Oleh: Ummu Algi (Relawan Opini)
Wacana-edukasi.com — Belum hilang diingatan kita bagaimana rentetan bencana yang menjadi kado pahit diawal tahun 2021. Kini kita dijejali kembali dengan viralnya isu pelarangan jilbab.
Isu “Jilbab Padang” mencuat saat ada orang tua salah satu siswi nonmuslim yang keberatan putrinya “dipaksa” memakai jilbab di sekolahnya. Belakangan terungkap, siswi tersebut bernama Jeni Cahyani Hia. Ia merupakan salah satu siswi nonmuslim di sekolah tersebut. Ia memang menolak mengenakan jilbab. Video adu argumen antara orang tua Jeni dan pihak sekolah tentang penggunaan kerudung pun viral di media sosial (Detik.com, 23/1/2021).
Hal ini pun menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan, pihaknya sangat prihatin dan menyayangkan adanya intoleransi di beberapa sekolah negeri. Bahkan menurutnya jelas melanggar HAM (kompas.com, 24/1/2021).
Namun, Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang Habibul Fuadi mengatakan bahwa, sekolah di Kota Padang memang ada aturan berpakaian muslim. Akan Tetapi, aturan itu dikhususkan bagi murid yang beragama Islam.
Pun, “Dalam aturan itu, dijelaskan bagi siswi muslim wajib menggunakan jilbab. Namun, bagi siswi nonmuslim, aturan itu tidak berlaku. Pakaian siswi nonmuslim itu harus sopan sesuai dengan norma sopan santun jika tidak menggunakan jilbab,” ujar Habibul.
Habibul mengatakan, aturan wajib jilbab tetap dipertahankan karena memiliki nilai positif. Aturan bagi siswi yang muslim itu sudah diberitahu sejak pertama masuk sekolah. Orang tua murid juga memberikan tanda tangan persetujuan saat baru pertama kali mendaftar (Kompas.com, 25/1/2021).
Senada, Wali Kota Padang Fauzi Bahar juga mengatakan aturan yang mewajibkan siswi di sekolah negeri berpakaian muslimah bukan hal baru. Fauzi mengatakan aturan itu dibuat justru untuk melindungi kaum perempuan. “Itu sudah lama sekali. Kok, baru sekarang diributkan? Kebijakan 15 tahun yang lalu itu,” kata Fauzi Bahar (Detik.com, 23/1).
Menurut Kepala bidang advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri“ kasus intoleren di sekolah yang dilakukan secara terstruktur bukanlah kasus baru. Dalam catatan kami, pernah ada kasus seperti pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019. Jauh sebelumnya 2014 smpat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali. Sedangkan kasus pemaksaan jilbab kami mendunga lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia” ujar Iman.
Iman menjelaskan, aturan yang mewajibkan siswi nonmuslim memakai jilbab dan aturan larangan siswi muslim menggunakan jilbab adalah sama-sama melanggar pancasila, UUD, dan UU, serta menyalahi prinsip toleransi dan prinsip bhineka tunggal ika.
Di dalam negeri yang menerapkan sistem kapitalisme liberal seragam muslim, hijab, adalah salah satu pilihan pakaian berseragam sekolah yang diatur dalam permendikbud nomor 45 tahun 2014 selain seragam regular lengan pendek atau rok pendek dan seragam regular lengan panjang atau rok panjang artinya setiap siswa dibebaskan memilih seragam sekolah yang ingin digunakan, terlepas dia itu muslim ataupun nonmuslim.
Sesungguhnya hijab bagi muslimah yang telah balig menurut pandangan Islam adalah suatu kewajiban. Namun, atas dasar hak asasi manusia dan liberalisme (hak kebebasan) yang lahir dari ide kapitalisme memakai pakaian muslimah bagi perempuan muslimah hukumnya menjadi mubah (boleh). Paham liberalisme adalah paham antiagama. Paham ini dibuat untuk menentang ajaran Islam.
Kejadian ini sesungguhnya hanya salah satu dari sekian banyak hukum terkait kehidupan umum. Kita bisa melihat betapa banyak terjadi persinggungan dan pertentangan dalam kehidupan bermasyarakat di dalam sistem kehidupan sekuler kapitalisme, karena aturan yang diterapkan adalah aturan buatan manusia, yang bisa jadi satu pihak setuju dan pihak lain tidak setuju.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem kehidupan Islam, di mana seluruh aturannya berasal dari Allah Swt. Sang Pencipta manusia, Yang Mahatahu akan makhluk ciptaan-Nya. Maka, aturan-aturan yang lahir darinya adalah aturan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan akhirnya akan menenteramkan jiwa, tidak hanya bagi muslim tapi juga bagi nonmuslim.
Terlebih lagi, dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa Allah menurunkan Rasulullah ﷺ sebagai rahmat bagi semesta alam.
”Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad ﷺ) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiyâ’ [21]
Dalam hadis selanjutnya,”Bahwa Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam baik itu yang beriman ataupun mereka yang kafir. Kepada mereka yang beriman, Allah berikan hidayah, dan bagi golongan kafir, Allah tunda azab bagi mereka sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.” (Jami’u al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an, 18/552)
Dalam Islam, nonmuslim yang hidup sebagai warga negara khilafah (ahludz dzimmah) dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing. Begitu juga dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Mereka diperlakukan sesuai dengan agama mereka, dalam batas yang diperbolehkan oleh syariat.
Namun demikian, mereka terikat dengan dua batasan. Pertama: Batasan menurut agama mereka. Pakaian sesuai agama mereka adalah pakaian agamawan mereka dan agamawati mereka, yaitu pakaian rahib dan pendeta serta pakaian rahib perempuan. Laki-laki dan perempuan nonmuslim ini boleh mengenakan pakaian ini. Kedua: Batasan yang ditetapkan oleh syariat, yaitu hukum-hukum kehidupan umum yang mencakup seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, untuk laki-laki dan perempuan.
Jadi pada dasarnya pakaian mereka dalam kehidupan umum adalah sama dengan perempuan muslimah. Pakaian sesuai agama mereka hanyalah pengecualian. Ketentuan pakaian dalam kehidupan umum ini berlaku atas seluruh individu rakyat. Tidak dikecualikan untuk nonmuslim kecuali pakaian yang sesuai agama mereka. Selain itu, mereka wajib menutup aurat, tidak ber-tabarruj dan wajib mengenakan jilbab dan kerudung.
Fakta sejarah menyatakan bahwa sepanjang masa khilafah, para wanita, baik muslimah maupun nonmuslimah mengenakan jilbab. Sebagian kampung yang di situ ada muslimah dan nonmuslimah, pakaian mereka tidak bisa dibedakan.
Inilah hal yang bisa menunjukkan bahwa pakaian perempuan muslim maupun nonmuslim dalam kehidupan umum diatur sesuai syariat
Demikianlah, dengan melakukan kajian atas peraturan dan hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan umum, tampak jelas bagaimana perlakuan negara Islam terhadap warga negaranya, termasuk nonmuslim. Kita dapat melihat negara khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti kaum nonmuslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa semua manusia keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam.
Wajar jika di masa kejayaan Islam, perlakuan khilafah terhadap warga negara nonmuslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 155
Comment here