Opini

Kontestasi Diperjuangkan, Ancaman Gelombang Empat Dilupakan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Vkhabie Yolanda Muslim

wacana-edukasi.com– Setelah mereda bahkan di hampir seluruh wilayah Indonesia, bahkan penggunaan masker pun sudah mulai lengang, kasus Covid-19 kini kembali menjadi perhatian publik. Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 membuat situasi kasus Covid-19 di negeri ini kembali menanjak. Para ahli memprediksi bahwa di negeri ini kasus covid-19 bisa menembus 20 ribu sehari dan akan memicu gelombang keempat (suaramerdeka.com, 20/6/2022).

Lalu pada fakatanya, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sudah bertambah 1.678 kasus positif pada 21 Juni 2022. Data jumlah pasien sembuh bertambah 677 orang, dan dinyatakan meninggal dunia sebanyak 5 kasus. Sebelumnya, pada 20 Juni 2022, tercatat total kasus sebanyak 6.069.255 kasus, sembuh 5.903.461 kasus, dan meninggal 156.695 kasus (health.detik.com, 21/6 /2022).

Direktur Jenderal WHO yakni Tedros Adhanom Ghebreyesus memberikan ultimatum adanya potensi kemunculan gelombang baru covid-19. Hal ini dikhawatirkan terjadi karena protokol kesehatan yang mulai dilonggarkan. Ia pun juga menegaskan bahwa anggapan masyarakat yang menganggap pandemi telah berakhir lantaran jumlah kasus positif yang menurun adalah persepsi atau anggapan yang salah. Faktanya, tren kasus yang turun terjadi karena frekuensi pengujian yang juga ikut menurun drastis (health.detik.com, 21/6 /2022).

Ditengah mulai naiknya kembali dan ancaman gelombang keempat covid-19 khususnya di negeri ini, para pemangku kebijakan justru tengah sibuk mempersiapkan diri untuk ajang kontestasi politik yang akan berlangsung dalam waktu dekat. Para pejabat yang juga anggota partai politik, dikabarkan mengikuti rapat kerja ataupun rapat pimpinan yang membahas tentang nama capres yang akan diusung nanti pada 2024 (populis.id, 18/6/2022). Tak lupa pula diikuti oleh beberapa partai yang tengah membentuk koalisi dengan partai lain untuk membuat kubu, sekaligus memenuhi persyaratan untuk mengajukan bakal calon presiden.

Begitu pula beberapa nama yang menurut survei akan naik menjadi bakal calon yang saat ini masih menjabat di pemerintahan, tengah sibuk menaikkan elektabilitasnya. Dari fakta ini kita melihat bahwa sungguh partai-partai politik dan politisi saat ini kian menunjukkan keseriusannya untuk meraih kursi di periode yang akan datang.

Sementara, menanggapi kasus covid-19, pemerintah hanya menyatakan bahwa situasi pandemi covid-19 di Indonesia masih terkendali, meski ada sedikit kenaikan kasus dalam beberapa waku terakhir. Alasannya karena positivity rate covid-19 di indonesia masih di angka 1,15% di bawah standar yang ditetapkan WHO sebesar 5% (cnbcindonesia.com, 10/6/2022). Bahkan ada pemimpin daerah yang hanya meminta rakyatnya tidak panik dan tetap waspada, merasa aman dengan adanya vaksinasi yang sudah mencapai 99% di wiilayahnya, tanpa mengindahkan faktor-faktor pemicu merebaknya virus dengan cepat.

Melihat fakta di atas, inilah wajah asli pemimpin dalam demokrasi kapitalis. Sistem politik demokrasi-kapitalis ini telah mencetak pemimpin yang masa bodoh terhadap kebutuhan dan kepentingan rakyatnya sendiri. Hal ini bukanlah hal yang mengherankan, sebab demokrasi pada dasarnya memang berdiri diatas asas manfaat dan keuntungan.

Dimana ada kepentingan, disanalah para penguasa ataupun partai mengharapkan keuntungan. Sebaliknya, sesuatu yang dipandang kurang atau tidak memberikan keuntungan, akan mudah begitu saja diabaikan. Tentu saja, melakukan koalisi atau rapat kerja partai adalah hal yang menguntungkan dibanding mengurusi persoalan rakyat, termasuk dalam hal ini adalah pandemi covid-19 yang kembali menjadi ancaman di tengah masyarakat.

Lantas, berbeda halnya dengan politik dalam Islam. Politik dalam Islam adalah riayah suunil ummah (mengurusi urusan ummat atau rakyat). Salah satu aktivitas politik adalah meluruskan penguasa yang dzalim atau tidak berada dalam koridor yang lurus, mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengan Islam, dan menasihati penguasa. Singkatnya ialah bahwa aktivitas politik terrwujud dalam dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karenanya, umat Islam khususnya tidak boleh buta politik ataupun cuek dengan permasalahan politik. Jangan sampai kita termasuk dalam kubu setan bisu karena mendiamkan kebatilan dan tidak membela kebenaran, atau malah berteman erat dengan kedzaliman itu sendiri.

Padahal sejak jauh-jauh hari Rasulullah telah bersabda, “Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga. Barangsiapa tidak memasuki (berpihak kepada) mereka, tidak membantu kezaliman mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka, ia termasuk golonganku, aku termasuk golongannya dan ia akan mendatangi telagaku” (HR. al-Tirmidzi, al-Nasai dan al-Hakim).

Dalam Islam, politik mendapat tempat dan kedudukan yang hukumnya bisa menjadi wajib. Karena mengurus dan memelihara urusan kaum muslim, merupakan bagian dari kewajiban syariat islam. Pentingnya politik dalam Islam pun tercermin dalam ungkapan Imam Al-Ghazali yang mengatakan, “Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin” (Ihya ‘Ulumuddin, 1/17).

Politik dalam Islam akan melahirkan pemimpin, negarawan, dan politisi sejati. Sebab, mereka sadar bahwa politik bukan semata-mata jalan dalam rangka meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Tetapi kekuasaan adalah amanah yang tentu sangat berpengaruh pada kemaslahatan hidup manusia, khususnya umat Islam.

Umat Islam wajib menaruh peduli terhadap persoalan umat. Sebab sejak awal turunnya Islam, kaum muslim sudah melakukan aktivitas politik, yaitu menghukumi persoalan kehidupan dengan syariat Islam. Turut dalam kegiatan bernegara seperti jihad, mengirim utusan atau delegasi kepada penguasa non Islam, hingga mendirikan sebuah negara. Contoh politisi dan negarawan terbaik telah ada dalam diri Rasulullah SAW, khulafaur rasyidin, serta para pemimpin Islam terdahulu.

Mengurusi urusan rakyat dengan baik dan menjaga rakyat dari kehancuran adalah salah satu tujuan berpolitik dalam Islam. Tujuan hakikinya tidak lain dan tidak bukan ialah menerapkan syariat Islam sebagai solusi fundamental bagi permasalahan umat manusia, agar terwujudnya Islam Rahmatan Lil ‘alamin yang kemilau kebaikannya menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here