
Wallahu A’lam Bisshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here