Opini

Kontroversi Wanita Haid boleh Berpuasa, Buah Liberalisasi Agama

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Habiba Mufida

(Pegiat Literasi)

Wacana-edukasi.com — Ramadan syahrul syiyam, menjadi bulan yang senantiasa dinanti dan ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Pada bulan ini, umat Islam menjalankan ibadah yang merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan, yakni puasa. Namun, dalam menjalankan puasa karena berkenaan dengan ibadah maka harus berdasarkan ketentuan fikih. Di mana setiap amalan ibadah ada syarat wajib, syarat sahnya, rukun, dan sebagainya.

Umat Islam memahami berdasarkan nash syara’ bahwa bagi wanita yang sedang mengalami haid maka diharamkan baginya berpuasa. Memang larangan ini tidak berdasarkan ayat Al-Qur’an. Akan tetapi, berdasarkan sumber hukum Islam yang lainnya yakni hadis Rasulullah SAW. Hadis yang menjadi rujukan antara lain hadis dari Aisyah ra. Hadis dari Aisyah itu disampaikan oleh Imam Muslim.

Di dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Aisyah istri Nabi berkata: “Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan mengqada puasa dan tidak diperintahkan mengqada shalat.” (HR. Muslim).

Dalam hadit lain Nabi Muhammad SAW. bersabda dalam bentuk dialog, “Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak shalat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab, Ya.” (HR. Bukhari).

Berdasarkan dua hadis tersebut kita memahami bahwa wanita haid tidak diperbolehkan puasa. Para ulama ahli fikih menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan syarat sah puasa. Di mana salah satu syaratnya adalah wanita harus suci dari hadas kecil dan hadas besar. Sedang haid merupakan hadas besar yang menjadikan tidak sah wanita tersebut berpuasa. Namun, mereka diwajibkan mengqada puasanya ketika haidnya telah selesai. Hal tersebut bisa dilakukan di luar bulan Ramadan.

Kontroversi Wanita Haid Boleh Berpuasa

Pemahaman tentang wanita haid tidak sah berpuasa sejatinya tidak ada perbedaan di dalam umat Islam. Hanya saja ternyata perihal ibadah yang jelas-jelas pasti, beberapa waktu yang lalu justru muncul kontroversi. Bagaimana dunia maya sempat dihebohkan adanya unggahan terkait wanita boleh puasa ketika haid. Unggahan tersebut berasal dari akun IG @mubadalah.id yang diambil dari tulisan Kiai IM di situs mubadalah.id. Bahkan, situs tersebut sudah dilihat 11,6 ribu kali. Namun, unggahan “nyeleneh” tersebut kemudian dihapus oleh pengunggahnya di FB karena menimbulkan kontroversi (Detiknews, 3/5/21).

Wajar hal ini menjadi kontroversi di tengah umat. Terlebih, sesuatu yang berkenaan dengan ibadah wajib bagi umat Islam. Hanya saja, pertanyaannya mengapa kondisi tentang sesuatu yang sudah jelas di salam syariat Islam, pada era sekarang pun juga muncul berbagai pendapat yang nyleneh. Jika, selama ini umat Islam dihadapkan dengan beberapa kali penistaan agama berkenaan dengan akidah Islam, dan ternyata kini pun merambah ke permasalahan ubudiah. Sungguh menyedihkan.

Buah Liberalisasi Agama

Jika kita telisik lebih dalam, maka semua kondisi adanya penistaan berkenaan dengan agama sejatinya akibat tata kehidupan yang sekuler. Di mana agama dipisahkan dari kehidupan. Tata kehidupan yang sekuler menyebabkan berkembangnya pemahaman yang bebas di dalam agama (liberalisasi agama). Tentu menyebarnya pemahaman ini karena tidak adanya penjagaan di dalam umat Islam. Sehingga umat Islam seolah dibiarkan hidup dengan pemikiran mereka masing-masing. Semuanya, buah dari negara yang menerapkan sekularisme.

Maka, jangan heran jika kontroversi demi kontroversi akhirnya terus terjadi. Sebab memang tidak ada penjagaan bagi umat, bukan hanya soal akidah tetapi juga berkenaan dengan syariat. Bahkan dalam sistem kapitalisme dan beroemahaman sekuler saat ini, negara yang harusnya menjaga akidah umat justru mendorong liberalisasi syariat. Wajar jika pemahaman menyimpang yang nyata menyesatkan umat justru tumbuh dengan subur.

Islam Menjaga Agama

Berbeda ketika negara menerapkan aturan Islam. Negara Islam memiliki paradigma yang berdiri atas akidah Islam. Di dalam Islam, salah satu fungsi negara adalah _muhafazah ala ad diin_ (menjaga agama). Maka ketika salah satu hukum _syara’_ telah jelas hukumnya dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab, maka negara akan mengadopsi. Kemudian melalui sistem pendidikan akan memahamkan umatnya terkait hukum tersebut.

Maka, berbagai pandangan nyeleneh terkait syariat Islam tidak akan muncul jika negara mampu menjalankan perannya menjadi pelindung akidah. Negara akan memberikan edukasi bahkan menindak tegas bagi warga negara yang dengan sengaja memelintir ajaran Islam. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena di sistem kapitalisme kebebasan berpendapat diberikan tempat.

Maka, satu-satunya negara yang memberikan jaminan terbaik untuk menjaga akidah umat adalah negara yang menerapkan Islam secara kafah. Sebuah negara yang menjadikan Al Qur’an dan As-sunah sebagai rujukan utama penerapan syariat Islam. Namun saat ini, negara tersebut tidaklah ada. Maka, sudah sepatutnya umat berusaha untuk menegakkan negara tersebut, agar Islam bisa tegak dan terjaga.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here